Banyak ulama yang menyusun kitab ‘al-Arba’un’, kitab yang berisi empat puluh hadis Nabi. Namun tidak begitu banyak di antara ulama -khusunya muta'akhkhirin- yang mampu menyusun kitab jenis ‘al-Arba’un al-Buldaniyyah.
Selain menghimpun empat puluh matan hadis yang berbeda, kitab “al-Arba’un al-Buldaniyyah” menyaratkan empat puluh hadis tersebut diperoleh langsung dari empat puluh guru yang berbeda dan masing-masing guru tersebut berada di/berasal dari empat puluh daerah (balad) yang juga berbeda. Bukan hal mudah untuk menemui banyak guru di empat puluh daerah yang berbeda, kemudian mendapatkan hadis yang berbeda-beda beserta sanad yang menyambung hingga Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wasallam-.
Syaikh Muhammad Yasin bin ‘Isa al-Fadani (1335-1410H/1915-1990 M.) merupakan salah satu ulama yang mendapat anugrah besar ini. Di antara kitab ‘al-Arba’un’ yang beliau susun, salah satunya adalah “al-Arba’un al-Buldaniyyah: Arba’un Haditsan ‘an Arba’ina Syaikhan min Arba’ina Baladan”. Karya ini menjadi bukti ketelatenan dan keuletan beliau dalam melakukan ‘rihlah’ mengunjungi berbagai daerah –bukan untuk menikmati keindahan alam atau destinasi-, namun untuk mendengarkan langsung hadis-hadis Nabi dari lisan mulia para pewarisnya yang tinggal di berbagai negeri. [Link download kitab ini ada pada bagian akhir tulisan ini]
[Sebelum Syaikh al-Fadani, telah ada beberapa ulama yang juga menulis kitab dengan judul yang sama, misalnya Al-Hafizh Ibnu 'Asakir (w. 571 H) yang juga menulis kitab al-Arba'un al-Buldaniyyah.]
Kembali ke kitab Syaikh Al-Fadani, dari empat puluh ulama yang dijumpai dan disebut Syaikh Yasin dalam kitab “al-Arba’un al-Buldaniyyah”, dua belas di antaranya berasal dari daerah-daerah di Nusantara. Yaitu (1) Palembang; (2) Jakarta; (3) Tangerang; (4) Serang Banten; (5) Semarang; (6) Lasem; (7) Surabaya; (8) Jombang; (9) Jember; (10) Malang; (11) Purbolinggo; dan (12) Johor Malaysia. Di daerah-daerah ini Syaikh Yasin menemui para ulama untuk mendapatkan hadis dan menyambung sanad hingga Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-
Salah satu hadis yang menarik dalam kitab tersebut adalah hadis ke 36. Hadis ini diriwayatkan oleh seorang tabi’in perempuan yang tinggal di Damaskus bernama Fusailah. Beliau pernah mendapat cerita dari ayahnya yang bernama Watsilah ibn al-Asqa’ –radliyallahu ‘anhu- tentang sebuah kenangan indah saat ayahnya tinggal di Madinah berjumpa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Dikisahkan sahabat Watsilah bertanya kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulallah, apakah termasuk ‘ashobiyyah (fanatisme jahiliyah yang dilarang) jika seseorang mencintai kaumnya?”
Nabi menjawab:
“Tidak”. Lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- melanjutkan,
“Yang termasuk ‘ashobiyyah adalah jika seseorang menolong kaumnya berbuat kezhaliman.”
Ikatan sedarah-seketurunan merupakan faktor pembentuk utama sistem sosial bangsa Arab pada masa Nabi. Komunitas yang tinggal di satu tempat dapat dipastikan berasal dari satu kabilah yang seketurunan. Orang-orang Yahudi di Madinah, tidak berkumpul di satu tempat atas dasar agama, melainkan berdasarkan keturunan. Bani Qainuqa berkerumun tinggal di tengah kota Madinah. Sementara keturunan Bani Nadhir dan Bani Quraizhah membangun komunitas di selatan Madinah. Begitu juga dengan penduduk asli Madinah suku Aus dan Khazraj, yang kemudian banyak yang masuk Islam. Di Makkah keadaanya juga tidak jauh berbeda. Bani Bakr, Bani Taghlib, Quraisy, Kinanah, Ghathfan, Hawazin merupakan nama-nama kabilah yang membentuk komunitas-komunitas ekslusif di daerah Makkah dan sekitarnya waktu itu. Masa itu sulit dibayangkan seseorang dari satu kabilah membangun kehidupan keluarga di tengah-tengah kabilah lain.
Unsur pengikat antar anggota kabilah adalah ‘ashabiyyah, fanatisme terhadap komunitas. Merasa sedarah dan bernasab sama. Semangat ini menumbuhkan kecintaan dan solidaritas yang kuat antar sesama anggota kabilah. Tolong-menolong dan bahu membahu menjadi tradisi yang mengakar di dalam satu kabilah. Namun di sisi lain ‘ashobiyyah menimbulkan problem relasi antar kabilah. ‘Ashobiyyah yang berlebih memicu berkembangnya narasi kebencian antar kabilah. Sebagian diekspresikan melalui syair-syair haja’, sebagian lain melalui cemoohan dan ejekan harian. Permasalahan sepele antar kabilah dapat menjadi pemicu konflik bahkan berakhir dengan pertumpahan darah. Perang al-Basus antara kabilah Bakr dan Taghlib berawal hanya karena seekor unta milik warga Bani Bakr terbunuh. Perang yang mengoyak ketenangan dan ketentraman ini berkecamuk lama hingga empat puluh tahun.
Watsilah ibn al-Asqa’ pernah merasakan kehidupan seperti itu. Kehidupan yang penuh kebanggan terhadap kelompoknya, plus cibiran dan kebencian terhadap komunitas lainnya. Tahun 9 hijriah saat Nabi hendak ke Tabuk, Watsilah datang dan menyatakan masuk Islam. Dalam naungan ukhuwwah Islamiyyah, sahabat yang berasal dari kabilah Kinanah ini merenung apakah setelah menjalin ikatan dengan Islam, ikatan terhadap suku dan kabilah harus dilepas? Ia merasa menghapus rasa cinta dan bangga terhadap komunitasnya adalah bukan perkara mudah. Dia pun memutuskan untuk bertanya kepada Nabi, “Apakah termasuk ‘ashobiyyah (fanatisme jahiliyah yang dilarang) jika seseorang mencintai kaumnya?” Dengan tegas Nabi pun menjawab, “Tidak”
Cinta kepada suku atau kabilah tempat di mana seseorang dibesarkan adalah fitrah; kecenderungan orisinil yang ada pada diri setiap manusia. Cinta seperti ini adalah cinta anugrah ilahi. Namun kecintaan itu menjadi terlarang apabila melewati batas proporsinya; mendorong timbulnya kebencian kepada pihak lain, memicu konflik dan pertumpahan darah. Yang terakhir inilah ‘ashobiyyah jahiliyyah yang dilarang.
- II -
Hadis di atas diriwayatkan Syaikh Yasin dengan sanad yang terdiri dari dua puluh tujuh perawi yang menyambung hingga Rasulullah-shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Di balik rangkaian sanad tersebut tersimpan kisah sejarah. Mengamati perjalanan transimisi hadis ini melalui rangkaian sanad dari satu generasi ke generasi sangatlah menarik. Penyebaran hadis tersebut selama empat belas abad hijriah ternyata tidak hanya berkutat di Madinah dan Makkah saja, tempat awal Nabi menyampaikannya. Hadis ini menyebar ke beberapa negeri, dan setidaknya ada enam daerah penting yang dilalui jalur penyebaran hadis ini.
Yang pertama adalah kota suci Madinah tempat perjumpaan Watsilah dengan Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa salllam-. Watsilah membersamai Nabi di Madinah tidak lebih dari tiga tahun. Sepeninggal Nabi, Watsilah memutuskan untuk menuju Syam dan tinggal di sana. Kenangan indahnya bersama Nabi di Madinah kemudian ia ceritakan kepada putrinya bernama Fusailah yang berdomisili di kota Damaskus. Kota besar pusat pemerintahan Umawiyyah masa itu. Di daerah ini hadis tersebut kemudian diriwayatkan kepada generasi berikutnya, ‘Abbad Ibn Katsir (w. 171) yang juga berasal dari Syam tepatnya dari Palestina.
Daerah ketiga yang menjadi jalur perlintasan periwayatan hadis ini adalah Iraq dan sekitarnya. Kota tua yang penuh sejarah yang dikuasai umat Islam pada masa ‘Umar Ibn al-Khaththab. Pindahnya periwayatan dari Damaskus ke Iraq terjadi setelah Ziyad ibn al-Rabi’ al-Bashri (w 185) pergi ke Damaskus dan kemudian memboyong periwayatan hadis tersebut untuk disebarkan di daerah asalnya, Bashrah. Dari kota Bashrah ini hadis tersebut kemudian teriwayatkan di kota Baghdad melalui Imam Ahmad Ibn Hanbal (164-241), putranya yang bernama ‘Abdullah (213-290), Abu Bakr al-Qathi’i (273 - 368), Ibn al-Mazhab (355-444) dan terakhir Hibatullah al-Syaibani (432-525).
Setelah empat abad berada di sekitar Iraq, hadis yang mengisahkan dialog antara Nabi dan sahabat Watsilah ini kemudian kembali lagi ke Syam pada abad ke enam hijriah. Ceritanya adalah saat Hanbal al-Rashafi (510-604) –seorang ‘alim Baghdad yang namanya merupakan pemberian Syaikh ‘Abdul-Qadil al-Jilani- pergi ke Damaskus. Di sana beliau disambut dengan baik. Banyak ulama Syam yang menemuinya untuk mendengarkan hadis-hadis yang ia riwayatkan. Di antara yang beruntung menemuinya adalah seorang perempuan ahli ibadah dan ahli hadis bernama Zainab binti Makki al-Harraniyyah (w. 688). Waktu itu Syaikhah Zainab masih sangat kecil belum lewat sebelas tahun. Dari perempuan ‘musnidah’ ini lah akhirnya hadis ini kembali beredar di Syam tepatnya di kota Damaskus. Di kota ini pada tahap berikutnya, Ahmad Ibn Muhammad al-Jaukhi (lahir 683) menjadi orang yang amat beruntung. Di saat masih kecil belum lewat tujuh tahun, ia mendapat anugrah kesempatan berjumpa Syaikhah Zainab yang usianya sudah senja. Ia mendapatkan ijazah periwayatan hadis tersebut dan akhirnya ia pun menjadi penerus silsilah sanad hadis ini di Damaskus.
Tradisi yang menarik, anak-anak pada generasi terdahulu, dibimbing orang tuanya untuk belajar, mendengarkan hadis dan mendapatkan ijazah dari guru-guru, meskipun usianya masih sangat belia. ‘Tahammul hadis’ (mendapatkan periwayatan hadis) memang tidak disyaratkan usia dewasa. Bukankah Sayyidina Husain yang masih kecil sering mendengar ucapan dan melihat datuknya, kemudian setelah dewasa beliau menceritakan dan meriwayatkannya?
Kota berikutnya yang mendapat berkah menjadi jalur perjalanan transmisi hadis ini adalah Mesir. Pada abad ke delapan hijriah seorang alim Mesir al-‘Izz ‘Abdurrahim Ibn al-Furat (735-807) bertekad melangkahkan kaki melakukan perjalanan thalabul-ilmi ke Damaskus. Ia sengaja ingin berjumpa dengan al-Jaukhi –seorang ‘alim yang terkenal di Damaskus waktu itu. Ia pun belajar kepadanya dan mendapat ijazah periwayatan hadis ini, kemudian membawanya dengan penuh kegembiraan ke negeri kelahirannya, Mesir. Hadis yang penuh berkah itupun akhirnya mengalir di Mesir seperti mengalirnya sungai Nil yang penuh keberkahan. Periwayatan hadis cinta bangsa di kota ini berlangsung cukup lama hingga enam abad, melalui sebelas ulama kesohor pada setiap generasi sampai abad ketiga belas hijriah. Di mulai dari Syaikh Ibn al-Furat yang membawa hadis ini dari Syam, kemudian Imam al-Suyuthi (w. 911), Yusuf al-Armiyuni (w. 958), Ibn Hajar al-Haitami (909-973), ‘Ali al-Ziyadi (w. 1024), Ali al-Halabi yang wafat di Mesir 1044 H, Ali Syubra-Malisi (997-1087), al-Budairi (w. 1140), Syaikhul-Azhar ke-8 Syaikh Muhammad Salim al-Hifni (w. 1181) dan terakhir Syaikhul-Azhar ke 12 Syaikh ‘Abdullah al-Syarqawi (w.1227) yang hidup saat Mesir diekspansi oleh Prancis.
Waktupun terus berjalan, di abad ketiga belas hijriah periwayatan resmi hadis ini kemudian berpindah ke kota Makkah. Syaikh Utsman al-Dimyathi (1196-1265) –seorang alim Mesir- murid dari Syaikh al-Syarqawi meninggalkan tanah kelahirannya dan melakukan perjalanan menuju Makkah al-Mukarramah. Di kota suci ini beliau memutuskan untuk menghabiskan sisa umurnya dan akhirnya wafat di sana. Kota Makkah menjadi daerah kelima, setelah Madinah, Syam, Iraq dan Mesir yang menjadi tempat perlintasan penyebaran hadis Nabi ini. Di kota yang menjadi saksi parahnya ‘‘ashabiyyah jahiliyyah” pada masa Nabi dulu, Syaikh Utsman al-Dimyathi yang berasal dari Mesir mengijazahkan hadis cinta bangsa tersebut kepada muridnya bernama Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (1231-1304) yang memang lahir di Makkah. Mufti Syafi’iyyah di Makkah ini kemudian meriwayatkan kepada muridnya bernama Sayyid Abu Bakr Muhammad Syatha (1226-1310), seorang ‘alim bermazhab Syafi’i pengarang kitab I’anah al-Thalibin dan menjadi rujukan utama para pelajar dari berbagai negara yang menuntut ilmu di Makkah masa itu.
Sungguh beruntung daerah di timur jauh belahan bumi yang bernama Indonesia, memiliki seorang ‘alim bernama Syaikh Mahfuzh al-Tarmasi (1285-1338) yang waktu itu bertekad mengarungi samudera menuntut ilmu ke Makkah, dan berguru kepada Sayyid Abu Bakr Syatha. Bahkan ia menjadi murid kinasihnya, belajar banyak ilmu kepadanya dan akhirnya hadis yang mengisahkan dialog tentang ‘Cinta Bangsa’ ini keberkahannya juga mengalir ke bumi Nusantara. Dari Syaikh Mahfuzh ini-lah kemudian hadis tersebut diijazahkan kepada murid mulia beliau Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (1282-1369), tokoh penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia dan juga pendiri Nahdlatul Ulama.
K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang inilah yang memberi silsilah sanad hadis ‘Cinta Bangsa’ kepada Syaikh Yasin (1335-1410) saat berkunjung ke Indonesia dan kemudian beliau abadikan dalam kitabnya yang berjudul ‘al-Arba’un al-Buldaniyyah’ pada urutan hadis yang ke 36.
- III-
Petuah Nabi yang bermula di Madinah ini laksana air sejuk mengaliri kehidupan umatnya dari generasi ke generasi, berkelok mengguyurkan berkah ke berbagai negeri; ke utara di Damaskus, dan Baghdad, lalu ke arah barat menuju Mesir, mengalir lagi ke timur menuju Makkah dan akhirnya sampai ke timur jauh, yaitu negeri tercinta ini, Indonesia.
Hadis ini membawa pesan kuat bahwa ‘cinta bangsa adalah fitrah manusia’. Mungkin unsur pengikat komunitas sudah mengalami perubahan, tidak lagi sama seperti pada masa Nabi. Ikatan kabilah bisa jadi sudah bergeser berganti pada ikatan bangsa dan negeri. Namun pesan hadis tetap sama, bahwa cinta bangsa bukanlah ‘ashobiyyah yang tercela dan tidak pula bertentangan dengan agama. Cinta tersebut menjadi nista jika bergerak menjadi nafsu-angkara, saling hina dan saling mencela.
Tidak terlalu sulit untuk membayangkan bahwa ulama-ulama yang tertulis namanya dalam rangkaian sanad panjang tersebut adalah orang-orang yang mencintai negerinya. Syaikh ‘Abdullah al-Syarqawi (w.1227) pengarang “Hasyiyah al-Syarqawi ‘ala Syarh al-Tahrir” adalah contoh konkritnya. Sewaktu menjabat syaikh al-Azhar, beliau bersikap tegas terhadap siapapun yang hendak mengoyak kedaulatan dan menjatuhkan martabat bangsa Mesir. Kesewenang-wenangan Prancis dan gabungan Utsmani-Inggris silih berganti beliau lawan dengan menggerakkan warga Mesir baik muslim maupun non-muslim di Jami’ al-Azhar. Sejarah mencatat dengan dramatis sikap tegas al-Syarqawi ‘membuang Syal kebesaran Prancis’ saat diletakkan dipundaknya oleh Napoleon Bonaparte. Sikap seperti ini merupakan wujud implementasi hadis yang ia riwayatkan, bahwa cinta negeri adalah fitrah ilahi dan membela harkat-martabat bangsa adalah titah nabawi.
Begitu juga dengan KH Hasyim Asy’ari. Fatwa Jihad yang beliau tetapkan pada 17 September 1945, kemudian disusul resolusi jihad 22 Oktober 1945 untuk melawan Sekutu merupakan wujud implementasi sunnah Nabi, untuk membela bangsa dari tirani dan juga wujud cinta bangsa dan negeri. Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan, cinta tanah air bukanlah ‘ashobiyah jahiliyyah’, cinta negeri adalah ‘sunnah nabawiyyah’.
___________________
Hadis yang tercantum dalam kitab ‘al-Arbaun al-Buldaninyyah’ ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam al-Musnad. Dalam jalur sanad Imam Ahmad terdapat perawi bernama ‘Abbad ibn Katsir al-Syami, murid dari tabi’in perempuan bernama Fusailah. Oleh banyak ulama ‘Abbad dikategorikan perawi ‘dha’if’. Namun perlu diketahui ‘Abbad tidak sendirian meriwayatkan hadis ini dari Fusailah, ada perawi lain bernama Salamah ibn Bisyr al-Dimasyqi yang juga meriwayatkan dari Fusailah (sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud dalam al-Sunan dan al-Baihaqi dalam al-Sunan). Meskipun Salamah ibn Bisyr ini juga kualitasnya dha’if, namun dengan bergabungnya dua jalur sanad tersebut setidaknya jalur sanad ini mempunyai kualitas ‘hasan li ghairihi.
Hadis ini juga tercatat diriwayatkan oleh selain Watsilah, yaitu oleh Sahabat Anas ibn Malik (sebagaimana diinformasikan dalam Sunan al-Baihaqi dan juga Tarikh Dimasyq karya Ibn ‘Asakir), namun dalam sanadnya juga terdapat perawi yang kualitasnya ‘dha’if’. Redaksi hadis dalam Sunan al-Baihaqi berbunyi:
Sahabat Anas ibn Malik berkata, ada seseorang mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah termasuk ‘ashobiyyah jika seseorang menolong kaumnya dalam perkara yang hak?” Nabi menjawab, “Tidak.”
Dengan adanya beberapa jalur sanad ini Ibnu Muflih al-Maqdisi (w. 763) dalam kitab ‘al-Adab al-Syar’iyyah’ juz 1, hlm 81 menyimpulkan bahwa hadis ini mempunyai kualitas hasan.
- Rahimahumullaah wa jazaahum ‘anaa khairan -
- Wallahu a’lam bi al-shawaab-
______
Sumber tulisan: Copas dari Ust. Arif
DOWNLOAD KITAB AL-ARBA'UN AL-BULDANIYYAH karangan Syaikh Yasin Al-Fadani
Selain menghimpun empat puluh matan hadis yang berbeda, kitab “al-Arba’un al-Buldaniyyah” menyaratkan empat puluh hadis tersebut diperoleh langsung dari empat puluh guru yang berbeda dan masing-masing guru tersebut berada di/berasal dari empat puluh daerah (balad) yang juga berbeda. Bukan hal mudah untuk menemui banyak guru di empat puluh daerah yang berbeda, kemudian mendapatkan hadis yang berbeda-beda beserta sanad yang menyambung hingga Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wasallam-.
Syaikh Muhammad Yasin bin ‘Isa al-Fadani (1335-1410H/1915-1990 M.) merupakan salah satu ulama yang mendapat anugrah besar ini. Di antara kitab ‘al-Arba’un’ yang beliau susun, salah satunya adalah “al-Arba’un al-Buldaniyyah: Arba’un Haditsan ‘an Arba’ina Syaikhan min Arba’ina Baladan”. Karya ini menjadi bukti ketelatenan dan keuletan beliau dalam melakukan ‘rihlah’ mengunjungi berbagai daerah –bukan untuk menikmati keindahan alam atau destinasi-, namun untuk mendengarkan langsung hadis-hadis Nabi dari lisan mulia para pewarisnya yang tinggal di berbagai negeri. [Link download kitab ini ada pada bagian akhir tulisan ini]
[Sebelum Syaikh al-Fadani, telah ada beberapa ulama yang juga menulis kitab dengan judul yang sama, misalnya Al-Hafizh Ibnu 'Asakir (w. 571 H) yang juga menulis kitab al-Arba'un al-Buldaniyyah.]
Kembali ke kitab Syaikh Al-Fadani, dari empat puluh ulama yang dijumpai dan disebut Syaikh Yasin dalam kitab “al-Arba’un al-Buldaniyyah”, dua belas di antaranya berasal dari daerah-daerah di Nusantara. Yaitu (1) Palembang; (2) Jakarta; (3) Tangerang; (4) Serang Banten; (5) Semarang; (6) Lasem; (7) Surabaya; (8) Jombang; (9) Jember; (10) Malang; (11) Purbolinggo; dan (12) Johor Malaysia. Di daerah-daerah ini Syaikh Yasin menemui para ulama untuk mendapatkan hadis dan menyambung sanad hingga Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-
Salah satu hadis yang menarik dalam kitab tersebut adalah hadis ke 36. Hadis ini diriwayatkan oleh seorang tabi’in perempuan yang tinggal di Damaskus bernama Fusailah. Beliau pernah mendapat cerita dari ayahnya yang bernama Watsilah ibn al-Asqa’ –radliyallahu ‘anhu- tentang sebuah kenangan indah saat ayahnya tinggal di Madinah berjumpa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Dikisahkan sahabat Watsilah bertanya kepada Rasulullah:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُحِبَّ الرَّجُلُ قَوْمَهُ؟
Nabi menjawab:
لَا
وَلَكِنْ مِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُعِينَ الرَّجُلُ قَوْمَهُ عَلَى الظُّلْمِ
Ikatan sedarah-seketurunan merupakan faktor pembentuk utama sistem sosial bangsa Arab pada masa Nabi. Komunitas yang tinggal di satu tempat dapat dipastikan berasal dari satu kabilah yang seketurunan. Orang-orang Yahudi di Madinah, tidak berkumpul di satu tempat atas dasar agama, melainkan berdasarkan keturunan. Bani Qainuqa berkerumun tinggal di tengah kota Madinah. Sementara keturunan Bani Nadhir dan Bani Quraizhah membangun komunitas di selatan Madinah. Begitu juga dengan penduduk asli Madinah suku Aus dan Khazraj, yang kemudian banyak yang masuk Islam. Di Makkah keadaanya juga tidak jauh berbeda. Bani Bakr, Bani Taghlib, Quraisy, Kinanah, Ghathfan, Hawazin merupakan nama-nama kabilah yang membentuk komunitas-komunitas ekslusif di daerah Makkah dan sekitarnya waktu itu. Masa itu sulit dibayangkan seseorang dari satu kabilah membangun kehidupan keluarga di tengah-tengah kabilah lain.
Unsur pengikat antar anggota kabilah adalah ‘ashabiyyah, fanatisme terhadap komunitas. Merasa sedarah dan bernasab sama. Semangat ini menumbuhkan kecintaan dan solidaritas yang kuat antar sesama anggota kabilah. Tolong-menolong dan bahu membahu menjadi tradisi yang mengakar di dalam satu kabilah. Namun di sisi lain ‘ashobiyyah menimbulkan problem relasi antar kabilah. ‘Ashobiyyah yang berlebih memicu berkembangnya narasi kebencian antar kabilah. Sebagian diekspresikan melalui syair-syair haja’, sebagian lain melalui cemoohan dan ejekan harian. Permasalahan sepele antar kabilah dapat menjadi pemicu konflik bahkan berakhir dengan pertumpahan darah. Perang al-Basus antara kabilah Bakr dan Taghlib berawal hanya karena seekor unta milik warga Bani Bakr terbunuh. Perang yang mengoyak ketenangan dan ketentraman ini berkecamuk lama hingga empat puluh tahun.
Watsilah ibn al-Asqa’ pernah merasakan kehidupan seperti itu. Kehidupan yang penuh kebanggan terhadap kelompoknya, plus cibiran dan kebencian terhadap komunitas lainnya. Tahun 9 hijriah saat Nabi hendak ke Tabuk, Watsilah datang dan menyatakan masuk Islam. Dalam naungan ukhuwwah Islamiyyah, sahabat yang berasal dari kabilah Kinanah ini merenung apakah setelah menjalin ikatan dengan Islam, ikatan terhadap suku dan kabilah harus dilepas? Ia merasa menghapus rasa cinta dan bangga terhadap komunitasnya adalah bukan perkara mudah. Dia pun memutuskan untuk bertanya kepada Nabi, “Apakah termasuk ‘ashobiyyah (fanatisme jahiliyah yang dilarang) jika seseorang mencintai kaumnya?” Dengan tegas Nabi pun menjawab, “Tidak”
Cinta kepada suku atau kabilah tempat di mana seseorang dibesarkan adalah fitrah; kecenderungan orisinil yang ada pada diri setiap manusia. Cinta seperti ini adalah cinta anugrah ilahi. Namun kecintaan itu menjadi terlarang apabila melewati batas proporsinya; mendorong timbulnya kebencian kepada pihak lain, memicu konflik dan pertumpahan darah. Yang terakhir inilah ‘ashobiyyah jahiliyyah yang dilarang.
- II -
Hadis di atas diriwayatkan Syaikh Yasin dengan sanad yang terdiri dari dua puluh tujuh perawi yang menyambung hingga Rasulullah-shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Di balik rangkaian sanad tersebut tersimpan kisah sejarah. Mengamati perjalanan transimisi hadis ini melalui rangkaian sanad dari satu generasi ke generasi sangatlah menarik. Penyebaran hadis tersebut selama empat belas abad hijriah ternyata tidak hanya berkutat di Madinah dan Makkah saja, tempat awal Nabi menyampaikannya. Hadis ini menyebar ke beberapa negeri, dan setidaknya ada enam daerah penting yang dilalui jalur penyebaran hadis ini.
Yang pertama adalah kota suci Madinah tempat perjumpaan Watsilah dengan Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa salllam-. Watsilah membersamai Nabi di Madinah tidak lebih dari tiga tahun. Sepeninggal Nabi, Watsilah memutuskan untuk menuju Syam dan tinggal di sana. Kenangan indahnya bersama Nabi di Madinah kemudian ia ceritakan kepada putrinya bernama Fusailah yang berdomisili di kota Damaskus. Kota besar pusat pemerintahan Umawiyyah masa itu. Di daerah ini hadis tersebut kemudian diriwayatkan kepada generasi berikutnya, ‘Abbad Ibn Katsir (w. 171) yang juga berasal dari Syam tepatnya dari Palestina.
Daerah ketiga yang menjadi jalur perlintasan periwayatan hadis ini adalah Iraq dan sekitarnya. Kota tua yang penuh sejarah yang dikuasai umat Islam pada masa ‘Umar Ibn al-Khaththab. Pindahnya periwayatan dari Damaskus ke Iraq terjadi setelah Ziyad ibn al-Rabi’ al-Bashri (w 185) pergi ke Damaskus dan kemudian memboyong periwayatan hadis tersebut untuk disebarkan di daerah asalnya, Bashrah. Dari kota Bashrah ini hadis tersebut kemudian teriwayatkan di kota Baghdad melalui Imam Ahmad Ibn Hanbal (164-241), putranya yang bernama ‘Abdullah (213-290), Abu Bakr al-Qathi’i (273 - 368), Ibn al-Mazhab (355-444) dan terakhir Hibatullah al-Syaibani (432-525).
Setelah empat abad berada di sekitar Iraq, hadis yang mengisahkan dialog antara Nabi dan sahabat Watsilah ini kemudian kembali lagi ke Syam pada abad ke enam hijriah. Ceritanya adalah saat Hanbal al-Rashafi (510-604) –seorang ‘alim Baghdad yang namanya merupakan pemberian Syaikh ‘Abdul-Qadil al-Jilani- pergi ke Damaskus. Di sana beliau disambut dengan baik. Banyak ulama Syam yang menemuinya untuk mendengarkan hadis-hadis yang ia riwayatkan. Di antara yang beruntung menemuinya adalah seorang perempuan ahli ibadah dan ahli hadis bernama Zainab binti Makki al-Harraniyyah (w. 688). Waktu itu Syaikhah Zainab masih sangat kecil belum lewat sebelas tahun. Dari perempuan ‘musnidah’ ini lah akhirnya hadis ini kembali beredar di Syam tepatnya di kota Damaskus. Di kota ini pada tahap berikutnya, Ahmad Ibn Muhammad al-Jaukhi (lahir 683) menjadi orang yang amat beruntung. Di saat masih kecil belum lewat tujuh tahun, ia mendapat anugrah kesempatan berjumpa Syaikhah Zainab yang usianya sudah senja. Ia mendapatkan ijazah periwayatan hadis tersebut dan akhirnya ia pun menjadi penerus silsilah sanad hadis ini di Damaskus.
Tradisi yang menarik, anak-anak pada generasi terdahulu, dibimbing orang tuanya untuk belajar, mendengarkan hadis dan mendapatkan ijazah dari guru-guru, meskipun usianya masih sangat belia. ‘Tahammul hadis’ (mendapatkan periwayatan hadis) memang tidak disyaratkan usia dewasa. Bukankah Sayyidina Husain yang masih kecil sering mendengar ucapan dan melihat datuknya, kemudian setelah dewasa beliau menceritakan dan meriwayatkannya?
Kota berikutnya yang mendapat berkah menjadi jalur perjalanan transmisi hadis ini adalah Mesir. Pada abad ke delapan hijriah seorang alim Mesir al-‘Izz ‘Abdurrahim Ibn al-Furat (735-807) bertekad melangkahkan kaki melakukan perjalanan thalabul-ilmi ke Damaskus. Ia sengaja ingin berjumpa dengan al-Jaukhi –seorang ‘alim yang terkenal di Damaskus waktu itu. Ia pun belajar kepadanya dan mendapat ijazah periwayatan hadis ini, kemudian membawanya dengan penuh kegembiraan ke negeri kelahirannya, Mesir. Hadis yang penuh berkah itupun akhirnya mengalir di Mesir seperti mengalirnya sungai Nil yang penuh keberkahan. Periwayatan hadis cinta bangsa di kota ini berlangsung cukup lama hingga enam abad, melalui sebelas ulama kesohor pada setiap generasi sampai abad ketiga belas hijriah. Di mulai dari Syaikh Ibn al-Furat yang membawa hadis ini dari Syam, kemudian Imam al-Suyuthi (w. 911), Yusuf al-Armiyuni (w. 958), Ibn Hajar al-Haitami (909-973), ‘Ali al-Ziyadi (w. 1024), Ali al-Halabi yang wafat di Mesir 1044 H, Ali Syubra-Malisi (997-1087), al-Budairi (w. 1140), Syaikhul-Azhar ke-8 Syaikh Muhammad Salim al-Hifni (w. 1181) dan terakhir Syaikhul-Azhar ke 12 Syaikh ‘Abdullah al-Syarqawi (w.1227) yang hidup saat Mesir diekspansi oleh Prancis.
Waktupun terus berjalan, di abad ketiga belas hijriah periwayatan resmi hadis ini kemudian berpindah ke kota Makkah. Syaikh Utsman al-Dimyathi (1196-1265) –seorang alim Mesir- murid dari Syaikh al-Syarqawi meninggalkan tanah kelahirannya dan melakukan perjalanan menuju Makkah al-Mukarramah. Di kota suci ini beliau memutuskan untuk menghabiskan sisa umurnya dan akhirnya wafat di sana. Kota Makkah menjadi daerah kelima, setelah Madinah, Syam, Iraq dan Mesir yang menjadi tempat perlintasan penyebaran hadis Nabi ini. Di kota yang menjadi saksi parahnya ‘‘ashabiyyah jahiliyyah” pada masa Nabi dulu, Syaikh Utsman al-Dimyathi yang berasal dari Mesir mengijazahkan hadis cinta bangsa tersebut kepada muridnya bernama Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (1231-1304) yang memang lahir di Makkah. Mufti Syafi’iyyah di Makkah ini kemudian meriwayatkan kepada muridnya bernama Sayyid Abu Bakr Muhammad Syatha (1226-1310), seorang ‘alim bermazhab Syafi’i pengarang kitab I’anah al-Thalibin dan menjadi rujukan utama para pelajar dari berbagai negara yang menuntut ilmu di Makkah masa itu.
Sungguh beruntung daerah di timur jauh belahan bumi yang bernama Indonesia, memiliki seorang ‘alim bernama Syaikh Mahfuzh al-Tarmasi (1285-1338) yang waktu itu bertekad mengarungi samudera menuntut ilmu ke Makkah, dan berguru kepada Sayyid Abu Bakr Syatha. Bahkan ia menjadi murid kinasihnya, belajar banyak ilmu kepadanya dan akhirnya hadis yang mengisahkan dialog tentang ‘Cinta Bangsa’ ini keberkahannya juga mengalir ke bumi Nusantara. Dari Syaikh Mahfuzh ini-lah kemudian hadis tersebut diijazahkan kepada murid mulia beliau Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (1282-1369), tokoh penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia dan juga pendiri Nahdlatul Ulama.
K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang inilah yang memberi silsilah sanad hadis ‘Cinta Bangsa’ kepada Syaikh Yasin (1335-1410) saat berkunjung ke Indonesia dan kemudian beliau abadikan dalam kitabnya yang berjudul ‘al-Arba’un al-Buldaniyyah’ pada urutan hadis yang ke 36.
- III-
Petuah Nabi yang bermula di Madinah ini laksana air sejuk mengaliri kehidupan umatnya dari generasi ke generasi, berkelok mengguyurkan berkah ke berbagai negeri; ke utara di Damaskus, dan Baghdad, lalu ke arah barat menuju Mesir, mengalir lagi ke timur menuju Makkah dan akhirnya sampai ke timur jauh, yaitu negeri tercinta ini, Indonesia.
Hadis ini membawa pesan kuat bahwa ‘cinta bangsa adalah fitrah manusia’. Mungkin unsur pengikat komunitas sudah mengalami perubahan, tidak lagi sama seperti pada masa Nabi. Ikatan kabilah bisa jadi sudah bergeser berganti pada ikatan bangsa dan negeri. Namun pesan hadis tetap sama, bahwa cinta bangsa bukanlah ‘ashobiyyah yang tercela dan tidak pula bertentangan dengan agama. Cinta tersebut menjadi nista jika bergerak menjadi nafsu-angkara, saling hina dan saling mencela.
Tidak terlalu sulit untuk membayangkan bahwa ulama-ulama yang tertulis namanya dalam rangkaian sanad panjang tersebut adalah orang-orang yang mencintai negerinya. Syaikh ‘Abdullah al-Syarqawi (w.1227) pengarang “Hasyiyah al-Syarqawi ‘ala Syarh al-Tahrir” adalah contoh konkritnya. Sewaktu menjabat syaikh al-Azhar, beliau bersikap tegas terhadap siapapun yang hendak mengoyak kedaulatan dan menjatuhkan martabat bangsa Mesir. Kesewenang-wenangan Prancis dan gabungan Utsmani-Inggris silih berganti beliau lawan dengan menggerakkan warga Mesir baik muslim maupun non-muslim di Jami’ al-Azhar. Sejarah mencatat dengan dramatis sikap tegas al-Syarqawi ‘membuang Syal kebesaran Prancis’ saat diletakkan dipundaknya oleh Napoleon Bonaparte. Sikap seperti ini merupakan wujud implementasi hadis yang ia riwayatkan, bahwa cinta negeri adalah fitrah ilahi dan membela harkat-martabat bangsa adalah titah nabawi.
Begitu juga dengan KH Hasyim Asy’ari. Fatwa Jihad yang beliau tetapkan pada 17 September 1945, kemudian disusul resolusi jihad 22 Oktober 1945 untuk melawan Sekutu merupakan wujud implementasi sunnah Nabi, untuk membela bangsa dari tirani dan juga wujud cinta bangsa dan negeri. Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan, cinta tanah air bukanlah ‘ashobiyah jahiliyyah’, cinta negeri adalah ‘sunnah nabawiyyah’.
___________________
Hadis yang tercantum dalam kitab ‘al-Arbaun al-Buldaninyyah’ ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam al-Musnad. Dalam jalur sanad Imam Ahmad terdapat perawi bernama ‘Abbad ibn Katsir al-Syami, murid dari tabi’in perempuan bernama Fusailah. Oleh banyak ulama ‘Abbad dikategorikan perawi ‘dha’if’. Namun perlu diketahui ‘Abbad tidak sendirian meriwayatkan hadis ini dari Fusailah, ada perawi lain bernama Salamah ibn Bisyr al-Dimasyqi yang juga meriwayatkan dari Fusailah (sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud dalam al-Sunan dan al-Baihaqi dalam al-Sunan). Meskipun Salamah ibn Bisyr ini juga kualitasnya dha’if, namun dengan bergabungnya dua jalur sanad tersebut setidaknya jalur sanad ini mempunyai kualitas ‘hasan li ghairihi.
Hadis ini juga tercatat diriwayatkan oleh selain Watsilah, yaitu oleh Sahabat Anas ibn Malik (sebagaimana diinformasikan dalam Sunan al-Baihaqi dan juga Tarikh Dimasyq karya Ibn ‘Asakir), namun dalam sanadnya juga terdapat perawi yang kualitasnya ‘dha’if’. Redaksi hadis dalam Sunan al-Baihaqi berbunyi:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمِنَ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُعِينَ الرَّجُلُ قَوْمَهُ عَلَى الْحَقِّ؟ قَالَ صلى الله عليه وسلم: " لَا "
Dengan adanya beberapa jalur sanad ini Ibnu Muflih al-Maqdisi (w. 763) dalam kitab ‘al-Adab al-Syar’iyyah’ juz 1, hlm 81 menyimpulkan bahwa hadis ini mempunyai kualitas hasan.
- Rahimahumullaah wa jazaahum ‘anaa khairan -
- Wallahu a’lam bi al-shawaab-
______
Sumber tulisan: Copas dari Ust. Arif
DOWNLOAD KITAB AL-ARBA'UN AL-BULDANIYYAH karangan Syaikh Yasin Al-Fadani
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih