Saudaraku, rasa malu adalah sebagian dari iman. Rasa malu juga selalu mendatangkan kebaikan. Itulah malu yang menjaga kemuliaan diri manusia dari perbuatan nista, keburukan dan yang melanggar kesopanan. Perasaan malu yang demikian sudah seharusnya jadi mahkota indah yang selalu dikenakan oleh setiap muslim.
Rasulullah Saw bersabda:
Artinya:
🍃“Bukan demikian, namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan sebenar-benarnya.”🍃 📚(HR. Tirmidzi)
🌼 Namun kini, rasa malu tersebut seringkali diletakkan bukan pada tempatnya. Orang justru malu melakukan perbuatan baik, sementara pede banget melakukan keburukan.
Misalnya malu ikut pengajian, malu bersedekah, malu memakai hijab atau pakaian syar'i, malu menunjukkan nilai-nilai keislaman, malu mengajak orang lain berbuat baik dan lain sebagainya. Akhirnya, banyak amalan ketaatan ditinggalkan gara-gara malu dengan orang lain. Kebaikan pun menjadi semakin asing di tengah-tengah masyarakat.
🌼 Sebaliknya....
Orang cenderung enggan untuk lepas dari keburukan karena alasan malu pada orang lain. Misalnya, ikut-ikutan tidak memakai hijab syar'i karena teman-teman tidak memakainya. Bila kondisi demikian dibiarkan, maka keburukan akan semakin unjuk gigi dan mendominasi. Tentu saja, rasa malu seperti yang disebutkan tadi tidak berada pada tempatnya. Salah tempat.
Artinya:
🍃"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persanggkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk."🍃 📚(Qs. Al-An’am : 116-117)
🌼 Saudaraku...
Seorang yang beramal kebaikan dan meninggalkan dosa sebenarnya demi keselamatan dan kebaikan dirinya sendiri. Kalau ia tidak mau melakukannya karena alasan malu, sama artinya ia malu untuk selamat. Mudahnya, ia malu masuk surga tapi pede ke neraka. Nauzubillah min dzalik.
Dari sini, kita selayaknya menata ulang tentang malu yang benar dan tidak benar. Agar diri kita tidak salah dalam bersikap yang berujung pada keselamatan diri kita sendiri.
Rasulullah Saw bersabda:
لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
🍃“Bukan demikian, namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan sebenar-benarnya.”🍃 📚(HR. Tirmidzi)
🌼 Namun kini, rasa malu tersebut seringkali diletakkan bukan pada tempatnya. Orang justru malu melakukan perbuatan baik, sementara pede banget melakukan keburukan.
Misalnya malu ikut pengajian, malu bersedekah, malu memakai hijab atau pakaian syar'i, malu menunjukkan nilai-nilai keislaman, malu mengajak orang lain berbuat baik dan lain sebagainya. Akhirnya, banyak amalan ketaatan ditinggalkan gara-gara malu dengan orang lain. Kebaikan pun menjadi semakin asing di tengah-tengah masyarakat.
🌼 Sebaliknya....
Orang cenderung enggan untuk lepas dari keburukan karena alasan malu pada orang lain. Misalnya, ikut-ikutan tidak memakai hijab syar'i karena teman-teman tidak memakainya. Bila kondisi demikian dibiarkan, maka keburukan akan semakin unjuk gigi dan mendominasi. Tentu saja, rasa malu seperti yang disebutkan tadi tidak berada pada tempatnya. Salah tempat.
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ﴿١١٦﴾إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
🍃"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persanggkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk."🍃 📚(Qs. Al-An’am : 116-117)
🌼 Saudaraku...
Seorang yang beramal kebaikan dan meninggalkan dosa sebenarnya demi keselamatan dan kebaikan dirinya sendiri. Kalau ia tidak mau melakukannya karena alasan malu, sama artinya ia malu untuk selamat. Mudahnya, ia malu masuk surga tapi pede ke neraka. Nauzubillah min dzalik.
Dari sini, kita selayaknya menata ulang tentang malu yang benar dan tidak benar. Agar diri kita tidak salah dalam bersikap yang berujung pada keselamatan diri kita sendiri.
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih