Kitab fikih populer berbeda dengan kitab fikih induk. Bisa saja ada kitab fikih yang populer di negeri ini, tetapi tidak tergolong kitab induk, misalnya kitab Fathu Al-Qorib karya Ibnu Qosim Al-Ghozzi dan Fathu Al-Mu’in karya Al-Malibari.
Kitab dasar juga tidak identik dengan kitab induk atau biasa disebut sebagai ummahatul kutub (أمهات الكتب). Jadi, jika ada kitab yang dianggap dasar untuk pemula dan banyak dikaji di masyarakat seperti kitab Safinatu An-Naja karya Salim Al-Hadhromi dan Sullamu At-Taufiq karya Abdullah At-Tarimi, tetapi kedua kitab ini bukanlah kitab fikih induk madzhab Asy-Syafi’i.
Kitab induk yang dimaksud di sini juga bukan kitab-kitab yang ditulis dengan metode pembahasan komperhensif, tuntas, meneliti pendapat mu’tamad, menguraikan pendapat di luar madzhab dan mengulasnya dengan ulasan mendalam. Jadi, jika ada kitab Asy-Syafi’iyyah yang bersifat mendalam seperti Al-Majmu’ karya An-Nawawi, Al-Hawi Al-Kabir karya Al-Mawardi, Nihayatu Al-Mathlab karya Al-Juwaini, Bahru Al-Madzhab karya Ar-Ruyani dan semisalnya maka kitab-kitab ini bisa digolongkan ke dalam kitab-kitab muthowwal/mabsuth (diuraikan panjang lebar) tetapi tidak digolongkan dalam kitab induk dalam bahasan ini.
Yang dimaksud kitab fikih induk adalah kitab yang darinya lahir banyak kitab lain. Ia disebut induk di sini seolah-olah diserupakan dengan ibu yang melahirkan banyak anak. Kitab induk adalah kitab yang memiliki kedudukan penting sehingga mendapatkan perhatian lebih untuk diringkas, diperjelas, diperluas, dipertajam dan dilengkapi. Kitab induk adalah inspirator kitab-kitab yang lainnya karena kualitas tinggi yang dimilikinya.
Kitab induk tidak harus bersifat insya-i (orisinal), yakni lahir pertama kali dan menjadi pelopor kitab-kitab sesudahnya. Kitab-kitab induk bisa saja merupakan kitab insya-i dan bisa juga kitab hasil ringkasan dari kitab besar lainnya. Apapun jenis kitabnya, selama memiliki sifat-sifat di atas maka bisa disebut dengan kitab induk.
Menentukan mana kitab induk dan bukan adalah hasil interpretasi terhadap sejarah. Karena itu wajar jika tiap masa, daftar kitab induk bisa berubah-ubah dan berbeda-beda. Di antara sejumlah orang yang mengkaji sejarah yang sama terhadap kitab bidang ilmu tertentu, bisa saja terjadi perbedaan pendapat dan interpretasi pada saat menentukan mana yang digolongkan kitab induk dan mana yang bukan. Perbedaan kesimpulan ini sangat wajar dan memang harus ditempatkan dalam konteks “ijihad”. Tiap orang boleh mengikuti klasifikasi dan penderetan nama-nama kitab sesuai dengan argumentasi yang dianggapnya lebih dekat dengan realita.
Melalui pengkajian sejarah tumbuh kembangnya kitab-kitab fikih bermadzhab Asy-Syafi’i semenjak masa hidup sang imam sampai zaman sekarang ini, saya condong untuk menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa kitab fikih induk madzhab Asy-Syafi’i ada delapan yaitu,
1. Al Umm (الأم), karya pendiri madzhab; Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H)
2. Mukhtashor Al-Muzani (مختصر المزني), karya murid cemerlang sang Imam; Al-Muzani (wafat 264 H)
3. Al-Lubab (اللباب), karya Al-Mahamili (wafat 415 H)
4. At-Tanbih (التنبيه) karya Asy-Syirozi (wafat 476 H)
5. Al-Ghoyah Wa At-Taqrib (الغاية والتقريب) karya Abu Syuja’ (wafat 488 H)
6. Az-Zubad Fima ‘Alaihi Al-Mu’tamad (الزبد فيما عليه المعتمد) karya Hibatullah Al-Barizi (wafat 738 H)
7. Al-Muqoddimah Al-Hadhromiyyah (المقدمة الحضرمية) karya Abdullah Bafadhl (wafat 918 H)
8. Qurrotu Al-‘Ain (قرة العين) karya Al-Malibari (wafat 1028 H)
Oleh karena itu, siapapun yang menjadi pemerhati fikih madzhab Asy-Syafi’i marilah memfokuskan mata dan perhatian pada delapan kitab tersebut dengan segala kitab turunan dan cabangnya. Kajian serius pada delapan kitab ini akan meniscayakan terbentuknya benang-benang merah yang akan menyambungkan satu segmen sejarah dengan segmen yang lainnya sehingga sejarah kitab fikih madzhab Asy-Syafi’i akan dipahami dengan baik. []
Kitab dasar juga tidak identik dengan kitab induk atau biasa disebut sebagai ummahatul kutub (أمهات الكتب). Jadi, jika ada kitab yang dianggap dasar untuk pemula dan banyak dikaji di masyarakat seperti kitab Safinatu An-Naja karya Salim Al-Hadhromi dan Sullamu At-Taufiq karya Abdullah At-Tarimi, tetapi kedua kitab ini bukanlah kitab fikih induk madzhab Asy-Syafi’i.
Kitab induk yang dimaksud di sini juga bukan kitab-kitab yang ditulis dengan metode pembahasan komperhensif, tuntas, meneliti pendapat mu’tamad, menguraikan pendapat di luar madzhab dan mengulasnya dengan ulasan mendalam. Jadi, jika ada kitab Asy-Syafi’iyyah yang bersifat mendalam seperti Al-Majmu’ karya An-Nawawi, Al-Hawi Al-Kabir karya Al-Mawardi, Nihayatu Al-Mathlab karya Al-Juwaini, Bahru Al-Madzhab karya Ar-Ruyani dan semisalnya maka kitab-kitab ini bisa digolongkan ke dalam kitab-kitab muthowwal/mabsuth (diuraikan panjang lebar) tetapi tidak digolongkan dalam kitab induk dalam bahasan ini.
Yang dimaksud kitab fikih induk adalah kitab yang darinya lahir banyak kitab lain. Ia disebut induk di sini seolah-olah diserupakan dengan ibu yang melahirkan banyak anak. Kitab induk adalah kitab yang memiliki kedudukan penting sehingga mendapatkan perhatian lebih untuk diringkas, diperjelas, diperluas, dipertajam dan dilengkapi. Kitab induk adalah inspirator kitab-kitab yang lainnya karena kualitas tinggi yang dimilikinya.
Kitab induk tidak harus bersifat insya-i (orisinal), yakni lahir pertama kali dan menjadi pelopor kitab-kitab sesudahnya. Kitab-kitab induk bisa saja merupakan kitab insya-i dan bisa juga kitab hasil ringkasan dari kitab besar lainnya. Apapun jenis kitabnya, selama memiliki sifat-sifat di atas maka bisa disebut dengan kitab induk.
Menentukan mana kitab induk dan bukan adalah hasil interpretasi terhadap sejarah. Karena itu wajar jika tiap masa, daftar kitab induk bisa berubah-ubah dan berbeda-beda. Di antara sejumlah orang yang mengkaji sejarah yang sama terhadap kitab bidang ilmu tertentu, bisa saja terjadi perbedaan pendapat dan interpretasi pada saat menentukan mana yang digolongkan kitab induk dan mana yang bukan. Perbedaan kesimpulan ini sangat wajar dan memang harus ditempatkan dalam konteks “ijihad”. Tiap orang boleh mengikuti klasifikasi dan penderetan nama-nama kitab sesuai dengan argumentasi yang dianggapnya lebih dekat dengan realita.
Melalui pengkajian sejarah tumbuh kembangnya kitab-kitab fikih bermadzhab Asy-Syafi’i semenjak masa hidup sang imam sampai zaman sekarang ini, saya condong untuk menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa kitab fikih induk madzhab Asy-Syafi’i ada delapan yaitu,
1. Al Umm (الأم), karya pendiri madzhab; Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H)
2. Mukhtashor Al-Muzani (مختصر المزني), karya murid cemerlang sang Imam; Al-Muzani (wafat 264 H)
3. Al-Lubab (اللباب), karya Al-Mahamili (wafat 415 H)
4. At-Tanbih (التنبيه) karya Asy-Syirozi (wafat 476 H)
5. Al-Ghoyah Wa At-Taqrib (الغاية والتقريب) karya Abu Syuja’ (wafat 488 H)
6. Az-Zubad Fima ‘Alaihi Al-Mu’tamad (الزبد فيما عليه المعتمد) karya Hibatullah Al-Barizi (wafat 738 H)
7. Al-Muqoddimah Al-Hadhromiyyah (المقدمة الحضرمية) karya Abdullah Bafadhl (wafat 918 H)
8. Qurrotu Al-‘Ain (قرة العين) karya Al-Malibari (wafat 1028 H)
Oleh karena itu, siapapun yang menjadi pemerhati fikih madzhab Asy-Syafi’i marilah memfokuskan mata dan perhatian pada delapan kitab tersebut dengan segala kitab turunan dan cabangnya. Kajian serius pada delapan kitab ini akan meniscayakan terbentuknya benang-benang merah yang akan menyambungkan satu segmen sejarah dengan segmen yang lainnya sehingga sejarah kitab fikih madzhab Asy-Syafi’i akan dipahami dengan baik. []
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih