Pada pembahasan yang lalu, kita telah membicarakan tentang persoalan tatacara berqurban atas nama keluarga. Pada postingan kali ini, akan dibahas pula tentang hukum kebolehan memberikan atau mendistribusikan daging hewan qurban ke daerah lain di luar daerah tempat pelaksaan hewan Qurban.
Pada pokoknya, tidak ada halangan membagi kurban ke daerah lain (di luar daerah orang yang berkurban) tanpa membedakan apakah masih dalam bentuk hewan hidup ataukah sudah dalam bentuk daging yang siap didistribusikan. Juga tidak membedakan apakah jarak daerah luar itu kurang dari jarak qoshor ataukah lebih. Juga tidak membedakan apakah daging yang didisribusikan itu masih dalam keadaan mentah ataukah sudah matang/diolah. Juga tidak membedakan apakah hewan kurban itu disembelih di daerah luar ataukah di daerah tempat orang berkurban. Semuanya boleh, tidak boleh dicela, disebut kesalahan, apalagi sebutan lebih “kejam” dari itu yakni menyelisihi sunnah.
Dalil yang mendasari ketentuan ini adalah ayat berikut ini,
“Maka makanlah sebagian darinya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.”
Dalam ayat lain disebutkan:
“Maka makanlah sebagian darinya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang mengharap.”
Dua ayat di atas menunjukkan daging kurban didistribusikan kepada tiga golongan: Orang yang berkurban, fakir miskin, dan para tetangga/kerabat/orang yang berharap.
Lafadz “makanlah sebagian darinya” pada surat Al-Hajj;28 menunjukkan bahwa orang yang berkurban diizinkan memakan sebagian dari daging hewan yang telah dikurbankannya. Lafadz ini menjadi dalil golongan yang pertama.
Perintah untuk memberi makan orang sengsara lagi fakir pada ayat yang sama yaitu lafadz “berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” menunjukkan bahwa daging kurban diberikan kepada orang-orang fakir miskin sebagai shodaqoh. Lafadz ini menjadi dalil golongan yang kedua.
Perintah untuk memberikan kepada qoni’ dan mu’tarr pada surat Al-Hajj;36 yaitu lafadz; “beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang mengharap” menunjukkan bahwa daging kurban diberikan kepada kerabat, keluarga, tetangga, pengunjung dan semisalnya sebagai hadiah. Penjelasannya; Qoni’ adalah orang yang bersikap nerima (qonaah) dengan keadaannya sehingga tidak meminta-minta meskipun kekurangan, sementara mu’tarr adalah orang yang mengharapkan untuk diberi daging kurban meskipun tidak meminta secara langsung. Lafadz ini menjadi dalil golongan yang ketiga.
Ketika Allah memerintahkan kurban diberikan kepada fakir miskin, qoni’ dan mu’tarr, Allah TIDAK MEMBATASI LOKASI mereka. Juga tidak diatur apakah area distribusi kurban harus dalam jarak qoshor atau lebih dari itu. Oleh karena itu, tidak ada halangan memberikan daging kurban kepada fakir miskin, qoni’ dan mu’tarr di daerah orang yang berkurban maupun diluar daerahnya. Lafaz umum dalam Al-Qur’an tidak boleh dibatasi dengan batasan yang tidak ditunjukkan dalam dalil.
Lagipula pertimbangan umumnya orang mengirim kurban ke daerah lain adalah di dasarkan pada analisa bahwa daerah lain tersebut lebih butuh daripada daerah orang yang berkurban. Justru sasaran ini lebih dekat menjalankan perintah ayat Al-Qur’an dan hadis untuk memperhatikan nasib orang yang menderita. Rasulullah ﷺ pernah melarang menyimpan daging kurban lebih dari 3 hari karena pertimbangan orang-orang yang butuh. Oleh karena itu, mendistribusikan daging kurban pada daerah lain yang lebih butuh justru sesuai dengan perintah Nabi ﷺ.
Adapun alasan ketidaksukaan membagi kurban di daerah lain karena dianggap akan menghilangkan syiar, maka alasan ini tidak bisa diterima. Hal itu dikarenakan kasus membagi daging kurban ke daerah lain itu bukan kasus umum, tetapi kejadian kasusistik pada daerah-daerah tertentu yang penduduknya sudah berkecukupan. Jadi, keputusan tersebut tidak akan menghilangkan syiar kurban. Lagi pula klaim syiar hilang ini juga tidak benar karena tentu saja syiar kurban tetap semarak dan muncul pada daerah yang dikirimi daging kurban.
Adapun ketidaksukaan membagi kurban di daerah lain dengan alasan orang yang berkurban tidak menyembelih sendiri, tidak mengucapkan bismilah pada kurbannya saat disembelih, tidak mengucapkan takbir pada kurbannya saat disembelih, dan tidak menyaksikan sendiri penyembelihan hewan kurbannya, maka alasan ini juga tidak dapat diterima.
Hal itu dikarenakan orang yang berkurban tidak wajib MENYEMBELIH SENDIRI kurbannya, meskipun itu adalah lebih utama. Orang yang berkurban boleh mewakilkan penyembelihan kurban berdasarkan riwayat hadis dan keumuman kemubahan akad wakalah. Apalagi jika orang yang berkurban memang tidak pandai menyembelih dan tidak tahu adab-adab menyembelih. Justru dalam kondisi ini dia diharuskan mewakilkan kepada orang yang pandai menyembelih. Menyaksikan penyembelihan kurban juga tidak wajib, meskipun hal itu lebih afdhol. Karena itu tidak bisa dengan alasan ini melarang, menyalahkan atau mencitraburukkan penyembelihan kurban/distribusi daging kurban di daerah lain.
Adapun ketidaksukaan membagi kurban di daerah lain dengan alasan orang yang berkurban tidak makan daging kurbannya sendiri, maka alasan ini juga tidak bisa diterima. Hal itu dikarenakan memakan daging kurban bagi orang yang berkurban hukumnya tidak wajib. Itu hanya izin dari Allah dan maksimal dipahami sebagai hal afdhol, bukan kewajiban. Lagipula seandainya dipahami wajib sekalipun, masih bisa sebagian daging itu dikirimkan kepada orang yang berkurban.
Adapun ketidaksukaan membagi kurban di daerah lain dengan alasan orang yang berkurban tidak tahu kapan “bertahallul” dari larangan memotong kuku dan rambut karena dia tidak tahu persis kapan disembelih kurbannya, apakah di hari raya atau di hari tasyriq, maka alasan ini juga tidak bisa diterima.
Hal itu dikarenakan dalam madzhab Hanafi, memotong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban selama bukan orang yang berihram hukumnya mubah, tidak terlarang. Bagi ulama yang berpendapat haram sekalipun hal ini tidak layak dijadikan alasan menolak atau melarang penyembelihan kurban di daerah lain karena hal ini perkara yang sangat teknis. Pada zaman sekarang sangat mudah solusinya. Orang bisa segera mengirim pesan lewat alat komunikasi bahwa kurbannya sudah disembelih sehingga saat itu juga dia sudah bisa langsung bertahallul.
Adapun ketidaksukaan membagi kurban di daerah lain dengan alasan bersedekah kepada keluarga, kerabat dan tetangga lebih afdhol maka alasan ini juga tidak bisa diterima. Jika tetangga dan kerabat sudah berkecukupan sementara di daerah lain ada yang lebih butuh, maka tidak salah membagi daging kurban kepada daerah yang lebih butuh. Apalagi dalam hadis dinyatakan umat Islam itu bagaikan satu jasad.
Adapun ketidaksukaan membagi kurban di daerah lain dengan alasan mafsadat yang dikahawatirkan timbul seperti dipandang sebagai kegiatan ekonomi yang hilang ruh ibadahnya, orang yang berkurban tidak tahu penyembelihannya syar’i benar apa tidak, dan lain-lain. Maka ini semua adalah kendala teknis yang sangat mudah diselesaikan secara teknis juga.
Atas dasar ini, tidak mengapa membagi kurban ke daerah lain tanpa membedakan apakah disembelih di daerah asal orang yang berkurban ataukah di daerah yang disasar distribusi. Wallahua’lam.
Pada pokoknya, tidak ada halangan membagi kurban ke daerah lain (di luar daerah orang yang berkurban) tanpa membedakan apakah masih dalam bentuk hewan hidup ataukah sudah dalam bentuk daging yang siap didistribusikan. Juga tidak membedakan apakah jarak daerah luar itu kurang dari jarak qoshor ataukah lebih. Juga tidak membedakan apakah daging yang didisribusikan itu masih dalam keadaan mentah ataukah sudah matang/diolah. Juga tidak membedakan apakah hewan kurban itu disembelih di daerah luar ataukah di daerah tempat orang berkurban. Semuanya boleh, tidak boleh dicela, disebut kesalahan, apalagi sebutan lebih “kejam” dari itu yakni menyelisihi sunnah.
Dalil yang mendasari ketentuan ini adalah ayat berikut ini,
{فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ} [الحج: 28]
Dalam ayat lain disebutkan:
{فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ} [الحج: 36]
Dua ayat di atas menunjukkan daging kurban didistribusikan kepada tiga golongan: Orang yang berkurban, fakir miskin, dan para tetangga/kerabat/orang yang berharap.
Lafadz “makanlah sebagian darinya” pada surat Al-Hajj;28 menunjukkan bahwa orang yang berkurban diizinkan memakan sebagian dari daging hewan yang telah dikurbankannya. Lafadz ini menjadi dalil golongan yang pertama.
Perintah untuk memberi makan orang sengsara lagi fakir pada ayat yang sama yaitu lafadz “berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” menunjukkan bahwa daging kurban diberikan kepada orang-orang fakir miskin sebagai shodaqoh. Lafadz ini menjadi dalil golongan yang kedua.
Perintah untuk memberikan kepada qoni’ dan mu’tarr pada surat Al-Hajj;36 yaitu lafadz; “beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang mengharap” menunjukkan bahwa daging kurban diberikan kepada kerabat, keluarga, tetangga, pengunjung dan semisalnya sebagai hadiah. Penjelasannya; Qoni’ adalah orang yang bersikap nerima (qonaah) dengan keadaannya sehingga tidak meminta-minta meskipun kekurangan, sementara mu’tarr adalah orang yang mengharapkan untuk diberi daging kurban meskipun tidak meminta secara langsung. Lafadz ini menjadi dalil golongan yang ketiga.
Ketika Allah memerintahkan kurban diberikan kepada fakir miskin, qoni’ dan mu’tarr, Allah TIDAK MEMBATASI LOKASI mereka. Juga tidak diatur apakah area distribusi kurban harus dalam jarak qoshor atau lebih dari itu. Oleh karena itu, tidak ada halangan memberikan daging kurban kepada fakir miskin, qoni’ dan mu’tarr di daerah orang yang berkurban maupun diluar daerahnya. Lafaz umum dalam Al-Qur’an tidak boleh dibatasi dengan batasan yang tidak ditunjukkan dalam dalil.
Lagipula pertimbangan umumnya orang mengirim kurban ke daerah lain adalah di dasarkan pada analisa bahwa daerah lain tersebut lebih butuh daripada daerah orang yang berkurban. Justru sasaran ini lebih dekat menjalankan perintah ayat Al-Qur’an dan hadis untuk memperhatikan nasib orang yang menderita. Rasulullah ﷺ pernah melarang menyimpan daging kurban lebih dari 3 hari karena pertimbangan orang-orang yang butuh. Oleh karena itu, mendistribusikan daging kurban pada daerah lain yang lebih butuh justru sesuai dengan perintah Nabi ﷺ.
Adapun alasan ketidaksukaan membagi kurban di daerah lain karena dianggap akan menghilangkan syiar, maka alasan ini tidak bisa diterima. Hal itu dikarenakan kasus membagi daging kurban ke daerah lain itu bukan kasus umum, tetapi kejadian kasusistik pada daerah-daerah tertentu yang penduduknya sudah berkecukupan. Jadi, keputusan tersebut tidak akan menghilangkan syiar kurban. Lagi pula klaim syiar hilang ini juga tidak benar karena tentu saja syiar kurban tetap semarak dan muncul pada daerah yang dikirimi daging kurban.
Adapun ketidaksukaan membagi kurban di daerah lain dengan alasan orang yang berkurban tidak menyembelih sendiri, tidak mengucapkan bismilah pada kurbannya saat disembelih, tidak mengucapkan takbir pada kurbannya saat disembelih, dan tidak menyaksikan sendiri penyembelihan hewan kurbannya, maka alasan ini juga tidak dapat diterima.
Hal itu dikarenakan orang yang berkurban tidak wajib MENYEMBELIH SENDIRI kurbannya, meskipun itu adalah lebih utama. Orang yang berkurban boleh mewakilkan penyembelihan kurban berdasarkan riwayat hadis dan keumuman kemubahan akad wakalah. Apalagi jika orang yang berkurban memang tidak pandai menyembelih dan tidak tahu adab-adab menyembelih. Justru dalam kondisi ini dia diharuskan mewakilkan kepada orang yang pandai menyembelih. Menyaksikan penyembelihan kurban juga tidak wajib, meskipun hal itu lebih afdhol. Karena itu tidak bisa dengan alasan ini melarang, menyalahkan atau mencitraburukkan penyembelihan kurban/distribusi daging kurban di daerah lain.
Adapun ketidaksukaan membagi kurban di daerah lain dengan alasan orang yang berkurban tidak makan daging kurbannya sendiri, maka alasan ini juga tidak bisa diterima. Hal itu dikarenakan memakan daging kurban bagi orang yang berkurban hukumnya tidak wajib. Itu hanya izin dari Allah dan maksimal dipahami sebagai hal afdhol, bukan kewajiban. Lagipula seandainya dipahami wajib sekalipun, masih bisa sebagian daging itu dikirimkan kepada orang yang berkurban.
Adapun ketidaksukaan membagi kurban di daerah lain dengan alasan orang yang berkurban tidak tahu kapan “bertahallul” dari larangan memotong kuku dan rambut karena dia tidak tahu persis kapan disembelih kurbannya, apakah di hari raya atau di hari tasyriq, maka alasan ini juga tidak bisa diterima.
Hal itu dikarenakan dalam madzhab Hanafi, memotong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban selama bukan orang yang berihram hukumnya mubah, tidak terlarang. Bagi ulama yang berpendapat haram sekalipun hal ini tidak layak dijadikan alasan menolak atau melarang penyembelihan kurban di daerah lain karena hal ini perkara yang sangat teknis. Pada zaman sekarang sangat mudah solusinya. Orang bisa segera mengirim pesan lewat alat komunikasi bahwa kurbannya sudah disembelih sehingga saat itu juga dia sudah bisa langsung bertahallul.
Adapun ketidaksukaan membagi kurban di daerah lain dengan alasan bersedekah kepada keluarga, kerabat dan tetangga lebih afdhol maka alasan ini juga tidak bisa diterima. Jika tetangga dan kerabat sudah berkecukupan sementara di daerah lain ada yang lebih butuh, maka tidak salah membagi daging kurban kepada daerah yang lebih butuh. Apalagi dalam hadis dinyatakan umat Islam itu bagaikan satu jasad.
Adapun ketidaksukaan membagi kurban di daerah lain dengan alasan mafsadat yang dikahawatirkan timbul seperti dipandang sebagai kegiatan ekonomi yang hilang ruh ibadahnya, orang yang berkurban tidak tahu penyembelihannya syar’i benar apa tidak, dan lain-lain. Maka ini semua adalah kendala teknis yang sangat mudah diselesaikan secara teknis juga.
Atas dasar ini, tidak mengapa membagi kurban ke daerah lain tanpa membedakan apakah disembelih di daerah asal orang yang berkurban ataukah di daerah yang disasar distribusi. Wallahua’lam.
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih