Kitab Al-Majmu’ (المجموع) merupakan penjelasan (syarah) terhadap kitab Al-Muhadzdzab karya Imam Asy-Syirazi. Kitab ini menjadi salah satu kitab pegangan dalam fiqih, khususnya Fiqih mazhab Syafi'i.
Sebenarnya ada dua syarah Al-Muhadzdzab yang terkenal dan tercetak:
Pertama, Al-Bayan (البيان) karya Yahya Al-‘Imroni ( 558 H),
Kedua, adalah Al-Majmu’ karya Imam An-Nawawi ini.
Di antara dua kitab ini, Al-Majmu’ lebih populer dan lebih mendapatkan perhatian karena kedudukan besar imam An-Nawawi sebagai muharrir dalam madzhab Asy-Syafi’i.
Sebagai referensi untuk mengetahui pendapat mu’tamad madzhab Asy-Syafi’i, posisi Al-Majmu’ berada di urutan kedua setelah kitab At-Tahqiq. Jadi, bisa disimpulkan Al-Majmu’ adalah di antara referensi terbesar dan terpenting yang berada di deretan kitab posisi puncak dalam madzhab Asy-Syafi’i.
Bukan hanya penting dalam madzhab Asy-Syafi’i, tetapi juga rujukan penting untuk fikih Islam secara umum. Hal itu dikarenakan Al-Majmu’ menyajikan uraian perbandingan madzhab sebagaimana gaya penulisan Al-Umm karya Asy-Syafi’i, Al-Muhalla karya Ibnu Hazm, Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Al-Mabsuth karya As-Sarakhsi, Bidayatu Al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaili dan lain-lain. Jadi, Al-Majmu’ adalah rujukan penting jika berbicara ensiklopedi fikih klasik maupun modern.
Al-Majmu’ adalah di antara karya terbesar An-Nawawi. Demikian luasnya ilmu An-Nawawi dalam kitab ini bisa kita ukur ketika kita mengetahui bahwa kitab Al-Muhadzdzab yang tebalnya sekitar 140 lembar itu disyarah oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menjadi 9 jilid (edisi cetakan menajdi 23 jilid). Itupun belum tuntas, karena An-Nawawi hanya mensyarah sampai pada bab riba.
Keistimewaan Al-Majmu’ adalah membahas pendapat madzhab-madzhab lain secara komperhensif, lengkap dengan dalilnya kemudian mentarjih pendapat terkuat juga lengkap disertai dalil yang mendukungnya.
Demikian bermutu isi Al-Majmu’ sampai-sampai Al-Isnawi dan Ibnu Al-Mulaqqin berkata,
Artinya;
“Andai saja beliau menyelesaikannya, dan (tidak masalah) lenyap semua kitab-kitab beliau yang lain..”
Adz-Dzahabi juga berkomentar, “sangat bagus dan berkualitas!”
Ibnu Katsir memuji, “Seandainya (Al-Majmu’) selesai (ditulis) semua maka tidak ada kitab yang dikarang yang bisa menandinginya!”
Hal lain yang menunjukkan tingginya kualitas Al-Majmu’ adalah berita bahwa Taqiyyuddin As-Subky, ulama Asy-Syafi’iyyah abad 8 H (yang selalu didorong untuk melanjutkan syarah An-Nawawi dan menyempurnakan Al-Majmu) selalu maju mundur karena merasa tidak pantas. Beliau baru berani maju menulis syarah setelah beristikhoroh.
Adapun sistematikanya, kata As-Suyuthi, Al-Majmu’ ditulis dengan gaya seperti Al-Mughni karya Ibnu Qudamah. Secara ringkas, sistematika penulisan An-Nawawi pada saat menulis Al-Majmu’ adalah sebagai berikut.
Pertama-tama beliau membahas aspek bahasa. Kepakaran An-Nawawi dalam bahasa tampak di sini. Bagaimana tidak? An-Nawawi adalah murid “raja” nahwu yang tersohor itu, yakni Ibnu Malik yang mengarang alfiyyah Ibnu Malik dalam bidang nahwu. Kita tahu, manzhumah ini dihapalkan ribuan santri di seluruh dunia. Yang dibahas An-Nawawi adalah lafaz-lafaz ghorib dalam Al-Qur’an, hadis, atsar, maupun matan Al-Muhadzdzab tulisan Asy-Syirozi. Jika yang dianggap ghorib makna bahasa maka dibahas dulu makna bahasa termasuk analisis sharafnya berdasarkan ilmu matnul lughoh, setelah itu baru pembahasan makna istilah fuqoha’.
Setelah itu An-Nawawi menyebut hadis-hadis atau riwayat-riwayat yang berhubungan dengan topik. Penyebutan hadis dan riwayat itu tidak semata-mata penukilan tetapi juga disertai penjelasan takhrij dan kualitasnya. An-Nawawi termasuk ahli hadis, maka beliau cukup piawai menerangkan aspek ini. Kitab Al-Majmu’ bebas hadis maudhu’ dan jika ada hadis atau riwayat yang dhoif maka An-Nawawi menjelaskaannya.
Setelah itu An-Nawawi membahas kasus-kasus fikih rincian, kemudian menyebut mana yang rojih dari madzhab Asy-Syafi’i dari sekian aqwal, wujuh dan thuruq yang ada. Di bagian inijuga beliau menyebut ikhtilaf ulama yang lain. Dalam hal sikap, umumnya An-Nawawi membela madzhab Asy-Syafi’i. Bagian ini adalah bagian terpanjang dan terluas karena memang untuk maksud ini kitab ini ditulis. An-Nawawi menambah furu’, tatimmat dan zawa-id yang tidak disebutkan oleh Asy-Syirozi.
Kemudian An-Nawawi menjelaskan biografi singkat para shahabat dan ulama yang disebutkan oleh Asy-Syirozi.
Jadi, Al-Majmu’ bukan hanya menjadi sumber referensi ilmu fikih tapi juga sumber pembahasan definisi bahasa, definisi istilah, dhobth lafaz, takhrij hadis, ilmu ikhtilaf, ilmu ijma’, dan biografi tokoh.
Sayangnya kitab Al-Majmu’ tidak tuntas. Usia An-Nawawi memang relatif pendek. Sekitar usia 45 tahun beliau wafat dalam keadaan belum menikah. An-Nawawi sendiri saat proses penulisan kitab ini sudah merasa tidak akan sanggup menyelesaikan Al-Majmu’. Beliau hanya mensyarah sampai bab riba. Oleh karena itu, beliau memberi wasiat kepada muridnya; Ibnu Al-‘Atthor untuk menyempurnakan kitab tersebut, tapi Ibnu Al-‘Atthor tidak berhasil.
Setelah itu, kira-kira satu abad kemudian bangkitlah Taqiyyuddin As-Subki (wafat 756 H) melanjutkan syarah An-Nawawi. Tapi pekerjaan beliau juga tidak tuntas. Beliau hanya sampai pada bab “Ar-Rodd Bi Al-‘Aib”. Tapi ada sedikit kesimpangsiuran terkait sampai mana syarah An-Nawawi dan syarah Taqiyyuddin As-Subki.
Kata As-Sakhowi, tidak ada satupun ulama yang berniat untuk menyempurnakan Al-Majmu’ kemudian berhasil. Isma’il Al-Husbani, Taqiyyuddin As-Subki, Ibnu An-Naqib, Al-Bulqini (dengan karyanya “Al-Yanbu’ Fi Takmilati Al-Majmu’ “), Al-‘Iroqi, dan Abu Zur’ah Ar-Rozi semuanya tidak berhasil menuntaskannya. Ini dipandang sebagai di antara karomah An-Nawawi.
Di zaman sekarang yang berhasil menyempurnakannya adalah Najib Al-Muthi’i (konon nama aslinya Mahmud Ibrahim Ath-Thowabi. Beliau terpaksa mengubah nama karena di zamannya dikejar-kejar pemerintahan Gamal Abdel Nasser).
Pekerjaan Al-Muthi’i cukup terhambat karena di masa hidupnya beliau ditahan oleh rezim Gamal Abdel Nasser. Setelah keluar dari penjara beliau sempurnakan dengan agak terburu. Hal ini barangkali yang menyebabkan karyanya kurang maksimal. Ada yang bahkan agak sinis mengatakan bahwa Al-Muthi’i yang bermadzhab hanafi dalam mensyarah disinyalir hanya “copas” dari Al-Mughni karya Ibnu Qudamah atau dari Al-Bayan karya Al-‘Imroni.
Selain Al-Muthi’i ada juga informasi bahwa Isa Manun juga berusaha mensyarah melanjutkan pekerjaan As-Subki untuk melengkapi Al-Majmu’.
Ada juga upaya melengkapi syarah An-Nawawi dan As-Subki yang diklaim dilakukan 8 doktor (versi lain menyebut 10 doktor, bahkan 20) dan diterbitkan penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, tapi dinilai sangat buruk. Masih lebih baik karya Al-Muthi’i.
Bagaimanapun juga, upaya menyempurnakan karya An-Nawawi, baik yang dilakukan oleh As-Subki dan Al-Muthi’i (apalagi oleh mereka yang masih diragukan kualitas keilmuannya) tidak akan mencapai level An-Nawawi dalam menyebutkan wujuh, riwayat, aqwal dan tarjihat. Siapapun yang membaca Al-Majmu tulisan An-Nawawi dan membandingkan dengan syarah takmilah karya As-Subki dan Al-Muthi’i pasti merasakan betul perbedaannya.
Penerbit Maktabah Al-Irsyad di Jedah, Saudi Arabia telah mencetak kitab Al-Majmu’ menjadi 23 jilid dengan tahqiq dan syarah penyempurna Najib Al-Muthi’i. Cetakan Dar Al-Fikr membagi Al-Majmu’ menjadi 3 bagian: Syarah An-Nawawi, syarah Taqiyyuddin As-Subki, dan syarah Najib Al-Muthi’i.
Sebenarnya ada dua syarah Al-Muhadzdzab yang terkenal dan tercetak:
Pertama, Al-Bayan (البيان) karya Yahya Al-‘Imroni ( 558 H),
Kedua, adalah Al-Majmu’ karya Imam An-Nawawi ini.
Di antara dua kitab ini, Al-Majmu’ lebih populer dan lebih mendapatkan perhatian karena kedudukan besar imam An-Nawawi sebagai muharrir dalam madzhab Asy-Syafi’i.
Sebagai referensi untuk mengetahui pendapat mu’tamad madzhab Asy-Syafi’i, posisi Al-Majmu’ berada di urutan kedua setelah kitab At-Tahqiq. Jadi, bisa disimpulkan Al-Majmu’ adalah di antara referensi terbesar dan terpenting yang berada di deretan kitab posisi puncak dalam madzhab Asy-Syafi’i.
Bukan hanya penting dalam madzhab Asy-Syafi’i, tetapi juga rujukan penting untuk fikih Islam secara umum. Hal itu dikarenakan Al-Majmu’ menyajikan uraian perbandingan madzhab sebagaimana gaya penulisan Al-Umm karya Asy-Syafi’i, Al-Muhalla karya Ibnu Hazm, Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Al-Mabsuth karya As-Sarakhsi, Bidayatu Al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaili dan lain-lain. Jadi, Al-Majmu’ adalah rujukan penting jika berbicara ensiklopedi fikih klasik maupun modern.
Al-Majmu’ adalah di antara karya terbesar An-Nawawi. Demikian luasnya ilmu An-Nawawi dalam kitab ini bisa kita ukur ketika kita mengetahui bahwa kitab Al-Muhadzdzab yang tebalnya sekitar 140 lembar itu disyarah oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menjadi 9 jilid (edisi cetakan menajdi 23 jilid). Itupun belum tuntas, karena An-Nawawi hanya mensyarah sampai pada bab riba.
Keistimewaan Al-Majmu’ adalah membahas pendapat madzhab-madzhab lain secara komperhensif, lengkap dengan dalilnya kemudian mentarjih pendapat terkuat juga lengkap disertai dalil yang mendukungnya.
Demikian bermutu isi Al-Majmu’ sampai-sampai Al-Isnawi dan Ibnu Al-Mulaqqin berkata,
ليته أكمله، وانخرمت باقي كتبه
Artinya;
“Andai saja beliau menyelesaikannya, dan (tidak masalah) lenyap semua kitab-kitab beliau yang lain..”
Adz-Dzahabi juga berkomentar, “sangat bagus dan berkualitas!”
Ibnu Katsir memuji, “Seandainya (Al-Majmu’) selesai (ditulis) semua maka tidak ada kitab yang dikarang yang bisa menandinginya!”
Hal lain yang menunjukkan tingginya kualitas Al-Majmu’ adalah berita bahwa Taqiyyuddin As-Subky, ulama Asy-Syafi’iyyah abad 8 H (yang selalu didorong untuk melanjutkan syarah An-Nawawi dan menyempurnakan Al-Majmu) selalu maju mundur karena merasa tidak pantas. Beliau baru berani maju menulis syarah setelah beristikhoroh.
Adapun sistematikanya, kata As-Suyuthi, Al-Majmu’ ditulis dengan gaya seperti Al-Mughni karya Ibnu Qudamah. Secara ringkas, sistematika penulisan An-Nawawi pada saat menulis Al-Majmu’ adalah sebagai berikut.
Pertama-tama beliau membahas aspek bahasa. Kepakaran An-Nawawi dalam bahasa tampak di sini. Bagaimana tidak? An-Nawawi adalah murid “raja” nahwu yang tersohor itu, yakni Ibnu Malik yang mengarang alfiyyah Ibnu Malik dalam bidang nahwu. Kita tahu, manzhumah ini dihapalkan ribuan santri di seluruh dunia. Yang dibahas An-Nawawi adalah lafaz-lafaz ghorib dalam Al-Qur’an, hadis, atsar, maupun matan Al-Muhadzdzab tulisan Asy-Syirozi. Jika yang dianggap ghorib makna bahasa maka dibahas dulu makna bahasa termasuk analisis sharafnya berdasarkan ilmu matnul lughoh, setelah itu baru pembahasan makna istilah fuqoha’.
Setelah itu An-Nawawi menyebut hadis-hadis atau riwayat-riwayat yang berhubungan dengan topik. Penyebutan hadis dan riwayat itu tidak semata-mata penukilan tetapi juga disertai penjelasan takhrij dan kualitasnya. An-Nawawi termasuk ahli hadis, maka beliau cukup piawai menerangkan aspek ini. Kitab Al-Majmu’ bebas hadis maudhu’ dan jika ada hadis atau riwayat yang dhoif maka An-Nawawi menjelaskaannya.
Setelah itu An-Nawawi membahas kasus-kasus fikih rincian, kemudian menyebut mana yang rojih dari madzhab Asy-Syafi’i dari sekian aqwal, wujuh dan thuruq yang ada. Di bagian inijuga beliau menyebut ikhtilaf ulama yang lain. Dalam hal sikap, umumnya An-Nawawi membela madzhab Asy-Syafi’i. Bagian ini adalah bagian terpanjang dan terluas karena memang untuk maksud ini kitab ini ditulis. An-Nawawi menambah furu’, tatimmat dan zawa-id yang tidak disebutkan oleh Asy-Syirozi.
Kemudian An-Nawawi menjelaskan biografi singkat para shahabat dan ulama yang disebutkan oleh Asy-Syirozi.
Jadi, Al-Majmu’ bukan hanya menjadi sumber referensi ilmu fikih tapi juga sumber pembahasan definisi bahasa, definisi istilah, dhobth lafaz, takhrij hadis, ilmu ikhtilaf, ilmu ijma’, dan biografi tokoh.
Sayangnya kitab Al-Majmu’ tidak tuntas. Usia An-Nawawi memang relatif pendek. Sekitar usia 45 tahun beliau wafat dalam keadaan belum menikah. An-Nawawi sendiri saat proses penulisan kitab ini sudah merasa tidak akan sanggup menyelesaikan Al-Majmu’. Beliau hanya mensyarah sampai bab riba. Oleh karena itu, beliau memberi wasiat kepada muridnya; Ibnu Al-‘Atthor untuk menyempurnakan kitab tersebut, tapi Ibnu Al-‘Atthor tidak berhasil.
Setelah itu, kira-kira satu abad kemudian bangkitlah Taqiyyuddin As-Subki (wafat 756 H) melanjutkan syarah An-Nawawi. Tapi pekerjaan beliau juga tidak tuntas. Beliau hanya sampai pada bab “Ar-Rodd Bi Al-‘Aib”. Tapi ada sedikit kesimpangsiuran terkait sampai mana syarah An-Nawawi dan syarah Taqiyyuddin As-Subki.
Kata As-Sakhowi, tidak ada satupun ulama yang berniat untuk menyempurnakan Al-Majmu’ kemudian berhasil. Isma’il Al-Husbani, Taqiyyuddin As-Subki, Ibnu An-Naqib, Al-Bulqini (dengan karyanya “Al-Yanbu’ Fi Takmilati Al-Majmu’ “), Al-‘Iroqi, dan Abu Zur’ah Ar-Rozi semuanya tidak berhasil menuntaskannya. Ini dipandang sebagai di antara karomah An-Nawawi.
Di zaman sekarang yang berhasil menyempurnakannya adalah Najib Al-Muthi’i (konon nama aslinya Mahmud Ibrahim Ath-Thowabi. Beliau terpaksa mengubah nama karena di zamannya dikejar-kejar pemerintahan Gamal Abdel Nasser).
Pekerjaan Al-Muthi’i cukup terhambat karena di masa hidupnya beliau ditahan oleh rezim Gamal Abdel Nasser. Setelah keluar dari penjara beliau sempurnakan dengan agak terburu. Hal ini barangkali yang menyebabkan karyanya kurang maksimal. Ada yang bahkan agak sinis mengatakan bahwa Al-Muthi’i yang bermadzhab hanafi dalam mensyarah disinyalir hanya “copas” dari Al-Mughni karya Ibnu Qudamah atau dari Al-Bayan karya Al-‘Imroni.
Selain Al-Muthi’i ada juga informasi bahwa Isa Manun juga berusaha mensyarah melanjutkan pekerjaan As-Subki untuk melengkapi Al-Majmu’.
Ada juga upaya melengkapi syarah An-Nawawi dan As-Subki yang diklaim dilakukan 8 doktor (versi lain menyebut 10 doktor, bahkan 20) dan diterbitkan penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, tapi dinilai sangat buruk. Masih lebih baik karya Al-Muthi’i.
Bagaimanapun juga, upaya menyempurnakan karya An-Nawawi, baik yang dilakukan oleh As-Subki dan Al-Muthi’i (apalagi oleh mereka yang masih diragukan kualitas keilmuannya) tidak akan mencapai level An-Nawawi dalam menyebutkan wujuh, riwayat, aqwal dan tarjihat. Siapapun yang membaca Al-Majmu tulisan An-Nawawi dan membandingkan dengan syarah takmilah karya As-Subki dan Al-Muthi’i pasti merasakan betul perbedaannya.
Penerbit Maktabah Al-Irsyad di Jedah, Saudi Arabia telah mencetak kitab Al-Majmu’ menjadi 23 jilid dengan tahqiq dan syarah penyempurna Najib Al-Muthi’i. Cetakan Dar Al-Fikr membagi Al-Majmu’ menjadi 3 bagian: Syarah An-Nawawi, syarah Taqiyyuddin As-Subki, dan syarah Najib Al-Muthi’i.
رحم الله النووي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
dikutip dari :
http://irtaqi.net/2017/11/08/mengenal-kitab-al-majmu-karya-nawawi/
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih