Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa zakat (zakat mal) itu wajib ditunaikan oleh setiap muslim/muslimah yang memiliki harta sesuai ketentuan yang berlaku dalam syariat Islam.
Oleh karena itu, zakat menjadi salah satu rukun Islam (tiang agama Islam), yang menjadi syarat sah keislaman seseorang dan menjadi prasyarat tegaknya ajaran Islam dan bisa diimplementasikan di masyarakat.
Sebagaimana hadits Rasulullah SAW,
Artinya:
“Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Al-Khattab semoga Allah meridhai keduanya dia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Islam dibangun di atas lima perkara : bersaksi tiada Illah yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwa Nabi Muhammad SAW utusan Allah SWT, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Tirmidzi dan Muslim)
Sebaliknya, jika zakat ini tidak ditegakkan, maka masalah sosial akan terjadi di masyarakat tanpa solusi yang tepat.
Selain menjadi kewajiban, zakat dikategorikan perkara yang harus diketahui setiap muslim (al-ma’lum min ad-Din bidh-Dharurah).
Maksudnya, setiap muslim–tanpa terkecuali–harus tahu tentang kewajiban ini dan tidak ada alasan mengelak karena ketidaktahuannya tentang kewajiban zakat. Barangsiapa mengingkari kewajiban ini, ia telah mengingkari rukun Islam. Sama halnya mengingkari rukun Islam yang lain, seperti puasa dan shalat.
Jadi, zakat ini tidak hanya wajib, tetapi lebih tinggi dari hukum wajib, yaitu rukun iman dan ma’lum min ad-Din bidh-Dharurah.
Status hukum zakat di atas sesuai dengan maqashid zakat (tujuan disyariatkannya zakat), yaitu memenuhi kebutuhan para mustahik, yaitu fakir, miskin, amil, orang/pihak yang sedang dilunakkan hatinya, bentuk-bentuk perbudakan, orang yang berutang, orang yang berdakwah di jalan Allah, dan ibnu sabil.
Jenis kebutuhan yang diberikan adalah kebutuhan keuangan (finansial) untuk keperluan-keperluan mendasar. Dalam maqashid syariah, kebutuhan keuangan termasuk dalam kategori hifdzul maal (melindungi dan menyediakan kebutuhan akan keuangan).
Sementara itu, kebutuhan asasi (mendasar) para mustahik yang akan dipenuhi tersebut adalah kebutuhan yang wajib dan darurat, seperti makanan sehari-hari, tempat tinggal, modal usaha agar mereka berdaya, dan pendidikan.
Semua itu masuk dalam kategori kebutuhan wajib dan primer ( dharuriyat ).
Begitu pula pihak-pihak penerima zakat merupakan komponen penting dalam struktur masyarakat. Jika tidak diselesaikan dan dibantu, mereka akan menjadi masalah sosial dalam masyarakat. Dalam ilmu maqashid syariah, target sebuah hukum harus setara dengan hukumnya.
Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in :
Artinya,
“Setiap perbuatan dipandang oleh syara’ berdasarkan maslahat atau mafsadah yang terdapat dalam perbuatan tersebut. Jika perbuatan tersebut memiliki maslahat yang besar maka perbuatan tersebut termasuk kategori rukun. Jika perbuatan tersebut memiliki mafsadah yang besar maka perbuatan tersebut termasuk kategori dosa besar. Jika perbuatan tersebut memiliki maslahat yang tidak besar maka perbuatan tersebut termasuk kategori ihsan. Jika perbuatan tersebut memiliki mafsadah yang tidak besar maka perbuatan tersebut termasuk kategori dosa kecil.”
Berdasarkan pemilahan Ibnul Qayyim tersebut, zakat termasuk kategori pertama karena fungsi dan kedudukan zakat menjadi sangat penting sehingga tepat sekali jika dihukumi wajib, salah satu rukun Islam.
(Sumber: IG Ustadz Oni S.)
Oleh karena itu, zakat menjadi salah satu rukun Islam (tiang agama Islam), yang menjadi syarat sah keislaman seseorang dan menjadi prasyarat tegaknya ajaran Islam dan bisa diimplementasikan di masyarakat.
Sebagaimana hadits Rasulullah SAW,
عن أبي عبد الرحمن عبد الله بن عمر بن خطّاب رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول : بني الإسلام على خمس : شهادة أن لاإله إلا الله وأنّ محمدا رسول الله وإقام الصّلاة وإيتاء الزكاة وحجّ البيت وصوم رمضان (رواه الترمذي و مسلم)
“Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Al-Khattab semoga Allah meridhai keduanya dia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Islam dibangun di atas lima perkara : bersaksi tiada Illah yang berhak disembah melainkan Allah dan bahwa Nabi Muhammad SAW utusan Allah SWT, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Tirmidzi dan Muslim)
Sebaliknya, jika zakat ini tidak ditegakkan, maka masalah sosial akan terjadi di masyarakat tanpa solusi yang tepat.
Selain menjadi kewajiban, zakat dikategorikan perkara yang harus diketahui setiap muslim (al-ma’lum min ad-Din bidh-Dharurah).
Maksudnya, setiap muslim–tanpa terkecuali–harus tahu tentang kewajiban ini dan tidak ada alasan mengelak karena ketidaktahuannya tentang kewajiban zakat. Barangsiapa mengingkari kewajiban ini, ia telah mengingkari rukun Islam. Sama halnya mengingkari rukun Islam yang lain, seperti puasa dan shalat.
Jadi, zakat ini tidak hanya wajib, tetapi lebih tinggi dari hukum wajib, yaitu rukun iman dan ma’lum min ad-Din bidh-Dharurah.
Status hukum zakat di atas sesuai dengan maqashid zakat (tujuan disyariatkannya zakat), yaitu memenuhi kebutuhan para mustahik, yaitu fakir, miskin, amil, orang/pihak yang sedang dilunakkan hatinya, bentuk-bentuk perbudakan, orang yang berutang, orang yang berdakwah di jalan Allah, dan ibnu sabil.
Jenis kebutuhan yang diberikan adalah kebutuhan keuangan (finansial) untuk keperluan-keperluan mendasar. Dalam maqashid syariah, kebutuhan keuangan termasuk dalam kategori hifdzul maal (melindungi dan menyediakan kebutuhan akan keuangan).
Sementara itu, kebutuhan asasi (mendasar) para mustahik yang akan dipenuhi tersebut adalah kebutuhan yang wajib dan darurat, seperti makanan sehari-hari, tempat tinggal, modal usaha agar mereka berdaya, dan pendidikan.
Semua itu masuk dalam kategori kebutuhan wajib dan primer ( dharuriyat ).
Begitu pula pihak-pihak penerima zakat merupakan komponen penting dalam struktur masyarakat. Jika tidak diselesaikan dan dibantu, mereka akan menjadi masalah sosial dalam masyarakat. Dalam ilmu maqashid syariah, target sebuah hukum harus setara dengan hukumnya.
Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in :
الفعل يعتبر شرعا بما يكون عنه من المصالح والمفاسد، وقد بين الشرع ذلك وميز بين ما يعظم من الأفعال مصلحته فجعله ركنا أو مفسدته فجعله كبيرة، وبين ما ليس كذلك فسماه في المصالح إحسانا، وفي المفاسد صغيرة. وبهذه الطريقة يتميز ما هو أركان الدين وأصوله وما هو من فروعه وأصوله.... وذلك على مقدار المصلحة والمفسدة.
Artinya,
“Setiap perbuatan dipandang oleh syara’ berdasarkan maslahat atau mafsadah yang terdapat dalam perbuatan tersebut. Jika perbuatan tersebut memiliki maslahat yang besar maka perbuatan tersebut termasuk kategori rukun. Jika perbuatan tersebut memiliki mafsadah yang besar maka perbuatan tersebut termasuk kategori dosa besar. Jika perbuatan tersebut memiliki maslahat yang tidak besar maka perbuatan tersebut termasuk kategori ihsan. Jika perbuatan tersebut memiliki mafsadah yang tidak besar maka perbuatan tersebut termasuk kategori dosa kecil.”
Berdasarkan pemilahan Ibnul Qayyim tersebut, zakat termasuk kategori pertama karena fungsi dan kedudukan zakat menjadi sangat penting sehingga tepat sekali jika dihukumi wajib, salah satu rukun Islam.
(Sumber: IG Ustadz Oni S.)
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih