Bau dan asap rokok bagi kebanyakan orang adalah sangat mengganggu, terlebih lagi bila si perokok berada di ruangan yang tertutup bersama orang lain, di ruangan yang pengap atau dipenuhi banyak orang.
Biasanya, kondisi seperti itu bisa dijumpai di tempat semisal warung, rumah, ruangan kantor, kendaraan umum, bahkan tempat ibadah. Dan kondisi itu juga bisa terlihat di acara 'kumpul-kumpul' di tengah masyarakat, seperti: acara rapat, pesta walimahan, aqiqahan, perundingan adat, bahkan terkadang pada acara keagamaan semisal Maulid dan Isra'-Mi`raj, yang diselenggarakan di mesjid atau surau.
Memang fatwa ulama tentang hukum merokok itu beraneka ragam; mulai dari mubah, makruh hingga haram. Akan tetapi, membuat orang lain di dekat anda menjadi terusik dan terganggu, karena asap dan bau rokok anda sudah mencemari kebersihan dan kenyamanan udara di tempat itu, jelas hukum tindakan seperti ini bukan lagi Mubah, melainkan Haram atau minimalnya Makruh.
Agar lebih sedikit ilmiah, mari kita berikut ini menyimak kira-kira bagaimana persoalan ini bisa ditarik ke dalam kajian keagamaan.
Di kitab Shahih Muslim, disebutkan beberapa hadis terkait larangan masuk mesjid bagi yang orang telah memakan bawang putih dan merah, atau semacamnya. Diantaranya, hadis itu berbunyi:
"Siapa yang telah memakan pohon ini (bawang putih), maka janganlah dia mendatangi mesjid".
Hadis lainnya mengatakan:
"Siapa yang telah memakan tanaman ini (bawang putih), maka janganlah dia (langsung) mendekati mesjid kami sampai bau tanaman tersebut hilang".
Kedua hadis ini memang secara tekstual menyebutkan bawang putih dan mesjid, namun apakah pesan hadis ini hanya terpaku dan terkhusus pada dua hal ini? Mari kita lihat bagaimana para ulama kita memahami hadis di atas.
A. Apakah larangan ini hanya berlaku pada konteks makan bawang putih?
Dalam Syarah Shahih Muslim, imam Nawawi menjelaskan:
"Para ulama berkata, segala bentuk makanan atau lainnya yang beraroma tidak sedap, disamakan hukumnya dengan bawang putih, bawang merah, dan bawang perai".
Imam Nawawi juga mengutip ucapan Qadhi `Iyadh yang berbunyi:
"Termasuk juga, orang yang usai memakan lobak dan bersendawa".
Bahkan, Qadhi `Iyadh dan imam Nawawi juga mengutip pernyataan Ibnul Murabith berikut ini:
"Termasuk juga, orang yang mulutnya beraroma tidak sedap, atau memiliki luka yang berbau".
Nah, berdasarkan nukilan-nukilan ini, bau rokok dan asapnya yang tidak sedap itu bisa dikategorikan sama hukumnya dengan benda-benda yang telah disebutkan para ulama di atas. Wallaahua`lam.
B. Apakah larangan ini hanya berlaku pada konteks masuk mesjid?
Dalam Syarh Shahih Muslim, imam Nawawi juga mengutip penjelasan Qadhi `Iyadh seperti berikut ini:
"Para ulama menyamakan dengan mesjid, tempat-tempat salat berjemaah yang tidak berbentuk mesjid, seperti tempat penyelenggaran salat hari raya, jenazah, dan lainnya. Termasuk juga, tempat-tempat berupa majelis ilmu, majelis zikir, walimahan (pesta), dan lain-lainnya. Tapi, dalam hal ini pasar atau semacamnya tidak termasuk".
Imam Nawawi sendiri juga menyatakan:
"Dari hadis tersebut bisa dipahami larangan mendatangi semua tempat-tempat ibadah berjemaah dan yang semacam itu, sebagaimana yang telah dijelaskan".
Berdasarkan nukilan ini, lagi-lagi bisa dipahami bahwa merokok di semua tempat atau acara perkumpulan, sehingga bau dan asap rokok akhirnya mengusik orang lain yang ada di sekitarnya, adalah sebuah tindakan yang salah.
Selain itu, imam Syafi`i, para Syafi`iyyah senior dan lainnya, menyatakan bahwa anjuran sunat untuk memakai wangi-wangian, mandi dan bersih-bersih, memotong kuku, mencukur bulu, menghilangkan aroma tidak sedap, serta memakai pakaian yang terbagus, itu semua tidak hanya terkhusus pada konteks menghadiri salat Jumat, melainkan juga berlaku untuk menghadiri acara-acara pertemuan masyarakat.
Di dalam kitab al-Majmu`, imam Nawawi menyebutkan:
Tentunya, kalau sudah menyangkut persoalan mengusik dan menganggu orang lain, maka hukumnya tidak lagi berbicara pada tataran sunat. Sebab, hadis-hadis sebelumnya datang dalam konteks "an-Nahyu" (larangan), sehingga imam Nawawi sendiri menyatakan:
"Hadis ini merupakan larangan tegas bagi orang yang memakan bawang putih dan semacamnya, untuk tidak memasuki mesjid manapun".
Wallaahua`lam.
Dikutip dari tulisan Ustads Alfitri
Biasanya, kondisi seperti itu bisa dijumpai di tempat semisal warung, rumah, ruangan kantor, kendaraan umum, bahkan tempat ibadah. Dan kondisi itu juga bisa terlihat di acara 'kumpul-kumpul' di tengah masyarakat, seperti: acara rapat, pesta walimahan, aqiqahan, perundingan adat, bahkan terkadang pada acara keagamaan semisal Maulid dan Isra'-Mi`raj, yang diselenggarakan di mesjid atau surau.
Memang fatwa ulama tentang hukum merokok itu beraneka ragam; mulai dari mubah, makruh hingga haram. Akan tetapi, membuat orang lain di dekat anda menjadi terusik dan terganggu, karena asap dan bau rokok anda sudah mencemari kebersihan dan kenyamanan udara di tempat itu, jelas hukum tindakan seperti ini bukan lagi Mubah, melainkan Haram atau minimalnya Makruh.
Agar lebih sedikit ilmiah, mari kita berikut ini menyimak kira-kira bagaimana persoalan ini bisa ditarik ke dalam kajian keagamaan.
Di kitab Shahih Muslim, disebutkan beberapa hadis terkait larangan masuk mesjid bagi yang orang telah memakan bawang putih dan merah, atau semacamnya. Diantaranya, hadis itu berbunyi:
من
أكل من هذه الشجرة - يعني الثوم - فلا يأتين المساجد.
Hadis lainnya mengatakan:
من
أكل من هذه البقلة فلا يقربن مساجدنا حتى يذهب ريحها.
Kedua hadis ini memang secara tekstual menyebutkan bawang putih dan mesjid, namun apakah pesan hadis ini hanya terpaku dan terkhusus pada dua hal ini? Mari kita lihat bagaimana para ulama kita memahami hadis di atas.
A. Apakah larangan ini hanya berlaku pada konteks makan bawang putih?
Dalam Syarah Shahih Muslim, imam Nawawi menjelaskan:
قال
العلماء : ويلحق بالثوم والبصل والكراث كل ما له رائحة كريهة من المأكولات وغيرها.
Imam Nawawi juga mengutip ucapan Qadhi `Iyadh yang berbunyi:
ويلحق
به من أكل فجلاً وكان يتجشى
Bahkan, Qadhi `Iyadh dan imam Nawawi juga mengutip pernyataan Ibnul Murabith berikut ini:
ويلحق
به من به بخر في فيه، أو به جرح له رائحة
Nah, berdasarkan nukilan-nukilan ini, bau rokok dan asapnya yang tidak sedap itu bisa dikategorikan sama hukumnya dengan benda-benda yang telah disebutkan para ulama di atas. Wallaahua`lam.
B. Apakah larangan ini hanya berlaku pada konteks masuk mesjid?
Dalam Syarh Shahih Muslim, imam Nawawi juga mengutip penjelasan Qadhi `Iyadh seperti berikut ini:
وقاس
العلماء على هذا مجامع الصلاة غير المساجد كمصلى العيد، والجنائز، ونحوها من مجامع
العبادات، وكذا مجامع العلم والذكر، والولائم، ونحوها، ولا يلتحق بها الأسواق
ونحوها.
Imam Nawawi sendiri juga menyatakan:
ويؤخذ
منه النهي عن سائر مجامع العبادات ونحوها كما سبق.
Berdasarkan nukilan ini, lagi-lagi bisa dipahami bahwa merokok di semua tempat atau acara perkumpulan, sehingga bau dan asap rokok akhirnya mengusik orang lain yang ada di sekitarnya, adalah sebuah tindakan yang salah.
Selain itu, imam Syafi`i, para Syafi`iyyah senior dan lainnya, menyatakan bahwa anjuran sunat untuk memakai wangi-wangian, mandi dan bersih-bersih, memotong kuku, mencukur bulu, menghilangkan aroma tidak sedap, serta memakai pakaian yang terbagus, itu semua tidak hanya terkhusus pada konteks menghadiri salat Jumat, melainkan juga berlaku untuk menghadiri acara-acara pertemuan masyarakat.
Di dalam kitab al-Majmu`, imam Nawawi menyebutkan:
واعلم
أن هذا المذكور من استحباب الغسل، والطيب، والتنظف بإزالة الشعور المذكورة،
والظفر، والروائح الكريهة، ولبس أحسن ثيابه؛ ليس مختصًا بالجمعة، بل هو مستحب لكل
من أراد حضور مجمع من مجامع الناس، نص عليه الشافعي، واتفق عليه الأصحاب وغيرهم.
قوله
صلى الله عليه وسلم : (( من أكل من هذه الشجرة - يعني الثوم - فلا يقربن المساجد
))، هذا تصريح بنهي من أكل الثوم ونحوه عن دخول كل مسجد.
Wallaahua`lam.
Dikutip dari tulisan Ustads Alfitri
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih