Pernah dengar istilah post-truth? Saya sekedar ingin sedikit berbagi tentangnya.
Sekarang ini, konon kita hidup di era post-truth. Sebuah istilah yang cukup populer belakangan ini. Bahkan, Oxford dictionary menobatkannya sebagai kata paling populer di tahun 2016, the word of the year.
Di era post-truth, batas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan ketidakjujuran, fiksi dan non-fiksi tidak lagi jelas. Fakta-fakta objektif dipandang tidak lagi penting untuk membangun opini publik. Alih-alih opini dibangun dengan cara membangkitkan emosi dan keyakinan personal.
Istilah post-truth dilekatkan penggunaannya dalam banyak peristiwa politik, terutama yang ditampilkan melalui media. Politik post-truth.
Wikipedia mendefinisikan politik post-truth sebagai berikut:
Post-truth politics (also called post-factual politics) is a political culture in which debate is framed largely by appeals to emotion disconnected from the details of policy, and by the repeated assertion of talking points to which factual rebuttals are ignored.
Menurut Oxford Dictionaries , istilah post-truth pertama kali digunakan pada 1992 oleh penulis esai Serbia-Amerika kenamaan, Steve Tesich dalam esainya di majalah The Nation .
Penggunaan yang paling menonjol misalnya adalah peristiwa Brexit di UK dan pemilu USA (lihat lebih lanjut dalam The Guardian). Dua kasus ini disebut sebagai contoh pengguna post-truth yang sangat menonjol. Misalnya saja, dalam kampanyenya, seorang calon Presiden menyebut si rivalnya sebagai 'pendiri' ISIS atau juga lawannya sebagai 'co-founder'nya. Ia tidak peduli itu benar atau salah.yang penting orang percaya. Post-truth justru membuatnya mendapat coverage media yang luas. Dengan kata lain, medialah yang menjadi tempat bagi tumbuh berkembangnya post-truth.
Jika kita mengamati hiruk pikuk politik di Indonesia, kira-kira fenomenanya sama. Opini publik dibangun melalui sentimen emosional bukan fakta atau logika. Fakta objektif tidak lagi penting. Tak peduli itu benar atau salah. Yang penting publik percaya. Itulah dunia post-truth. Bukankah di situ hoax dan rumors merajalela?
Jika medsos dan bahkan media-media mainstream berperan penting pada semakin efektifnya post-truth, maka betapa sulitnya bagi kita untuk melihat dan memilah mana fakta atau kebohongan, mana kejujuran atau ketakjujuran, mana fiksi atau fakta. Inilah dunia post-truth, ketika kebenaran tidak lagi penting. Welcome to the post-truth world!
Sekarang pilihan ada di tangan kita, berpandai-pandailah membaca berita, menganalisa berita, dan mempercayai berita.
(Sumber: Wikipedia, The Guardian, Shareed di Whatts App),
Sekarang ini, konon kita hidup di era post-truth. Sebuah istilah yang cukup populer belakangan ini. Bahkan, Oxford dictionary menobatkannya sebagai kata paling populer di tahun 2016, the word of the year.
Di era post-truth, batas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan ketidakjujuran, fiksi dan non-fiksi tidak lagi jelas. Fakta-fakta objektif dipandang tidak lagi penting untuk membangun opini publik. Alih-alih opini dibangun dengan cara membangkitkan emosi dan keyakinan personal.
Istilah post-truth dilekatkan penggunaannya dalam banyak peristiwa politik, terutama yang ditampilkan melalui media. Politik post-truth.
Wikipedia mendefinisikan politik post-truth sebagai berikut:
Post-truth politics (also called post-factual politics) is a political culture in which debate is framed largely by appeals to emotion disconnected from the details of policy, and by the repeated assertion of talking points to which factual rebuttals are ignored.
Menurut Oxford Dictionaries , istilah post-truth pertama kali digunakan pada 1992 oleh penulis esai Serbia-Amerika kenamaan, Steve Tesich dalam esainya di majalah The Nation .
Penggunaan yang paling menonjol misalnya adalah peristiwa Brexit di UK dan pemilu USA (lihat lebih lanjut dalam The Guardian). Dua kasus ini disebut sebagai contoh pengguna post-truth yang sangat menonjol. Misalnya saja, dalam kampanyenya, seorang calon Presiden menyebut si rivalnya sebagai 'pendiri' ISIS atau juga lawannya sebagai 'co-founder'nya. Ia tidak peduli itu benar atau salah.yang penting orang percaya. Post-truth justru membuatnya mendapat coverage media yang luas. Dengan kata lain, medialah yang menjadi tempat bagi tumbuh berkembangnya post-truth.
Jika kita mengamati hiruk pikuk politik di Indonesia, kira-kira fenomenanya sama. Opini publik dibangun melalui sentimen emosional bukan fakta atau logika. Fakta objektif tidak lagi penting. Tak peduli itu benar atau salah. Yang penting publik percaya. Itulah dunia post-truth. Bukankah di situ hoax dan rumors merajalela?
Jika medsos dan bahkan media-media mainstream berperan penting pada semakin efektifnya post-truth, maka betapa sulitnya bagi kita untuk melihat dan memilah mana fakta atau kebohongan, mana kejujuran atau ketakjujuran, mana fiksi atau fakta. Inilah dunia post-truth, ketika kebenaran tidak lagi penting. Welcome to the post-truth world!
Sekarang pilihan ada di tangan kita, berpandai-pandailah membaca berita, menganalisa berita, dan mempercayai berita.
(Sumber: Wikipedia, The Guardian, Shareed di Whatts App),
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih