Masjid Dhirar didirikan sekelompok orang di Madinah, tidak jauh dari Masjid Quba. Orang yang diriwayatkan sebagai tokoh dibalik pembangunan itu adalah Abu Amir ar-Rahib.
Diiceritakan bahwa tujuan pembangunan Masjid Ini adalah untuk orang-orang yang sakit, lemah dan tidak punya kemampuan fisik lainnya.
Abu Amir ar-Rahib, merupakan orang yang benci Islam, namun tetap memutuskan hidup di Madinah. Dia berteman dengan golongan munafiq dan orang kafir. Dia lebih sering berada di pihak orang-orang kafir dalam semua peperangan melawan kaum Muslimin.
Ketika kalah dalam suatu perang, dia pergi ke negeri Romawi meminta bantuan raja Romawi untuk memerangi Nabi.
Dia menyuruh Teman-temannya dari kaum munafiq Madinah untuk membangun sebuah masjid. Masjid didirikan tidak jauh dari Masjid Quba.
Setelah selesai, Mereka meminta kepada Rasulullah untuk Shalat bersama mereka, sekaligus dimaksudkan untuk meresmikan Masjid itu. Rasulullah setuju seizin Allah, tapi nanti setelah Beliau kembali dari urusannya (Perang Tabuk).
Sebenarnya maksud pendirian Masjid itu adalah untuk mengelabui kaum Muslimin. Jika Rasulullah ikut shalat di sana, itu akan menjadi legitimasi bagi masjid itu. Masjid itu nanti tentu akan dapat dijadikan markas, tempat pertahanan, penyimpanan logistik bagi masukan Kafir atau Romawi ketika mereka menyerbu Madinah.
Namun rencana busuk mereka dibuka oleh Allah melalui wahyuNnya (at-Taubah/9:108):
"Janganlah kamu shalat di dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah Azza wa Jalla menyukai orang-orang yang bersih.
“Mereka yang mendirikan masjid dhirâr adalah sekawanan orang (munafik) dari penduduk Madinah yang jumlahnya dua belas orang. Mereka mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan pada orang-orang Mukmin dan untuk menguatkan kekafiran orang-orang munafik, serta memecah belah jama’ah kaum Mukminin.
Pada awalnya mereka semua shalat berjamaah di satu masjid (masjid Quba’), kemudian terpecah menjadi dua masjid (di masjid Quba’ dan masjid dhirâr). Mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk menyebarkan syubhat, menghasut, menfitnah dan memecah belah shaf kaum Mukminin. Juga untuk menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya (https://almanhaj.or.id/2574-larangan-shalat-di-masjid-dhirar.html)
Demikianlah, akhirnya Masjid itu diperintahkan untuk dibakar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mâlik bin Dukhsyum saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi seraya berkata kepada mereka berdua,
"Pergilah kalian ke masjid yang didirikan oleh orang-orang dzalim (masjid dhirâr), kemudian hancurkan dan bakarlah.”
Maka keduanya pun berangkat; sesampainya di perkampungan Bani Sâlim, Mâlik berkata kepada Ma’an:
“Tunggu sebentar, aku akan mengambil api dari rumah keluargaku.” Sesaat kemudian dia keluar dengan membawa pelepah kurma yang dibakar dan berjalan dengan Ma’an menuju masjid itu; lalu membakar dan menghancurkannya, sehingga orang yang berada di dalamnya (berlarian) keluar. (Tafsir Ibnu Katsir).
*
Begitulah kisah Masjid Dhirar. Barangkali untuk masa sekarang kelakuan mendirikan Masjid itu masih ada, mungkin wujudnya bisa dalam bentuk fisik, seperti Masjid, sekolah, rumah sakit. Atau bisa juga non fisik, seperti foundation, yayasan, lembaga kajian atau bentuk lain. Intinya, upaya itu dilakukan bukan untuk mengajak orang untuk lebih taqwa pada Allah, tapi sebaliknya.
Diiceritakan bahwa tujuan pembangunan Masjid Ini adalah untuk orang-orang yang sakit, lemah dan tidak punya kemampuan fisik lainnya.
Abu Amir ar-Rahib, merupakan orang yang benci Islam, namun tetap memutuskan hidup di Madinah. Dia berteman dengan golongan munafiq dan orang kafir. Dia lebih sering berada di pihak orang-orang kafir dalam semua peperangan melawan kaum Muslimin.
Ketika kalah dalam suatu perang, dia pergi ke negeri Romawi meminta bantuan raja Romawi untuk memerangi Nabi.
Dia menyuruh Teman-temannya dari kaum munafiq Madinah untuk membangun sebuah masjid. Masjid didirikan tidak jauh dari Masjid Quba.
Setelah selesai, Mereka meminta kepada Rasulullah untuk Shalat bersama mereka, sekaligus dimaksudkan untuk meresmikan Masjid itu. Rasulullah setuju seizin Allah, tapi nanti setelah Beliau kembali dari urusannya (Perang Tabuk).
Sebenarnya maksud pendirian Masjid itu adalah untuk mengelabui kaum Muslimin. Jika Rasulullah ikut shalat di sana, itu akan menjadi legitimasi bagi masjid itu. Masjid itu nanti tentu akan dapat dijadikan markas, tempat pertahanan, penyimpanan logistik bagi masukan Kafir atau Romawi ketika mereka menyerbu Madinah.
Namun rencana busuk mereka dibuka oleh Allah melalui wahyuNnya (at-Taubah/9:108):
لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Mereka yang mendirikan masjid dhirâr adalah sekawanan orang (munafik) dari penduduk Madinah yang jumlahnya dua belas orang. Mereka mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan pada orang-orang Mukmin dan untuk menguatkan kekafiran orang-orang munafik, serta memecah belah jama’ah kaum Mukminin.
Pada awalnya mereka semua shalat berjamaah di satu masjid (masjid Quba’), kemudian terpecah menjadi dua masjid (di masjid Quba’ dan masjid dhirâr). Mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk menyebarkan syubhat, menghasut, menfitnah dan memecah belah shaf kaum Mukminin. Juga untuk menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya (https://almanhaj.or.id/2574-larangan-shalat-di-masjid-dhirar.html)
Demikianlah, akhirnya Masjid itu diperintahkan untuk dibakar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mâlik bin Dukhsyum saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi seraya berkata kepada mereka berdua,
"Pergilah kalian ke masjid yang didirikan oleh orang-orang dzalim (masjid dhirâr), kemudian hancurkan dan bakarlah.”
Maka keduanya pun berangkat; sesampainya di perkampungan Bani Sâlim, Mâlik berkata kepada Ma’an:
“Tunggu sebentar, aku akan mengambil api dari rumah keluargaku.” Sesaat kemudian dia keluar dengan membawa pelepah kurma yang dibakar dan berjalan dengan Ma’an menuju masjid itu; lalu membakar dan menghancurkannya, sehingga orang yang berada di dalamnya (berlarian) keluar. (Tafsir Ibnu Katsir).
*
Begitulah kisah Masjid Dhirar. Barangkali untuk masa sekarang kelakuan mendirikan Masjid itu masih ada, mungkin wujudnya bisa dalam bentuk fisik, seperti Masjid, sekolah, rumah sakit. Atau bisa juga non fisik, seperti foundation, yayasan, lembaga kajian atau bentuk lain. Intinya, upaya itu dilakukan bukan untuk mengajak orang untuk lebih taqwa pada Allah, tapi sebaliknya.
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih