Penampilannya sangat sederhana, karena memang bukan termasuk orang yang kaya raya. Tetapi, di balik kebersahajaannya itu, ia merupakan sosok yang luar biasa.
Ia bernama Jon Jandai. Sehari-hari berprofesi sebagai seorang petani. Terlahir dari keluarga petani di sebuah desa yang miskin di Timur Laut Thailand Provinsi Yasothorn. Pernah merantau ke kota Bangkok, ibukota Thailand dan bekerja selama tujuh tahun. Ia juga pernah kuliah, namun kemudian keluar karena dirasanya kuliah sangat membosankan. Hingga akhirnya kemudian ia pulang ke kampung halamannya dan kembali menjadi seorang petani.
Pemikiran-pemikiran empirisnya memukau banyak orang di belahan dunia. Dalam pidatonya yang dipublikasikan TEDx Talks 3 Agustus 2011 lalu, ia mengatakan bahwa sejatinya hidup ini sangatlah mudah dan menyenangkan. Menjadi sedemikian sulit, karena menurutnya, di sekolah-sekolah kita selalu diajari untuk membuat segala sesuatu menjadi rumit dan sulit.
Pidatonya tersebut sampai kini telah ditonton oleh tiga juga orang lebih dan mendapatkan ribuan komentar dari para penontonnya. Tak hanya menampar para mahasiswa dan orang-orang berpendidikan di seluruh dunia, pidatonya juga menampar para 'manusia pabrik' yang menghabiskan separuh lebih usianya di perusahaan. Menampar Anda yang selalu merasa hidup ini begitu rumit karena selalu mengikuti keinginan untuk mengonsumsi produk-produk kapitalis. Menampar Anda yang selalu berusaha mengikuti style fesyen. Dan menampar Anda yang tidak ingin menjadi petani. Serta menampar para pelaku kapitalisme. Kini Jon Jandai mengelola Pun Pun, sebuah pusat belajar pertanian berbasis di Mai Tang, Chiang Mai, Thailand.
Bagaimana sebenarnya isi pidatonya?
Mari kita simak!
HIDUP ITU MUDAH, MENGAPA KITA MEMBUATNYA BEGITU SULIT?
"Ada satu kalimat yang selalu ingin saya katakan kepada semua orang dalam hidup saya sekarang, kalimat itu adalah : hidup itu mudah dan sangat menyenangkan.
"Sebelumnya, saya tak pernah berpikir demikian. Ketika saya tinggal di Bangkok, saya merasa bahwa hidup sangatlah sulit dan rumit. Saya lahir di sebuah desa 'miskin' di bagian Timur Laut Thailand. Saat saya kecil, semuanya terasa begitu mudah dan menyenangkan...
"Tapi ketika televisi, banyak orang datang ke desa dan mengatakan : Kamu miskin. Kamu harus sukses dalam hidup. kamu harus ke Bangkok untuk mengejar kesuksesan dalam hidup"
"Semenjak itu saya merasa sedih. Saya merasa sangat miskin. Dan saya pun akhirnya pergi ke Bangkok. Ketika saya di Bangkok, keadaan ternyata tidak begitu menyenangkan. Saya harus giat belajar dan bekerja keras agar bisa hidup 'sukses'.
"Saya bekerja dengan sangat keras, paling tidak 8 jam dalam sehari. Tapi saya hanya bisa makan semangkuk mie atau kadang sepiring nasi goreng dan semacamnya. Tempat tinggal saya sangat buruk, sebuah ruangan kecil yang ditempati banyak orang.
"Saya kemudian mulai bertanya, ketika saya mulai bekerja keras, kenapa hidup saya malah semakin sulit? Pasti ada yang salah. Saya telah menghasilkan banyak hal, tapi kebutuhan saya tak pernah tercukupi.
"Saya kemudian mencoba belajar di sebuah universitas. Tetapi ternyata belajar di Universitas pun tidaklah bagi saya, karena sangat membosankan. Lalu saya perhatikan semua fakultas, kebanyakan dari mereka mengajarkan sesuatu yang destruktif. Bagi saya, pengetahuan di universitas tidaklah produktif. Seperti jika Anda jadi insinyur atau jadi arsitek, itu berarti Anda akan merusak banyak hal. Makin banyak mereka bekerja, maka makin banyak pegunungan yang hancur. Dan tanah yang bagus di lembah Chao Phraya akan semakin tertutup dengan beton. Kita menghancurkan lebih banyak.
"Jika kita belajar di fakultas pertanian atau semacamnya di universitas, berarti kita belajar cara meracuni tanah, air, dan belajar untuk merusak semuanya.
"Saya merasa bahwa semua yang kita lakukan sangat rumit dan sulit. Kita membuatnya menjadi serba rumit dan serba sulit. Hidup terasa sangat sulit. Saya sangat kecewa.
"Saya mulai berpikir, kenapa saya harus berada di Bangkok ini? Saya kemudian teringat, ketika saya kecil tak ada yang bekerja 8 jam dalam sehari. Semua orang bekerja dua bulan per tahun. Menanam padi sebulan, dan sebulan untuk panen. Sisanya adalah waktu luang. 10 bulan waktu luang dalam setahun. Itulah kenapa di Thailand ada banyak festival setiap bulan. Karena mereka punya banyak waktu luang.
"Lalu di siang hari, semua orang tidur siang. Bahkan jika Anda sekarang pergi ke Laos, semua orang tidur siang usai santap makan. Setelah bangun tidur mereka bergosip tentang para menantu mereka. Orang punya banyak waktu. Karena mereka punya banyak waktu, mereka punya waktu untuk diri mereka sendiri. Ketika mereka punya waktu untuk diri mereka sendiri, mereka punya banyak waktu untuk memahami diri mereka sendiri. Dan ketika mereka punya banyak waktu untuk memahami diri sendiri, mereka bisa tahu apa yang mereka inginkan dalam hidup ini. Jadi banyak orang melihat bahwa yang mereka inginkan adalah kebahagiaan. Mereka ingin cinta. Mereka ingin menikmati hidup. Jadi orang melihat banyak sekali keindahan dalam hidup. Karenanya mereka mengungkapkan keindahan dengan banyak cara. Ada yang mengukir gagang pisau dengan indah, menganyam keranjang dengan sangat bagus. Tapi sekarang tak ada yang membuat dan menggunakannya. Semua orang menggunakan plastik di mana-mana.
"Saya merasa ada yang salah dengan cara seperti ini. Jadi saya memutuskan berhenti kuliah. Dan saya pulang ke kampung halaman.
"Ketika saya pulang kampung, saya mulai hidup seperti ketika saya masih anak-anak. Saya mulai bekerja dua bulan setiap tahunnya. Saya punya 4 ton beras. Seluruh keluarga saya yang berjumlah 6 orang, hanya butuh kurang dari 0,5 ton beras per tahun untuk makan. Jadi ada sisa beras yang bisa saya jual. Kemudian saya membuat 2 kolam benih ikan. Setiap tahun, keluarga kami bisa makan ikan dari kolam itu. Saya lalu membuat kebun kecil, kurang dari 2.000 meter persegi. Dan saya hanya membutuhkan waktu 15 menit setiap hari untuk merawat kebun itu. Saya punya 30 lebih jenis sayuran di kebun itu. Sayuran itu tak habis kami makan sekeluarga. Sehingga saya punya kelebihannya untuk dijual. Kami bisa mendapatkan pemasukan darinya.
"Saya merasa hidup saya lebih mudah. Dan saya bertanya-tanya, untuk apa saya dulu menghabiskan waktu 7 tahun di Bangkok dan sehari 8 jam bekerja kalau hanya untuk makan semangkuk mie? Saya bekerja keras tapi susah untuk makan. Di sini, saya hanya perlu bekerja dua bulan dalam setahun di sawah, dan 15 menit perhari, dan saya bisa memberi makan 6 orang.
"Itu terasa sangat mudah. Sebelumnya saya sempat berpikir bahwa orang bodoh seperti saya yang tidak pernah mendapatkan nilai bagus di sekolah, tak akan bisa punya rumah. Karena anak terpandai di sekolah saya, anak yang mendapatkan rangking satu, meski punya pekerjaan yang bagus, harus bekerja lebih dari 30 tahun untuk bisa punya rumah. Sedangkan saya, lulus kuliah saja tidak. Kalau dia saja butuh 30 tahun mencicil rumah, bagaimana dengan saya? Tak ada harapan untuk orang berpendidikan rendah seperti saya.
"Tapi akhirnya saya mulai membangun rumah perlahan dari bahan apa saja yang ada di sekeliling saya. Ternyata sangat mudah. Saya menghabiskan waktu selama 2 jam dalam sehari. Mulai jam 5 pagi sampai jam 7 pagi. Dalam waktu 3 bulan, saya bisa punya rumah. Sebenarnya, teman saya pun punya kesempatan yang sama, yakni bisa membuat rumah dalam waktu 3 bulan. Tapi kenyataannya berlainan. Jika teman saya yang pintar butuh waktu 30 tahun untuk melunasi hutang rumahnya, saya hanya butuh waktu 3 bulan untuk membangun rumah saya sendiri. Jadi jika dibandingkan dengan dia, saya punya waktu 29 tahun 10 bulan waktu luang.
"Saya merasa hidup saya lebih mudah. Saya tak pernah berpikir bahwa ternyata membangun rumah bisa semudah itu. Setelah tahu bahwa membangun rumah itu mudah, setiap tahun saya membangun rumah. Sekarang, saya memang tak punya banyak uang, tapi saya punya banyak rumah.
"Jadi memiliki rumah bukan masalah. Setiap anak usia 13 tahun bisa punya rumah jika sepulang sekolah dia mau meluangkan waktu 2 jam untuk membangunnya. Mereka bisa membuat perpustakaan dan sekolah jika mau. Setiap orang sepuh pun bisa bikin rumah sendiri. Masalah saya adalah, malam ini di rumah yang makan saya akan tidur?
"Jadi, rumah bukanlah masalah. Siapa pun bisa membangun rumah. Anak-anak usia 13 tahun, setelah sekolah mereka membuat batu bata dan membuat rumah bersama-sama. Setelah sebulan mereka bisa perpustakaan. Anak-anak bisa membangun rumah. Seorang biarawati bisa tua bisa membangun gubuk untuk dirinya sendiri. Banyak orang bisa membangun rumah (dengan memanfaatkan yang ada di sekitar kita, DA).
"Jalan ini begitu mudah. Jika Anda tidak percaya, coba saja.
Berikutnya adalah pakaian...
"Saya merasa miskin. Saya juga merasa bukan orang yang tampan. Saya pernah mencoba berpakaian seperti para bintang film agar kelihatan tampil lebih menawan. Saya perlu waktu satu bulan untuk menabung demi membeli celana jins. Setelah saya kenakan, dan saya bercermin, ternyata saya tidak berubah lebih baik. Saya tetap orang yang sama. Celana paling mahal tidak bisa mengubah hidup saya. Saya merasa seperti orang gila, kenapa harus membelinya? Toh ternyata tidak mengubah apa pun. Saya kemudian berpikir, kenapa kita begitu mengikuti mode (tren pakaian, DA)? Padahal kalau terus mengikuti mode kita tak akan bisa mengejarnya. Jadi jangan diikuti. Di sini saja. Pakai apa yang kita miliki.
"Setelah itu, saya tak pernah membeli pakaian selama 20 tahun. Semua pakaian yang saya kenakan adalah sisa dari orang lain. Sebab ada banyak orang yang datang mengunjungi saya yang kemudian memberi saya pakaian. Jadi saya punya banyak pakaian sekarang. Malahan sekarang saya punya banyak pakaian untuk saya berikan kepada orang lain.
"Semua terasa begitu mudah. Dan semenjak saya berhenti membeli pakaian, ada banyak hal yang berubah di diri saya. Apa yang saya pelajari kemudian adalah, ketika membeli sesuatu saya akan bertanya apakah karena saya suka atau karena saya butuh? Jadi jika saya membeli karena saya suka, berarti saya salah. Dan sebaliknya. Kini saya merasa lebih bebas.
"Terakhir, adalah tentang apa yang saya lakukan ketika sakit? Bagaimana jika saya sakit? Pada awalnya, saya sangat khawatir karena saya tak punya uang. Tapi saya mulai lebih sering merenung. Sakit adalah hal biasa. Bukan hal yang buruk. Sakit bisa mengingatkan kita bahwa mungkin ada yang salah dalam kehidupan kita. Lalu saya bertanya, mengapa saya sakit?
"Saya kemudian belajar menyembuhkan diri sendiri dari apa yang tersedia di alam. Saya belajar pengetahuan dasar untuk menyembuhkan diri. Setelah saya bergantung pada diri saya sendiri, saya merasa hidup menjadi sangat mudah. Saya merasa bebas. Saya tak terlalu mengkhawatirkan banyak hal dalam hidup. Sebelumnya saya sangat takut, tak bisa melakukan apa pun. Tapi sekarang saya merasa saya adalah orang yang unik di dunia ini, tak ada yang seperti saya. Saya tak perlu membuat diri saya seperti orang lain, karena saya nomor satu.
"Ketika kemudian saya mengingat kehidupan suram saya yang waktu di Bangkok, saya akhirnya memutuskan membuat Pun Pun di Chiang Mai. Tujuan utamanya adalah untuk menyimpan benih tanaman. Karena benih adalah makanan. Karena makanan adalah kehidupan. Jika tak ada benih, maka tak ada kehidupan.
"Tak ada benih maka tak ada kebebasan. Tak ada benih maka tak ada kebahagiaan. Karena hidup Anda bergantung pada orang lain. Anda tak punya makanan. Maka dari itu, hal utama yang kami fokuskan di Pun Pun adalah menyimpan benih. Yang kedua Pun Pun kami jadikan sebagai pusat pembelajaran. Kami ingin punya tempat supaya kita sendiri bisa belajar. Belajar bagaimana membuat hidup jadi lebih mudah. Karena di sekolah, kita selalu diajari untuk membuat jadi lebih rumit dan sulit. Bagaimana kita bisa membuatnya menjadi lebih mudah? Itu sangat mudah.
"Kita bisa sama-sama membuat hidup ini lebih mudah. Tidak seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah. Di sekolah, kita tidak diajarkan untuk mandiri. Kita diajari untuk tergantung pada uang. Tapi sekarang, untuk bahagia kita perlu percaya kepada diri sendiri dan orang lain.
"Dari apa yang telah saya sampaikan di atas, segala kebutuhan primer: makanan, rumah, pakaian, dan obat-obatan, haruslah mudah dan murah untuk semua orang. Itulah peradaban. Dan jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka berarti yang terjadi adalah ketidakberadaban.
"Saat ini yang kita saksikan di sekeliling kita, semuanya sangat sulit untuk didapat. Saya merasa sekarang adalah zaman manusia paling tak beradab di dunia ini. Ada begitu banyak yang lulus kuliah, ada banyak universitas, ada banyak orang cerdas di dunia ini, tapi hidup kita makin sulit. Kita semua bekerja keras. Tapi hidup makin sulit. Lalu untuk apa dan untuk siapa kita bekerja keras? Saya merasa ini salah.
"Jadi, saya hanya ingin semuanya kembali menjadi orang 'normal'. Burung membuat sarang dalam waktu satu sampai dua hari. Tikus membuat lubang dalam semalam. Tapi makhluk cerdas seperti kita butuh hutang 30 tahun untuk membuat rumah. Sialnya, makin banyak orang pesimistis bisa punya rumah.
"Itu pemikiran yang salah. Kenapa kita bisa menghancurkan kemampuan kita sedemikian rupa? Kita punya pilihan. Memilih yang mudah atau yang sulit. Maka dari itu, saya terus mencoba untuk kembali menjadi manusia 'normal'.
"Tapi banyak orang bilang bahwa saya gila. Saya tidak peduli. Itu bukan salah saya. Saya tidak bisa mengatur hal-hal di luar diri saya. Saya hanya bisa mengatur apa yang saya pikir dan saya kerjakan. Saya punya pilihan.Pun demikian dengan Anda. Semua tergantung pada diri masing-masing.
loading...
it is amazing and i support ,,,, because life is how we create myself
ReplyDelete