Siapa tak kenal sholawat badar, dengan irama yang khas, sholawat ini dinyanyikan bersama sebagai pengobar semangat dan pengharapan akan datangnya pertolongan Tuhan.
Ada yang mengatakan, bahwa sholawat Badar adalah “Lagu Wajib” Nahdlatul Ulama. Sholawat ini Berisi puji-pujian kepada Rasulullah SAW dan Ahli Badar (Para Sahabat yang mati syahid dalam Perang Badar).
Kalau kita baca di buku-buku asal Timur Tengah, takkan kita jumpai sejarah penggubahan sholawat badar ini. Sholwat badar hanya populer di Indonesi.
Lantas, bagaiman sejarah sholawat badar ini sebenarnya? Siapa yang pertama kali menggubah syairnya? Apa latar belakang di balik syair sholawat ini?
Ternyata, berdasarkan catatan sejarah, sholawat badar merupakan bentuk perlawanan terhadap kaum komunis dan PKI dengan segala propaganda mereka. [download film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI di sini]
Shalawat Badar digubah pertama kali oleh Kiyai Ali Mansur Banyuwangi, salah seorang cucu dari KH. Muhammad Shiddiq Jember, pada tahun 1960. Kiai Ali Mansur saat itu menjabat Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi, sekaligus menjadi Ketua PCNU di tempat yang sama.
Proses terciptanya Shalawat Badar penuh dengan misteri dan teka-teki. Konon, pada suatu malam, ia tidak bisa tidur. Hatinya merasa gelisah karena terus menerus memikirkan situasi politik yang semakin tidak menguntungkan NU. Orang-orang PKI semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan berani membunuh kiai-kiai di pedesaan. Karena memang kiai-lah pesaing utama PKI saat itu.
Sambil merenung, Kiai Ali Mansur terus memainkan penanya diatas kertas, menulis syair-syair dalam bahasa arab. Dia memang dikenal mahir membuat syair sajak ketika masih belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri. Kegelisahan Kiai Ali Mansur berbaur dengan rasa heran, karena malam sebelumnya bermimpi didatangi para habib berjubah putih-hijau.
Semakin mengherankan lagi, karena pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu Rasulullah SAW.
Keesokan harinya mimpi itu ditanyakan pada Habib Hadi Al-Haddar Banyuwangi. Habib Hadi menjawab:
“ Itu Ahli Badar, ya Akhy.” Kedua mimpi aneh dan terjadi secara bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal dengan Shalawat Badar. Keheranan muncul lagi karena keesokan harinya banyak tetangga yang datang kerumahnya sambil mebawa beras, daging, dan lain sebagainya, layaknya akan mendatangi orang yang akan punya hajat mantu.
Mereka bercerita, bahwa pagi-pagi buta pintu rumah mereka didatangi orang berjubah putih yang memberitahukan bahwa dirumah Kiai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka diminta membantu.
Maka mereka pun membantu sesuai dengan kemampuannya. “Siapa orang yang berjubah putih itu?” Pertanyaan itu terus mengiang-ngiang dalam benak Kiai Ali Mansur tanpa jawaban.
Namun malam itu banyak orang bekerja di dapur untuk menyambut kedatangan tamu, yang mereka sendiri tidak tahu siapa, dari mana dan untuk apa.? Menjelang matahari terbit, serombongan habib berjubah putih-hijau dipimpin oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang Jakarta, datang kerumah Kia Ali Mansur.
“Alahamdulillah………,” ucap kiai Ali Mansur ketika melihat rombongan yang datang adalah para habaib yang sangat dihormati keluaganya.
Setelah berbincang basa-basi sebagai pengantar, membahas perkembangan PKI dan kondisi politik nasional yang semakin tidak menguntungkan, Habib Ali menanyakan topik lain yang tidak diduga oleh Kiai Ali Mansur:
“Ya Akhy! Mana Syair yang ente buat kemarin? Tolong ente bacakan dan lagukan di hadapan kami-kami ini!”
Tentu saja Kiai Ali Mansur terkejut, sebab Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam. Namun ia memaklumi, mungkin itulah karomah yang diberikan Allah kepadanya. Sebab dalam dunia kewalian, pemandangan seperti itu bukanlah perkara aneh dan perlu dicurigai.
Segera saja Kiai Ali Mansur mengambil kertas yang berisi Shalawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya dihadapan mereka. Kiai Ali Mansur juga memiliki suara bagus.
Di tengah alunan suara Shalawat Badar itu para Habaib mendengarkannya dengan khusyuk. Tak lama kemudian mereka meneteskan air mata karena haru. Selesai mendengarkan Shalawat Badar yang dikumandangkan oleh Kiai Ali Mansur, Habib segera bangkit. “Ya Akhy….! Mari kita perangi genjer-genjer PKI itu dengan Shalawat Badar…!” serunya dengan nada mantap. Setelah Habib Ali
memimpin doa, lalu rombongan itu mohon diri.
Sejak saat itu terkenallah Shalawat Badar sebagai bacaan warga NU untuk membangkitkan semangat melawan orang-orang PKI.
Untuk lebih mempopulerkannya, Habib Ali mengundang para habib dan ulama (termasuk Kiai Ali Mansur dan KH. Ahmad Qusyairi, paman Kiai Ali Mansur) ke Jalan Kwitang, Jakarta. Di forum istimewa itulah Shalawat Badar dikumandangkan.
Ada yang mengatakan, bahwa sholawat Badar adalah “Lagu Wajib” Nahdlatul Ulama. Sholawat ini Berisi puji-pujian kepada Rasulullah SAW dan Ahli Badar (Para Sahabat yang mati syahid dalam Perang Badar).
Kalau kita baca di buku-buku asal Timur Tengah, takkan kita jumpai sejarah penggubahan sholawat badar ini. Sholwat badar hanya populer di Indonesi.
Lantas, bagaiman sejarah sholawat badar ini sebenarnya? Siapa yang pertama kali menggubah syairnya? Apa latar belakang di balik syair sholawat ini?
Ternyata, berdasarkan catatan sejarah, sholawat badar merupakan bentuk perlawanan terhadap kaum komunis dan PKI dengan segala propaganda mereka. [download film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI di sini]
Shalawat Badar digubah pertama kali oleh Kiyai Ali Mansur Banyuwangi, salah seorang cucu dari KH. Muhammad Shiddiq Jember, pada tahun 1960. Kiai Ali Mansur saat itu menjabat Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi, sekaligus menjadi Ketua PCNU di tempat yang sama.
Proses terciptanya Shalawat Badar penuh dengan misteri dan teka-teki. Konon, pada suatu malam, ia tidak bisa tidur. Hatinya merasa gelisah karena terus menerus memikirkan situasi politik yang semakin tidak menguntungkan NU. Orang-orang PKI semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan berani membunuh kiai-kiai di pedesaan. Karena memang kiai-lah pesaing utama PKI saat itu.
Sambil merenung, Kiai Ali Mansur terus memainkan penanya diatas kertas, menulis syair-syair dalam bahasa arab. Dia memang dikenal mahir membuat syair sajak ketika masih belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri. Kegelisahan Kiai Ali Mansur berbaur dengan rasa heran, karena malam sebelumnya bermimpi didatangi para habib berjubah putih-hijau.
Semakin mengherankan lagi, karena pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu Rasulullah SAW.
Keesokan harinya mimpi itu ditanyakan pada Habib Hadi Al-Haddar Banyuwangi. Habib Hadi menjawab:
“ Itu Ahli Badar, ya Akhy.” Kedua mimpi aneh dan terjadi secara bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal dengan Shalawat Badar. Keheranan muncul lagi karena keesokan harinya banyak tetangga yang datang kerumahnya sambil mebawa beras, daging, dan lain sebagainya, layaknya akan mendatangi orang yang akan punya hajat mantu.
Mereka bercerita, bahwa pagi-pagi buta pintu rumah mereka didatangi orang berjubah putih yang memberitahukan bahwa dirumah Kiai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka diminta membantu.
Maka mereka pun membantu sesuai dengan kemampuannya. “Siapa orang yang berjubah putih itu?” Pertanyaan itu terus mengiang-ngiang dalam benak Kiai Ali Mansur tanpa jawaban.
Namun malam itu banyak orang bekerja di dapur untuk menyambut kedatangan tamu, yang mereka sendiri tidak tahu siapa, dari mana dan untuk apa.? Menjelang matahari terbit, serombongan habib berjubah putih-hijau dipimpin oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang Jakarta, datang kerumah Kia Ali Mansur.
“Alahamdulillah………,” ucap kiai Ali Mansur ketika melihat rombongan yang datang adalah para habaib yang sangat dihormati keluaganya.
Setelah berbincang basa-basi sebagai pengantar, membahas perkembangan PKI dan kondisi politik nasional yang semakin tidak menguntungkan, Habib Ali menanyakan topik lain yang tidak diduga oleh Kiai Ali Mansur:
“Ya Akhy! Mana Syair yang ente buat kemarin? Tolong ente bacakan dan lagukan di hadapan kami-kami ini!”
Tentu saja Kiai Ali Mansur terkejut, sebab Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam. Namun ia memaklumi, mungkin itulah karomah yang diberikan Allah kepadanya. Sebab dalam dunia kewalian, pemandangan seperti itu bukanlah perkara aneh dan perlu dicurigai.
Segera saja Kiai Ali Mansur mengambil kertas yang berisi Shalawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya dihadapan mereka. Kiai Ali Mansur juga memiliki suara bagus.
Di tengah alunan suara Shalawat Badar itu para Habaib mendengarkannya dengan khusyuk. Tak lama kemudian mereka meneteskan air mata karena haru. Selesai mendengarkan Shalawat Badar yang dikumandangkan oleh Kiai Ali Mansur, Habib segera bangkit. “Ya Akhy….! Mari kita perangi genjer-genjer PKI itu dengan Shalawat Badar…!” serunya dengan nada mantap. Setelah Habib Ali
memimpin doa, lalu rombongan itu mohon diri.
Sejak saat itu terkenallah Shalawat Badar sebagai bacaan warga NU untuk membangkitkan semangat melawan orang-orang PKI.
Untuk lebih mempopulerkannya, Habib Ali mengundang para habib dan ulama (termasuk Kiai Ali Mansur dan KH. Ahmad Qusyairi, paman Kiai Ali Mansur) ke Jalan Kwitang, Jakarta. Di forum istimewa itulah Shalawat Badar dikumandangkan.
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih