Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang persoalan hukum di Indonesia, yaitu tentang hukum warisan.
Banyak orang yang belum mengetahui tentang seluk beluk hukum kewarisan yang berlaku, sehingga tak jarang terjadi banyak sengketa.
Apa itu hukum waris?
Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak.
Hingga kini belum ada hukum waris di Indonesia yang berlaku secara nasional. Namun ada tiga hukum waris yang dijalankan oleh masyarakat di Indonesia, yaitu hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata.
Masing-masing hukum waris itu memiliki aturan yang berbeda-beda. Bagi orang Islam, berlaku hukum waris Islam, jika non muslim maka berlaku hukum waris adat atau hukum waris perdata.
Jika anda orang Islam, wajib bagi anda menggunakan pembagian dari Allah dan Rasul-Nya itu, baik itu dibagi secara kekeluargaan maupun lewat jalur pengadilan, dianggap menguntungkan atau merugikan, dianggap adil atau diskriminatif, itulah konsekuensi beragama, kita dituntut taat, sami'na wa atha'na.
Dan berikut definisi, kaidah, perbedaan dan penjelasannya secara umum:
1. Hukum Waris Adat
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama, dan adat-istiadat yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu mempengaruhi hukum yang berlaku di tiap golongan masyarakat yang dikenal dengan sebutan hukum adat.
Menurut Ter Haar, seorang pakar hukum dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht (1950), hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur penerusan dan peralihan dari abad ke abad baik harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut. Hukum adat itu sendiri bentuknya tak tertulis, hanya berupa norma dan adat-istiadat yang harus dipatuhi masyarakat tertentu dalam suatu daerah dan hanya berlaku di daerah tersebut dengan sanksi-sanksi tertentu bagi yang melanggarnya.
Oleh karena itu, hukum waris adat banyak dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan atau kekerabatan. Di Indonesia hukum waris mengenal beberapa macam sistem pewarisan. Apa saja?
Sistem keturunan: sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu sistem patrilineal yaitu berdasarkan garis keturunan bapak, sistem matrilineal berdasarkan garis keturunan ibu, dan sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua.
Sistem Individual: berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti Jawa dan Batak.
Sistem Kolektif: ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan atau pun kepemilikannya dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya adalah barang pusaka di suatu masyarakat tertentu.
Sistem Mayorat: dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu. Misalnya kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga, seperti di masyarakat Bali dan Lampung harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua dan di Sumatra Selatan kepada anak perempuan tertua.
2. Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam berlaku bagi orang Islam secara imperatif (memaksa). Memang dulunya ada pilihan hukum, namun sejak tahun 2006, pilihan hukum sudah tidak diperkenankan lagi.
Hukum waris Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam dan diatur dalam Pasal 171-214 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu materi hukum Islam yang ditulis dalam 229 pasal.
Dalam hukum waris Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Dengan demikian pewaris bisa berasal dari pihak bapak atau ibu. Sumber utama dalam hukum Waris Islam adalah Al Quran surat An-Nisa' ayat 11-12. hukum Waris Islam atau ilmu faraidh adalah ilmu yang diketahui. siapa yang berhak mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.
Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia tingkat urgensinya, paling tinggi kedudukannya, paling besar ganjarannya, oleh karena pentingnya, bahkan sampai Allah sendiri yang menentukan takarannya, Allah Swt terangkan jatah harta warisan yang didapat oleh setiap ahli waris, dijabarkan kebanyakannya dalam beberapa ayat yang jelas, karena harta dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi manusia, sebagian besar dari harta warisan adalah untuk pria dan wanita, besar dan kecil, mereka yang lemah dan kuat, sehingga tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu.
Menurut hukum waris Islam ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan ada sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuik menerima warisan:
Orang yang mewariskan (pewaris) telah meninggal dunia dan dapat di buktikan secara hukum ia telah meninggal. Sehingga jika ada pembagian atau pemberian harta pada keluarga pada masa pewaris masih hidup, itu tidak termasuk dalam kategori waris tetapi disebut hibah.
Orang yang mewarisi (ahli waris) masih hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia.
Orang yang mewariskan dan mewarisi memiliki hubungan:
A. Hubungan keturunan atau kekerabatan, baik pertalian garis lurus ke atas seperti ayah atau kakek dan pertalian lurus ke bawah seperti anak, cucu, paman, dll. Hubungan pernikahan, yaitu suami atau isteri. Pernikahan itu harus memenuhi dua syarat:
1. Perkawinan sah menurut syariat islam, yakni dengan akad nikah yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
2. Saat terjadi pewarisan salah satu pihak suami atau istri tidak dalam keadaan bercerai.
B. Apabila seseorang meninggal dunia tidak meninggalkan orang yang mewarisi maka hartanya akan diserahkan kepada baitul Mal (perbendaharaan Negara Islam) untuk dimanfaatkan untuk kepentingan umat islam.
3. Hukum Waris Perdata:
Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat berlaku untuk masyarakat non muslim, termasuk warga negara Indonesia keturunan baik Tionghoa maupun Eropa yang ketentuannya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP).
Hukum waris perdata menganut sistem individual dimana setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Dalam hukum waris perdata ada dua cara untuk mewariskan:
Mewariskan berdasarkan undang-undang atau mewariskan tanpa surat wasiat yang disebut sebagai Ab-instentato, sedangkan ahli warisnya disebut Ab-instaat. Ada 4 golongan ahli waris berdasarkan undang-undang:
- Golongan I terdiri dari suami istri dan anak-anak beserta keturunannya.
- Golongan II terdiri dari orang tua dan saudara-saudara beserta keturunannya.
- Golongan III terdiri dari kakek, nenek serta seterusnya ke atas.
- Golongan IV terdiri dari keluarga dalam garis menyamping yang lebih jauh, termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunannya.
Mewariskan berdasarkan surat wasiat yaitu berupa pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia yang oleh si pembuatnya dapat diubah atau dicabut kembali selama ia masih hidup sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 992.
Cara pembatalannya harus dengan wasiat baru atau dilakukan dengan Notaris. Syarat pembuatan surat wasiat ini berlaku bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun atau lebih dan sudah menikah meski belum berusia 18 tahun. Yang termasuk golongan ahli waris berdasarkan surat wasiat adalah semua orang yang ditunjuk oleh pewaris melalui surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya.
Banyak orang yang belum mengetahui tentang seluk beluk hukum kewarisan yang berlaku, sehingga tak jarang terjadi banyak sengketa.
Apa itu hukum waris?
Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak.
Hingga kini belum ada hukum waris di Indonesia yang berlaku secara nasional. Namun ada tiga hukum waris yang dijalankan oleh masyarakat di Indonesia, yaitu hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata.
Masing-masing hukum waris itu memiliki aturan yang berbeda-beda. Bagi orang Islam, berlaku hukum waris Islam, jika non muslim maka berlaku hukum waris adat atau hukum waris perdata.
Jika anda orang Islam, wajib bagi anda menggunakan pembagian dari Allah dan Rasul-Nya itu, baik itu dibagi secara kekeluargaan maupun lewat jalur pengadilan, dianggap menguntungkan atau merugikan, dianggap adil atau diskriminatif, itulah konsekuensi beragama, kita dituntut taat, sami'na wa atha'na.
Dan berikut definisi, kaidah, perbedaan dan penjelasannya secara umum:
1. Hukum Waris Adat
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama, dan adat-istiadat yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu mempengaruhi hukum yang berlaku di tiap golongan masyarakat yang dikenal dengan sebutan hukum adat.
Menurut Ter Haar, seorang pakar hukum dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht (1950), hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur penerusan dan peralihan dari abad ke abad baik harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut. Hukum adat itu sendiri bentuknya tak tertulis, hanya berupa norma dan adat-istiadat yang harus dipatuhi masyarakat tertentu dalam suatu daerah dan hanya berlaku di daerah tersebut dengan sanksi-sanksi tertentu bagi yang melanggarnya.
Oleh karena itu, hukum waris adat banyak dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan atau kekerabatan. Di Indonesia hukum waris mengenal beberapa macam sistem pewarisan. Apa saja?
Sistem keturunan: sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu sistem patrilineal yaitu berdasarkan garis keturunan bapak, sistem matrilineal berdasarkan garis keturunan ibu, dan sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua.
Sistem Individual: berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini diterapkan pada masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti Jawa dan Batak.
Sistem Kolektif: ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan atau pun kepemilikannya dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya adalah barang pusaka di suatu masyarakat tertentu.
Sistem Mayorat: dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu. Misalnya kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga, seperti di masyarakat Bali dan Lampung harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua dan di Sumatra Selatan kepada anak perempuan tertua.
2. Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam berlaku bagi orang Islam secara imperatif (memaksa). Memang dulunya ada pilihan hukum, namun sejak tahun 2006, pilihan hukum sudah tidak diperkenankan lagi.
Hukum waris Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam dan diatur dalam Pasal 171-214 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu materi hukum Islam yang ditulis dalam 229 pasal.
Dalam hukum waris Islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Dengan demikian pewaris bisa berasal dari pihak bapak atau ibu. Sumber utama dalam hukum Waris Islam adalah Al Quran surat An-Nisa' ayat 11-12. hukum Waris Islam atau ilmu faraidh adalah ilmu yang diketahui. siapa yang berhak mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.
Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling mulia tingkat urgensinya, paling tinggi kedudukannya, paling besar ganjarannya, oleh karena pentingnya, bahkan sampai Allah sendiri yang menentukan takarannya, Allah Swt terangkan jatah harta warisan yang didapat oleh setiap ahli waris, dijabarkan kebanyakannya dalam beberapa ayat yang jelas, karena harta dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi manusia, sebagian besar dari harta warisan adalah untuk pria dan wanita, besar dan kecil, mereka yang lemah dan kuat, sehingga tidak terdapat padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu.
Menurut hukum waris Islam ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan ada sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuik menerima warisan:
Orang yang mewariskan (pewaris) telah meninggal dunia dan dapat di buktikan secara hukum ia telah meninggal. Sehingga jika ada pembagian atau pemberian harta pada keluarga pada masa pewaris masih hidup, itu tidak termasuk dalam kategori waris tetapi disebut hibah.
Orang yang mewarisi (ahli waris) masih hidup pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia.
Orang yang mewariskan dan mewarisi memiliki hubungan:
A. Hubungan keturunan atau kekerabatan, baik pertalian garis lurus ke atas seperti ayah atau kakek dan pertalian lurus ke bawah seperti anak, cucu, paman, dll. Hubungan pernikahan, yaitu suami atau isteri. Pernikahan itu harus memenuhi dua syarat:
1. Perkawinan sah menurut syariat islam, yakni dengan akad nikah yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
2. Saat terjadi pewarisan salah satu pihak suami atau istri tidak dalam keadaan bercerai.
B. Apabila seseorang meninggal dunia tidak meninggalkan orang yang mewarisi maka hartanya akan diserahkan kepada baitul Mal (perbendaharaan Negara Islam) untuk dimanfaatkan untuk kepentingan umat islam.
3. Hukum Waris Perdata:
Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat berlaku untuk masyarakat non muslim, termasuk warga negara Indonesia keturunan baik Tionghoa maupun Eropa yang ketentuannya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP).
Hukum waris perdata menganut sistem individual dimana setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Dalam hukum waris perdata ada dua cara untuk mewariskan:
Mewariskan berdasarkan undang-undang atau mewariskan tanpa surat wasiat yang disebut sebagai Ab-instentato, sedangkan ahli warisnya disebut Ab-instaat. Ada 4 golongan ahli waris berdasarkan undang-undang:
- Golongan I terdiri dari suami istri dan anak-anak beserta keturunannya.
- Golongan II terdiri dari orang tua dan saudara-saudara beserta keturunannya.
- Golongan III terdiri dari kakek, nenek serta seterusnya ke atas.
- Golongan IV terdiri dari keluarga dalam garis menyamping yang lebih jauh, termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunannya.
Mewariskan berdasarkan surat wasiat yaitu berupa pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia yang oleh si pembuatnya dapat diubah atau dicabut kembali selama ia masih hidup sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 992.
Cara pembatalannya harus dengan wasiat baru atau dilakukan dengan Notaris. Syarat pembuatan surat wasiat ini berlaku bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun atau lebih dan sudah menikah meski belum berusia 18 tahun. Yang termasuk golongan ahli waris berdasarkan surat wasiat adalah semua orang yang ditunjuk oleh pewaris melalui surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya.
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih