Salah satu suku di kepulauan melayu yang hidup nomaden di atas laut adalah suku Bajau Pelau, sehingga ada yang menyebut mereka sebagai 'gipsi laut' (wikipedia). Mereka menggunakan bahasa Sama-Bajau.
Sejak ratusan tahun yang lalu, suku Baajau sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah. Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah.
Suku Bajau yang Muslim merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis yaitu suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar.
Saat ini, Suku Bajau menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia (terutama Indonesia Timur), bahkan sampai ke Madagaskar. Kebanyakan Suku Bajau yang menyebar mulai tinggal menetap dan berbaur dengan suku-suku lain.
Suku Bajau Pela'u berbeda dengan suku Bajau lainnya dalam hal cara dan tempat hidup mereka. Bajau Pela'u adalah bagian dari suku Bajau yang masih mempertahankan hidup di atas perahu seperti nenek moyang semua bangsa Bajau sampai kurang lebih seabad lalu, tidak seperti suku bajau lainnya yang dewasa ini sudah bermukim di atas rumah-rumah meskipun sebagian masih di atas air juga.
Dengan cara hidup seperti itu Bajau Pelau tetap dapat mengikuti sebagian dari pola pergerakan nenek moyang mereka di sepanjang jalur-jalur kuno persebaran mereka di seluruh perairan nusantara.
Pergerakan suku bangsa Bajau meliputi Filipina bagian Selatan melalui pesisir pantai Timur Laut pulau Borneo di Barat dan melalui Kepulauan Sangihe-Talaud di Timur masing-masing menuju Selatan. Jalur pantai Timur Laut Borneo ini menyusuri negara bagian Sabah dan wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Jalur itu kemudian bercabang di Tanjung Mangkalihat.
Sebuah jalur diteruskan dengan memutari tanjung lalu menyusuri pantai Timur Kalimantan ke arah Selatan. Jalur lainnya menyeberangi Selat Makassar yang ketika sampai di Pantai Sulawesi bisa bercabang lagi, satu menuju Utara dan satunya lagi menuju Selatan, sehingga jalur pergerakan suku Bajau terdapat pada kedua sisi pantai Selat Makassar.
Sampai saat ini pemukiman orang Bajau terdapat di berbagai tempat di pantai Timur Kalimantan dan juga di pantai Barat Sulawesi. Orang Bajau dapat ditemukan di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah, namun absen di wilayah Sulawesi Barat, kemudian bekas-bekasnya yang sudah terakulturasi dengan Bugis-Makassar, masih dapat ditemukan di Kepulauan Spermonde dan lebih ke Selatan lagi di Pulau Selayar orang Bajau masih bisa dijumpai.
Bajau tidak ditemukan di wilayah Mandar karena perairannya yang langsung dalam di bibir pantai. Bajau selalu memilih perairan dangkal yang terdapat banyak karang dan pulau-pulau sebagai tempat beredar dimana mereka dapat menggantungkan hidup dengan teknologi hunting and gathering yang paling sederhana sekalipun.
Beberapa waktu lalu di beberapa surat kabar dimuat berita tentang orang Bajau Pela'u yang beredar di Kalimantan Timur, tepatnya bergerak disekitar Pulau Balikukup, Tanjung Buaya-buaya dan Desa Batuputih. Mereka memanfaatkan sumberdaya koral dan perairan Pulau Balikukup dan Tanjung Buaya-buaya, sementara Batuputih, disamping Balikukup, dijadikan tempat memperoleh keperluan hidup: beras dan bahan makanan lainnya, air tawar, bahan bakar, pakaian dan peralatan rumah tangga bahkan buah-buahan pada musimnya.
Beberapa waktu lalu juga, kita sempat mendengar kabar bahwa ada sekitar 103 jiwa orang Bajau Pela'u itu dibawa ke ibukota Kabupaten Berau di Tanjung Redeb oleh Polisi untuk diproses deportasi ke Malaysia. Ya, mereka memang bukan Warga Negara Indonesia, datangnya dari Malaysia, tapi juga bukan warga negara Malaysia. Asal mereka dari Filipina, tapi juga tidak serta merta dapat dianggap sebagai warga negara Filipina karena tidak memiliki surat keterangan identitas apapun.
Angkatan Laut Diraja Malaysia pernah mendata orang Bajau Pela'u ini dan membuatkan mereka semacam surat keterangan identitas kolektif sekeluarga dalam selembar kertas putih berisi foto keluarga yang diberi nomor pada tiap orang dan daftar nama dari anggota keluarga itu di bawahnya. Tapi itu pun tidak lantas membuat mereka mendapat pengakuan sebagai warga negara Malaysia. Ya, mereka adalah warga bumi yang tidak punya kewarganegaraan. Orang-orang bebas yang hidup sebagaimana cara hidup nenek moyang mereka.
Mereka mencari hidup di perairan ini dengan meninggalkan asalnya karena tidak tahan lagi dengan perampokan yang dilakukan oleh suku-suku tertentu di Filipina Selatan yang bersenjata langkap.
Mereka masuk ke Malaysia karena perbatasannya begitu dekat dan secara tradisional adalah wilayah pergerakan mereka yang 'sah' menurut adat nenek moyang mereka. Kerabat mereka yang sudah mukim dapat mereka temui disana. Di Malaysia mereka mengeluhkan petugas keamanan yang tidak bersahabat. Jika mereka kedapatan berada di darat sejenak sajapun mereka akan dideportasi ke Filipina setelah menjalani kurungan badan dan hukuman cambuk di penjara Malaysia.
Pada tanggal 12 Maret 2010 aparat kepolisian resort Berau mengumpulkan mereka di Desa Batuputih dan kemudian membawa mereka ke Tanjung Redeb ibukota Kabupaten Berau melalui darat. Meskipun mereka sudah terbiasa dan tahan terhadap goncangan ombak di laut, ternyata mereka tidak tahan dengan goyangan kendaraan darat yang membuat banyak di antara mereka muntah akibat mabuk darat.
Hidup orang Bajau Pela'u memang terpusat pada perahunya. Lahir, beranak-pinak, dan mati di atas perahu. Halaman 'rumahnya' adalah air laut dan hamparan karang. Mereka tidak pernah mandi secara khusus tetapi senantiasa basah oleh air laut. Itulah sebabnya ketika dipisahkan dengan laut dan perahunya badan mereka menjadi lemah dan segera ada yang jatuh sakit. Sudah sepuluh hari mereka 'ditahan' di tempat penampungan Dinas Sosial Kabupaten Berau. Bukan hanya fisik mereka yang sakit oleh keadaan sekeliling yang bukan habitat asli mereka, bayangkan mereka telah meminta didatangkan air laut untuk air mandi mereka dan makanan orang darat pun tidak sesuai dengan tenggorokan mereka, jiwa mereka juga sudah tersiksa oleh nasib yang tidak menentu.
Kepolisian yang telah memerintahkan 'penahanan' ini bersikukuh untuk mendeportasi orang Bajau Pela'u ini ke Malaysia melalui Tarakan dengan memisahkan mereka dengan perahunya, meskipun Pemerintah Kabupaten Berau telah memperoleh pernyataan dari Pemerintah Sabah yang tidak mengakui mereka sebagai warga Malaysia, begitupula pernyataan serupa dari Pemerintah Filipina.
Sebegitu ngototnya sehingga meskipun seluruh unsur Muspida Pemerintah Berau, termasuk Kejaksaan, Pengadilan, DPR dan berbagai unsur masyarakat bersepakat untuk mengalokasi 'pemukiman' orang Bajau Pela'u di Tanjung Buaya-buaya di Desa Batuputih dan menjadikannya warga negara Indonesia, namun kepolisian tetap berkeinginan mendeportasi orang Bajau Pela'u ke Tawau.
Keinginan keras kepolisian ini dinilai semua kalangan sebagai tindakan berlebihan dengan mengatasnamakan penegakan aturan hukum. Padahal, ketika semua unsur masyarakat dan pemerintah memilih untuk memukimkan mereka di Batuputih dan menjadikannya warga negara, sesungguhnya mereka telah berpihak kepada hati nurani yang melihat persoalan ini lebih jernih dari sudut pandang perikemanusiaan.
Orang Bajau Pela'u sendiri berkeinginan kuat untuk tetap tinggal dan menjadi warga negara Indonesia. Mereka menyatakan bahwa jika mereka dipaksa untuk dideportasi mereka lebih memilih ditembak mati ditempat karena sudah tahu bahwa jika mereka dideportasi ke Malaysia mereka akan di penjarakan dan pada akhirnya dideportasi lagi ke Filipina. Hal yang telah mereka hindari dengan menyabung nyawa datang ke wilayah ini.
Sesungguhnya orang-orang Bajau yang berasal dari Filipina telah menetap di pulau-pulau Derawan, Maratua, Balikukup dan lainnya paling lambat tahun 1920an. Tetua yang masih hidup, misalnya Abd. Kadir Bin Muhammad Kamang (68) yang lahir di Pulau Balikukup pada tahun 1942, tahu bahwa orang tuanya datang dari Tawi-tawi Filipina bersama dengan beberapa orang lainnya yang kemudian tinggal menyebar di pulau-pulau tersebut. Abdul Kadir adalah anak kelima dan saudara tertuanya lahir pada awal 1930an. Sepanjang ingatan masa kecilnya Bajau Pela'u dan Bajau Kubang sudah bolak-balik antara Filipina dan wilayah ini (1950an) sebagaimana juga dengan sanak keluarganya dari Tawi-tawi. Kemerdekaan negara-negara modern seperti RI, Malaysia, dan Filipina yang kemudian menyekat mereka diantara garis-garis batas negara, yang sesungguhnya bagi pemahaman orang seperti Bajau Pela'u ini adalah absurd dan tidak dapat menghalangi orang secara fisik untuk bergerak di lautan bebas.
Pulau Balikukup pada tahun 1950an telah mencapai puncak kejayaan ekonominya yang digerakkan terutama oleh orang-orang Bajau yang rajin mengumpulkan hasil laut yang laku di pasaran ekspor seperti sirip ikan hiu, teripang, dan kihampau (ikan pari tutul yang kecil), serta membuat kopra. Hasil-hasil ini dibawa ke Surabaya, Tawau dan juga Tawi-tawi untuk kopra. Ada lima keluarga keturunan Tionghoa yang membuka usaha di Pulau Balikukup sebagai pedagang hasil laut, kopra dan bahkan sarang burung walet, juga kedai kopi, pandai emas dan tukang gigi. Pedagang keturunan Banjar dan Bugis pun juga ada disini. Kemakmuran ini kemudian tercium oleh perompak Sulu dari Filipina selatan dari hilir mudiknya orang bajau antara Filipina dan wilayah ini, yang kemudian melakukan perampokan-perampokan di Pulau Balikukup pada tahun 1955, 1957 dan 1958.
Jadi jelaslah bahwa bagi orang Bajau pergerakan melalui laut adalah hal yang sudah semestinya, sehingga orang Bajau tersebar keberadaannya diseluruh nusantara. Kalau sekarang orang Bajau kebanyakan sudah menetap di desa-desa pantai dan sudah ada juga yang berkebun sayur-sayuran dan kelapa, itu adalah adaptasi yang mesti mereka lakukan untuk bertahan hidup. Tapi tidak semua orang dapat atau mau mengikuti arus perubahan jaman itu. Orang Bajau Pela'u adalah orang-orang yang memilih ataupun terpaksa hidup diatas perahu dengan segala kerugian dan keuntungan yang sudah mereka pertimbangkan secara bawah-sadar-kolektif mereka.
Jika kita dapat bebas memilih jalan hidup kita, mengapa kita tidak bisa memberi kebebasan kepada mereka untuk menentukan hidup mereka pula. Apa hak kita mendikte mereka hanya berdasar pada kepongahan kita menganggap mereka terbelakang dengan cara hidup seperti itu. Penulis telah tiga kali berkesempatan menumpang hidup diatas perahu mereka dan menikmati hidup bersahaja bersama mereka. Rasanya tidak ada yang salah apalagi terbelakang jika kita mau berhenti mengukur dengan standar modern kita yang terlalu tinggi dan konsumptif.
Kini, orang Bajau Pela'u sedang menderita di dan menunggu penentuan nasib mereka. Penderitaan mereka dapat segera diakhiri dengan mengirim mereka kembali ke laut dan perahu-perahu mereka, membiarkan mereka menetap di perairan antara Batuputih dan Pulau Balikukup. Kalaupun keputusan akhir belum diambil, kita tidak perlu khawatir mereka akan melarikan diri. Jika diminta kepada mereka untuk menunggu, mereka akan menunggu. Mereka adalah orang-orang yang penurut dan cinta damai.
Sedianya, persoalan ini didudukkan pada kerangka perikemanusiaan dan pertimbangan cermat atas usaha melestarikan sebuah kebudayaan bahari yang sudah terancam punah, mengingat bahwa tidak ada lagi suku bangsa di dunia ini yang memilih hidup diatas perahu kecuali Bajau Pela'u.
Dari berbagai tulisan
Sejak ratusan tahun yang lalu, suku Baajau sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah. Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah.
Suku Bajau yang Muslim merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis yaitu suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar.
Saat ini, Suku Bajau menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia (terutama Indonesia Timur), bahkan sampai ke Madagaskar. Kebanyakan Suku Bajau yang menyebar mulai tinggal menetap dan berbaur dengan suku-suku lain.
Suku Bajau Pela'u berbeda dengan suku Bajau lainnya dalam hal cara dan tempat hidup mereka. Bajau Pela'u adalah bagian dari suku Bajau yang masih mempertahankan hidup di atas perahu seperti nenek moyang semua bangsa Bajau sampai kurang lebih seabad lalu, tidak seperti suku bajau lainnya yang dewasa ini sudah bermukim di atas rumah-rumah meskipun sebagian masih di atas air juga.
Dengan cara hidup seperti itu Bajau Pelau tetap dapat mengikuti sebagian dari pola pergerakan nenek moyang mereka di sepanjang jalur-jalur kuno persebaran mereka di seluruh perairan nusantara.
Pergerakan suku bangsa Bajau meliputi Filipina bagian Selatan melalui pesisir pantai Timur Laut pulau Borneo di Barat dan melalui Kepulauan Sangihe-Talaud di Timur masing-masing menuju Selatan. Jalur pantai Timur Laut Borneo ini menyusuri negara bagian Sabah dan wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Jalur itu kemudian bercabang di Tanjung Mangkalihat.
Sebuah jalur diteruskan dengan memutari tanjung lalu menyusuri pantai Timur Kalimantan ke arah Selatan. Jalur lainnya menyeberangi Selat Makassar yang ketika sampai di Pantai Sulawesi bisa bercabang lagi, satu menuju Utara dan satunya lagi menuju Selatan, sehingga jalur pergerakan suku Bajau terdapat pada kedua sisi pantai Selat Makassar.
Sampai saat ini pemukiman orang Bajau terdapat di berbagai tempat di pantai Timur Kalimantan dan juga di pantai Barat Sulawesi. Orang Bajau dapat ditemukan di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah, namun absen di wilayah Sulawesi Barat, kemudian bekas-bekasnya yang sudah terakulturasi dengan Bugis-Makassar, masih dapat ditemukan di Kepulauan Spermonde dan lebih ke Selatan lagi di Pulau Selayar orang Bajau masih bisa dijumpai.
Bajau tidak ditemukan di wilayah Mandar karena perairannya yang langsung dalam di bibir pantai. Bajau selalu memilih perairan dangkal yang terdapat banyak karang dan pulau-pulau sebagai tempat beredar dimana mereka dapat menggantungkan hidup dengan teknologi hunting and gathering yang paling sederhana sekalipun.
Beberapa waktu lalu di beberapa surat kabar dimuat berita tentang orang Bajau Pela'u yang beredar di Kalimantan Timur, tepatnya bergerak disekitar Pulau Balikukup, Tanjung Buaya-buaya dan Desa Batuputih. Mereka memanfaatkan sumberdaya koral dan perairan Pulau Balikukup dan Tanjung Buaya-buaya, sementara Batuputih, disamping Balikukup, dijadikan tempat memperoleh keperluan hidup: beras dan bahan makanan lainnya, air tawar, bahan bakar, pakaian dan peralatan rumah tangga bahkan buah-buahan pada musimnya.
Beberapa waktu lalu juga, kita sempat mendengar kabar bahwa ada sekitar 103 jiwa orang Bajau Pela'u itu dibawa ke ibukota Kabupaten Berau di Tanjung Redeb oleh Polisi untuk diproses deportasi ke Malaysia. Ya, mereka memang bukan Warga Negara Indonesia, datangnya dari Malaysia, tapi juga bukan warga negara Malaysia. Asal mereka dari Filipina, tapi juga tidak serta merta dapat dianggap sebagai warga negara Filipina karena tidak memiliki surat keterangan identitas apapun.
Angkatan Laut Diraja Malaysia pernah mendata orang Bajau Pela'u ini dan membuatkan mereka semacam surat keterangan identitas kolektif sekeluarga dalam selembar kertas putih berisi foto keluarga yang diberi nomor pada tiap orang dan daftar nama dari anggota keluarga itu di bawahnya. Tapi itu pun tidak lantas membuat mereka mendapat pengakuan sebagai warga negara Malaysia. Ya, mereka adalah warga bumi yang tidak punya kewarganegaraan. Orang-orang bebas yang hidup sebagaimana cara hidup nenek moyang mereka.
Mereka mencari hidup di perairan ini dengan meninggalkan asalnya karena tidak tahan lagi dengan perampokan yang dilakukan oleh suku-suku tertentu di Filipina Selatan yang bersenjata langkap.
Mereka masuk ke Malaysia karena perbatasannya begitu dekat dan secara tradisional adalah wilayah pergerakan mereka yang 'sah' menurut adat nenek moyang mereka. Kerabat mereka yang sudah mukim dapat mereka temui disana. Di Malaysia mereka mengeluhkan petugas keamanan yang tidak bersahabat. Jika mereka kedapatan berada di darat sejenak sajapun mereka akan dideportasi ke Filipina setelah menjalani kurungan badan dan hukuman cambuk di penjara Malaysia.
Pada tanggal 12 Maret 2010 aparat kepolisian resort Berau mengumpulkan mereka di Desa Batuputih dan kemudian membawa mereka ke Tanjung Redeb ibukota Kabupaten Berau melalui darat. Meskipun mereka sudah terbiasa dan tahan terhadap goncangan ombak di laut, ternyata mereka tidak tahan dengan goyangan kendaraan darat yang membuat banyak di antara mereka muntah akibat mabuk darat.
Hidup orang Bajau Pela'u memang terpusat pada perahunya. Lahir, beranak-pinak, dan mati di atas perahu. Halaman 'rumahnya' adalah air laut dan hamparan karang. Mereka tidak pernah mandi secara khusus tetapi senantiasa basah oleh air laut. Itulah sebabnya ketika dipisahkan dengan laut dan perahunya badan mereka menjadi lemah dan segera ada yang jatuh sakit. Sudah sepuluh hari mereka 'ditahan' di tempat penampungan Dinas Sosial Kabupaten Berau. Bukan hanya fisik mereka yang sakit oleh keadaan sekeliling yang bukan habitat asli mereka, bayangkan mereka telah meminta didatangkan air laut untuk air mandi mereka dan makanan orang darat pun tidak sesuai dengan tenggorokan mereka, jiwa mereka juga sudah tersiksa oleh nasib yang tidak menentu.
Kepolisian yang telah memerintahkan 'penahanan' ini bersikukuh untuk mendeportasi orang Bajau Pela'u ini ke Malaysia melalui Tarakan dengan memisahkan mereka dengan perahunya, meskipun Pemerintah Kabupaten Berau telah memperoleh pernyataan dari Pemerintah Sabah yang tidak mengakui mereka sebagai warga Malaysia, begitupula pernyataan serupa dari Pemerintah Filipina.
Sebegitu ngototnya sehingga meskipun seluruh unsur Muspida Pemerintah Berau, termasuk Kejaksaan, Pengadilan, DPR dan berbagai unsur masyarakat bersepakat untuk mengalokasi 'pemukiman' orang Bajau Pela'u di Tanjung Buaya-buaya di Desa Batuputih dan menjadikannya warga negara Indonesia, namun kepolisian tetap berkeinginan mendeportasi orang Bajau Pela'u ke Tawau.
Keinginan keras kepolisian ini dinilai semua kalangan sebagai tindakan berlebihan dengan mengatasnamakan penegakan aturan hukum. Padahal, ketika semua unsur masyarakat dan pemerintah memilih untuk memukimkan mereka di Batuputih dan menjadikannya warga negara, sesungguhnya mereka telah berpihak kepada hati nurani yang melihat persoalan ini lebih jernih dari sudut pandang perikemanusiaan.
Orang Bajau Pela'u sendiri berkeinginan kuat untuk tetap tinggal dan menjadi warga negara Indonesia. Mereka menyatakan bahwa jika mereka dipaksa untuk dideportasi mereka lebih memilih ditembak mati ditempat karena sudah tahu bahwa jika mereka dideportasi ke Malaysia mereka akan di penjarakan dan pada akhirnya dideportasi lagi ke Filipina. Hal yang telah mereka hindari dengan menyabung nyawa datang ke wilayah ini.
Sesungguhnya orang-orang Bajau yang berasal dari Filipina telah menetap di pulau-pulau Derawan, Maratua, Balikukup dan lainnya paling lambat tahun 1920an. Tetua yang masih hidup, misalnya Abd. Kadir Bin Muhammad Kamang (68) yang lahir di Pulau Balikukup pada tahun 1942, tahu bahwa orang tuanya datang dari Tawi-tawi Filipina bersama dengan beberapa orang lainnya yang kemudian tinggal menyebar di pulau-pulau tersebut. Abdul Kadir adalah anak kelima dan saudara tertuanya lahir pada awal 1930an. Sepanjang ingatan masa kecilnya Bajau Pela'u dan Bajau Kubang sudah bolak-balik antara Filipina dan wilayah ini (1950an) sebagaimana juga dengan sanak keluarganya dari Tawi-tawi. Kemerdekaan negara-negara modern seperti RI, Malaysia, dan Filipina yang kemudian menyekat mereka diantara garis-garis batas negara, yang sesungguhnya bagi pemahaman orang seperti Bajau Pela'u ini adalah absurd dan tidak dapat menghalangi orang secara fisik untuk bergerak di lautan bebas.
Pulau Balikukup pada tahun 1950an telah mencapai puncak kejayaan ekonominya yang digerakkan terutama oleh orang-orang Bajau yang rajin mengumpulkan hasil laut yang laku di pasaran ekspor seperti sirip ikan hiu, teripang, dan kihampau (ikan pari tutul yang kecil), serta membuat kopra. Hasil-hasil ini dibawa ke Surabaya, Tawau dan juga Tawi-tawi untuk kopra. Ada lima keluarga keturunan Tionghoa yang membuka usaha di Pulau Balikukup sebagai pedagang hasil laut, kopra dan bahkan sarang burung walet, juga kedai kopi, pandai emas dan tukang gigi. Pedagang keturunan Banjar dan Bugis pun juga ada disini. Kemakmuran ini kemudian tercium oleh perompak Sulu dari Filipina selatan dari hilir mudiknya orang bajau antara Filipina dan wilayah ini, yang kemudian melakukan perampokan-perampokan di Pulau Balikukup pada tahun 1955, 1957 dan 1958.
Jadi jelaslah bahwa bagi orang Bajau pergerakan melalui laut adalah hal yang sudah semestinya, sehingga orang Bajau tersebar keberadaannya diseluruh nusantara. Kalau sekarang orang Bajau kebanyakan sudah menetap di desa-desa pantai dan sudah ada juga yang berkebun sayur-sayuran dan kelapa, itu adalah adaptasi yang mesti mereka lakukan untuk bertahan hidup. Tapi tidak semua orang dapat atau mau mengikuti arus perubahan jaman itu. Orang Bajau Pela'u adalah orang-orang yang memilih ataupun terpaksa hidup diatas perahu dengan segala kerugian dan keuntungan yang sudah mereka pertimbangkan secara bawah-sadar-kolektif mereka.
Jika kita dapat bebas memilih jalan hidup kita, mengapa kita tidak bisa memberi kebebasan kepada mereka untuk menentukan hidup mereka pula. Apa hak kita mendikte mereka hanya berdasar pada kepongahan kita menganggap mereka terbelakang dengan cara hidup seperti itu. Penulis telah tiga kali berkesempatan menumpang hidup diatas perahu mereka dan menikmati hidup bersahaja bersama mereka. Rasanya tidak ada yang salah apalagi terbelakang jika kita mau berhenti mengukur dengan standar modern kita yang terlalu tinggi dan konsumptif.
Kini, orang Bajau Pela'u sedang menderita di dan menunggu penentuan nasib mereka. Penderitaan mereka dapat segera diakhiri dengan mengirim mereka kembali ke laut dan perahu-perahu mereka, membiarkan mereka menetap di perairan antara Batuputih dan Pulau Balikukup. Kalaupun keputusan akhir belum diambil, kita tidak perlu khawatir mereka akan melarikan diri. Jika diminta kepada mereka untuk menunggu, mereka akan menunggu. Mereka adalah orang-orang yang penurut dan cinta damai.
Sedianya, persoalan ini didudukkan pada kerangka perikemanusiaan dan pertimbangan cermat atas usaha melestarikan sebuah kebudayaan bahari yang sudah terancam punah, mengingat bahwa tidak ada lagi suku bangsa di dunia ini yang memilih hidup diatas perahu kecuali Bajau Pela'u.
Dari berbagai tulisan
loading...
Trimakasih ulasannya,, saya bangga sebagai orang bajau.
ReplyDelete