Salah seorang tokoh Indonesia yang disegani di dalam dan luar negeri adalah mantan presiden Indonesia, Baharuddin Jusuf Habibie. Nama beliau sudah tak asing lagi di masyarakat internasional sebagai salah seorang manusia jenius di muka bumi.
Kepakaran beliau di bidang teknologi auronautika atau ilmu pesawat terbang menjadikannya sebagai salah seorang pemegang hak paten dari beberapa teknologi penerbangan.
Salah satu teori yang beliau temukan di dunia penerbangan adalah tentang teori keretakan pesawat. Dengan teori ini, beliau berusaha meminimalisir tingkat kecelakaan penerbangan hingga mampu menyelamatkan jiwa manusia.
Teori ini berawal dari kenyataan bahwa pada tahun 1960 perkembangan teknologi pesawat terbang belum sepesat seperti sekarang, banyaknya musibah pesawat terbang yang terjadi karena kelelahan (fatique) pada bodi pesawat.
[Silahkan baca artikel sebelumnya: Mengapa Pesawat udara bisa terbang?]
Biasanya titik rawan kelelahan ini terjadi di sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang, atau antara sayap dan dudukan mesin. Sebab elemen inilah yang secara terus-menerus mengalami guncangan keras, baik ketika sedang take off ataupun landing.
Di saat sebuah pesawat melakukan take off, sambungannya menerima tekanan udara (uplift) yang besar. Begitu ketika sebuah pesawat akan melakukan landing dan menyentuk landasan, bagian ini pula yang menanggung hempasan tubuh pesawat. Akibatnya kelelahan pun terjadi, dan itu awal dari keretakan (crack). Semakin hari keretakan itu semakin memanjang dan dapat berakibat fatal, karena sayap pesawat bisa patah tanpa diduga. Hal ini menyebabkan potensi fatique semakin besar.
Di sinilah peran seorang BJ Habibie yang kemudian datang menawarkan sebuah solusi. Beliaulah yang menemukan bagaimana rambatan titik crack itu berkerja, yang kemudian dikenal dengan nama teori crack progression.
Dengan teorinya, Habibie berhasil menghitung crack itu dengan rinci sampai pada hitungan atomnya. Hal ini tidak saja bisa menghindari risiko pesawat jatuh, tetapi juga membuat pemeliharannya lebih mudah dan murah. Teori crack progression atau yang lebih dikenal dengan Faktor Habibie, porsi rangka baja pesawat bisa dikurangi dan diganti dengan dominasi alumunium dalam body pesawat terbang. Dan dapat mengurangi bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar sampai 10 persen dari bobot konvesionalnya.
Faktor Habibie ternyata juga memiliki peran dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Sehingga sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara ketika pesawat take off. Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Masalah penstabilan kosntruksi di bagian ekor pesawat ini dapat dipecahkan Habibie hanya dalam masa 6 bulan saja.
Penemuan-penemuan yang berhubungan dengan konstruksi pesawat terbang dikenal dengan teori Habibie, Faktor Habibie, dan metode Habibie.
Kepakaran beliau di bidang teknologi auronautika atau ilmu pesawat terbang menjadikannya sebagai salah seorang pemegang hak paten dari beberapa teknologi penerbangan.
Salah satu teori yang beliau temukan di dunia penerbangan adalah tentang teori keretakan pesawat. Dengan teori ini, beliau berusaha meminimalisir tingkat kecelakaan penerbangan hingga mampu menyelamatkan jiwa manusia.
Teori ini berawal dari kenyataan bahwa pada tahun 1960 perkembangan teknologi pesawat terbang belum sepesat seperti sekarang, banyaknya musibah pesawat terbang yang terjadi karena kelelahan (fatique) pada bodi pesawat.
[Silahkan baca artikel sebelumnya: Mengapa Pesawat udara bisa terbang?]
Biasanya titik rawan kelelahan ini terjadi di sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang, atau antara sayap dan dudukan mesin. Sebab elemen inilah yang secara terus-menerus mengalami guncangan keras, baik ketika sedang take off ataupun landing.
Di saat sebuah pesawat melakukan take off, sambungannya menerima tekanan udara (uplift) yang besar. Begitu ketika sebuah pesawat akan melakukan landing dan menyentuk landasan, bagian ini pula yang menanggung hempasan tubuh pesawat. Akibatnya kelelahan pun terjadi, dan itu awal dari keretakan (crack). Semakin hari keretakan itu semakin memanjang dan dapat berakibat fatal, karena sayap pesawat bisa patah tanpa diduga. Hal ini menyebabkan potensi fatique semakin besar.
Di sinilah peran seorang BJ Habibie yang kemudian datang menawarkan sebuah solusi. Beliaulah yang menemukan bagaimana rambatan titik crack itu berkerja, yang kemudian dikenal dengan nama teori crack progression.
Dengan teorinya, Habibie berhasil menghitung crack itu dengan rinci sampai pada hitungan atomnya. Hal ini tidak saja bisa menghindari risiko pesawat jatuh, tetapi juga membuat pemeliharannya lebih mudah dan murah. Teori crack progression atau yang lebih dikenal dengan Faktor Habibie, porsi rangka baja pesawat bisa dikurangi dan diganti dengan dominasi alumunium dalam body pesawat terbang. Dan dapat mengurangi bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar sampai 10 persen dari bobot konvesionalnya.
Faktor Habibie ternyata juga memiliki peran dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Sehingga sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara ketika pesawat take off. Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Masalah penstabilan kosntruksi di bagian ekor pesawat ini dapat dipecahkan Habibie hanya dalam masa 6 bulan saja.
Penemuan-penemuan yang berhubungan dengan konstruksi pesawat terbang dikenal dengan teori Habibie, Faktor Habibie, dan metode Habibie.
loading...
Ayo anak bangsa! Pak Habibie tlh membuktikan bhw orang Indonesia bisa.
ReplyDeletePray for Habibie 🙏
ReplyDeletePak habibi memang top
ReplyDelete