Beberapa waktu belakangan ini masyarakat dihebohkan dengan barang impor berupa perlengkapan fashion (seperti tas dan sepatu) yang terbuat dari bahan kulit babi. Hal ini tentu saja membuat keraguan-raguan dan kehawatiran, baik bagi pedagang maupun konsumen.
Memang, sebuah video amatir yang tersebar di media virtual dan jejaring sosial, beredar video mengerikan tentang pengolahan kulit babi untuk digunakan sebagai bahan fashion. Selain prosesnyanya yang tidak beradab, banyak penonton yang khawatir jangan-jangan bahan dari kulit babi tersebut masuk juga ke Indonesia.
Lantas bagaimana sebetulnya hukum Islam memandang hal ini? Bagaimana pendapat para ulama tentang menjadikan kulit-kulit binatang yang haram (seperti anjing dan babi) untuk dijadikan bahan pakaian?
Sebelum membahas ini lebih lanjut, perlu diketahui bahwa dalam proses pembuatan suatu barang dari kulit babi, tentu kulit babi tersebut tidak bisa langsung dipakai, melainkan setelah proses pembersihan kulit itu sendiri sebelumnya. Sebab tidak mungkin kulit yang masih kasar dan kotor itu didesaign sedemikian rupa menjadi sepatu.
Proses pembersihan kulit itu disebut dengan istilah samak dalam bahasa Indonesia, dan disebut dengan istilah [دباغة] “dibaghah” dalam bahasa Arab. Secara linguistik, penyamakan dapat diartikan sebagai proses pembersihan kulit hewan dengan menggerusnya dan menghilangkan kotorannya, lemak serta bau busuk. Entah itu dengan proses manual atau juga dengan mesin.
Dengan begitu, sejatinya hukum memakai sepatu yang terbuat dari kulit babi itu kembali kepada permasalahan utama tentang penyamakan kulit.
Ada beberapa pertanyaan penting terkait hal ini: Apakah menyamak kulit hewan dapat menjadikan kulit tersebut menjadi suci dan boleh dimanfaatkan? Kalau boleh, apakah kulit babi juga termasuk kulit yang menjadi suci dengan penyamakan atau tidak?
Penyamakan kulit hewan
Ada perbedaan pendapat para ulama dalam hal penyamakan kulit hewan: apakah penyamakan itu membuatnya suci atau tidak? Ada 4 pendapat secara umum dalam hal ini:
[1] Samak mensucikan semua kulit hewan kecuali kulit babi,
[2] Samak tidak mensucikan kulit secara mutlak,
[3] Samak hanya mensucikan kulit hewan yang halal dagingnya,
[4] Samak mensucikan semua kulit hewan secara mutlak.
[1] Samak Mensucikan Kulit Hewan, Kecuali Kulit Babi
Menurut madzhab Syafi’iyyah dengan madzhab Hanafiyah, menyamak kulit dapat mensucikan semua kulit hewan, kecuali kulit babi. Dengan demikian, samak itu mensucikan semua kulit hewan, baik yang dagingnya halal dimakan atau tidak, kecuali kulit babi. Artinya, kulit babi, bagaimana pun disamak tetap tidak suci.
Dalil yang mereka gunakan ialah beberapa hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dari sahabat Ibnu Abbas:
“Jika kulit itu telah disamak, maka ia telah suci”
Hadits ini menegaskan bahwa kulit hewan apapun akan suci apabila telah disamak, tapi mereka kemudian bersepakat mengecualikan kulit babi, karena mereka berpandangan bahwa babi itu najis bukan karena kotoran atau sejenisnya, tapi babi itu najis karena dia babi (ain-nya). Dan ulama syafi'iyyah menyamakan pula kulit anjing dengan kulit babi.
Hal ini berdasarkan firman Allah Swt dalam surat Al-An’am ayat 145:
“Katakanlah (Wahai Muhammad) aku tidak menemukan apa-apa yang diharamkan dari apa yang diwahyukan kepadaku berupa makanan kecuali bangkai, darah yang mengalir, dan juga daging babi, karena ia adalah Rijs (Najis)”
Jadi memang babi itu ‘Ain-nya sendiri najis. Status kenajisannya paten, bukan karena sesuatu yang menempel pada tubuhnya, melainkan karena memang ia najis. Karena memang itu najis baik hidup atau mati, maka apapun bentuk pensuciannya tidak akan membuat hukumnya berubah, Karena ia najis dzatnya.[1]
Satu hal yang membedakan antara dua madzhab ini bahwa madzhab Syafi’iyyah mengecualikan satu binatang lagi selain babi yang penyamakan kulitnya tidak mensucikan, yaitu anjing.
Sama seperti pengecualian babi, menurut madzhab Syafi’iyyah, anjing itu kedudukannya sama seperti babi yang najis itu ialah najis besar dan ia najis dzatnya. Jadi status kenajisannya bukan karena apa-apa, melainkan karena ia anjing.
Sebagaimana diketahui masyhurnya bahwa dalam madzhab ini, anjing dan babi adalah binatang yang kenajisannya disebut najis besar (Mughalladzoh). [2]
Dalam kitabnya al-Muhadzdzab, Imam Al-Syairozi mengatakan bahwa:
“Anjing dan babi dan apa yang lahir dari keduanya, kulitnya itu tidak bisa suci dengan disamak. Karena samak itu seperti kehidupan (Al-Hayah), anjing dan babi itu hidupnya saja sudah najis. Hidupnya anjing dan babi saja tidak bisa mengangkat kenajisannya, dengan begitu sama juga tidak bisa”.[3]
[2] Penyamakan Tidak Mensucikan Kulit Hewan
Ini adalah salah satu pendapatnya madzhab Malikiyah yang masyhur (Imam Malik punya 2 riwayat pendapat), dan juga salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad bin Hanbal [4], bahwa samak itu tidak bisa mensucikan kulit hewan secara mutlak. Apapun hewannya, samak sama sekali tidak bisa membuatnya suci.
Madzhab ini berdalil dengan ayat Quran surat Al-Maidah ayat 3 yang menyatakan secara umum bahwa bangkai itu diharamkan. Dan kulit hewan yang mati itu hukumnya hukum bangkai, ia tidak suci. Karena tidak suci maka tidak bisa digunakan.
Selain ayat, mereka juga berdalil dengan hadits Ibnu ‘Ukaim yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Abu daud dalam Sunan keduanya. Sahabat ‘Ukaim berkata bahwa Rasul saw mengirim surat sekitar sebulan atau dua bulan yang berisi larangan untuk memanfaatkan kulit walaupun sudah disamak:
“Telah datang kepada kami, pemberitahuan (kitab) dari Nabi saw: janganlan kalian memanfaatkan kulit hewan yang telah disamak” [5]
Maksud haditsnya jelas bahwa walaupun telah ada informasi yang menunjukkan kulit hewan itu suci setelah disamak, akan tetapi hadits ini datang belakangan dan menghapus hadits-hadits sebelumnya, dengan bukti bahwa ini dikatakan sebelum wafat beliau sekitar sebulan atau 2 bulan.
Adapun hadits-hadits yang membolehkan itu, madzhab ini mengatakan bahwa yang dimaksud suci dalam hadits-hadits itu hanya suci dalam arti bahasa yang bermakna bersih (bukan suci bermakna hukum). Karena itu boleh memanfaatkannya dengan alasan rukhshoh. [6]
Tapi kembali lagi seperti madzhab yang lain bahwa rukhshoh itu juga tidak termasuk kulit babi. Maksudnya, madzhab ini membolehkan kita untuk memanfaatkan kulit hewan yang disamak dengan alasan rukhshoh tapi tidak untuk kulit babi.
Babi tetap pada keharamannya. Karena memang madzhab ini berpendapat bahwa hewan yang haram dagingnya dan tidak bisa disembelih untuk jadi halal, kulitnya juga tidak suci walaupun dengan samak. Dan babi secara Ijma’ bahwa hewan ini tidak halal dimakan dan tidak suci walau disembelih.[7]
[3] Samak Hanya Mensucikan Kulit Hewan Yang Dagingnya Halal Dimakan
Ini adalah salah satu dari 3 pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal yang diriwayatkan oleh para ulama madzhab tersebut. Pendapat pertama telah lewat bahwa sama tidak mensucikan kulit hewan sama sekali. Pendapat kedua ini, yaitu samak hanya mensucikan hewan yang dagingnya halal dimakan.
Dalil madzhab ini ialah hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari sahabat Salamah bin Al-Muhabbiq, mengatakan bahwa:
“Penyembelihan kulit itu dengan menyamaknya”
Dalam hadits ini, Nabi saw menyamakan penyamakan dengan penyembelihan, karena hewan menjadi halal dimakan kalau sudah disembelih. Ini mengisyaratkan bahwa penyamakan itu hanya berlaku pada hewan yang boleh disembelih. Dan hewan yang hanya boleh disembelih ialah hewan yang halal dagingnya. Maka sama pun demikian, hanya berlaku pada hewan yang halal dagingnya.
Pendapat ketiga Imam Ahmad ialah: Samak mensucikan kulit hewan yang sewaktu hidupnya ialah hewan yang suci walaupun haram dimakan, seperti keledai.
Dalilnya sama seperti yang digunakan oleh madzhab Syafi’iiyah dan hanafiyah selumnya. Dan kenapa hewan yang najis ketika hidupnya dikecualikan? Beliau beralasan bahwa samak itu hanya mengangkat najis yang terjadi karena sebab matinya hewan tersebut. Adapun yang telah najis sejak hidupnya, maka penyamakan tidak bisa mengangkat status najisnya. [8]
[4] Samak Mensucikan Semua Kulit Hewan Tanpa Kecuali
Ini adalah pendapatnya madzhab Al-Dzohiriyah dan beberapa ulama dari kalangan Malikiyah seperti Syahnun dan juga Abu Yusuf dari kalangan hanafiyah, bahwa samak mensucikan semua kulit hewan termasuk kulit babi.
Dalil yang dipakai oleh madzhab ini sejatinya sama dengan yang digunakan oleh madzhab Syafiiyyah dan Hanafiyah, hanya saja madzb Zohiriyah ini tidak mengecualikan hewan apapun. Karena menurutnya hadits yang ada itu datang dengan redaksi yang umum. Lalu kenapa ada yang dikecualikan?
Termasuk juga berdalil dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dalam shahih-nya dari sahabat Ibnu Abbas, terkait domba yang mati dan menjadi bangkai. Kemudian Rasul saw mengatakan kepada Ibnu Abbas:
“Apakah tidak kalian ambil kulitnya dan kalian manfaatkan, dengan begitu itu lebih mantaaf untuk kalian?” para sahabat berkata: “tapi itu bangkai?” Nabi saw menjawab: “Yang haram itu memakannya”.
Dalam hadits jelas bahwa Nabi membedakan hukum daging dan hukum kulit hewan tersebut. Domba itu memang haram dimakan karena ia bangkai, akan tetapi kulitnya punya hukum berbeda yang bisa menjadi suci jika disamak.
Begitu juga babi, menurut madzhab ini. yang diharamkan dari babi ialah makan dagingnya, sedangkan kulitnya bisa disamak. Terlebih lagi bahwa memang madzhab ini tidak memandang babi sebagai hewan yang najis dzatnya. [9]
Terkait dengan hadits Ibnu ‘Ukaim yang menjadi dalil madzhab Malikiyah, dikatakan bahwa hadits ini tidak layak untuk dijadikan dalil, karena memang sanadnya tidak kuat. Artinya hadits ini ada cacatnya.
Karena dalam riwayat lain dikatakan bahwa hadits ini muncul sebelum wafatnya Nabi setahun, ada yang bilang juga 3 hari sebelum. Initinya tidak ada kesepakatan redaksi dalam hadits ini, itu bukti bahwa hadits ini tidak kuat, karena banyak riwayat yang berbeda.
Dan juga disebutkan oleh beberapa ahli hadits bahwa hadits ini diragukan sampai ke Nabi saw, karena Ibnu ‘Ukaim pun diragukan apakah dia sahabat atau bukan. Terlebih lagi bahwa dalam hadits ini pun Ibnu ‘ukaim tidak langsung mendengar dari Nabi saw, akan tetapi ia hanya diceritakan atau mendapat cerita (hikayah). Ini yang dinamakan dengan hadits mursal.
Dan pendapat ini juga yang banyak diikuti oleh beberapa ulama kontemporer belakangan ini, salah satunya ialah DR. Abdullah Al-Faqih, sebagaimana yang termaktub dalam fatwanya di bank fatwa website islamweb[.]net.
Sepatu dan pakaian lain dari kulit babi
Melihat apa yang sudah dipaparkan diatas, kulit babi yang disamak itu suci menurut satu pendapat dan pendapat lain mengatakan samak tidak bisa mensucikannya:
· Kulit babi Najis: Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali
· Kulit babi Tidak Najis: Madzhab Al-Zohiriyah
Kesimpulannya bahwa mayoritas ulama madzhab fiqih berpendapat bahwa kulit babi tetap najis meskipun telah disamak, kecuali madzhab Al-Zhahiriyah yang berpendapat berbeda. Dalam bukunya Soal-jawab, A. Hassan juga berpendapat serupa dengan mazhab al-zhahiriyyah.
Maka jika mengikuti pendapat jumhur, sepatu atau pakaian kulit babi tidak boleh dipakai karena itu najis. Karena najis itu haram dimakan, maka ia haram juga dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat.
Akan tetapi jika menganut madzhab al-zhahiriyah, maka sah-sah saja memakai sepatu atau jaket yang terbuat dari kulit babi. Wallahu A’lam
Referensi:
[1] Hasyiyah Ibnu Abdin 1/136, Al-Majmu’ 1/214
[2] Al-Majmu’ 1/214
[3] Al-Muhadzdzab 1/27
[4] Bidayah Al-Mujtahid 73, Al-Mughni 1/66
[5] Hadits ini dihasankan oleh Imam Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya. Sheikh Shofiyurrahman Al-Mubarokafury dalam kitabnya Tuhfatul-Ahwadzi yang memang menjadi syarah atas kitab Sunan Al-Tirmidzi, menjelaskan bahwa hadits ini tidak dipakai sebagai dalil oleh jumhur ulama karena memang hadits ini derajatnya Mursal. Diketahui bahwa Ibnu ‘Ukaim tidak pernah mendengar langsung dari Nabi saw, akan tetapi ia hanya diceritakan saja, yang dalam istilah ilmu hadits disebut dengan Hikayah. Bahkan ada beberapa ahli hadits yang meragukan status Ibnu ‘Ukaim sebagai sahabat. (Tuhfatul-Ahwadzi 5/328)
[6] Al-Fawakih Al-Dawani 2/286
[7] Hasyiyah Al-Dusuqi 1/54
[8] Al-Mughi 1/66, Kasysyaful-Qina’ 1/54
[9] Al-Muhalla 7/525
Memang, sebuah video amatir yang tersebar di media virtual dan jejaring sosial, beredar video mengerikan tentang pengolahan kulit babi untuk digunakan sebagai bahan fashion. Selain prosesnyanya yang tidak beradab, banyak penonton yang khawatir jangan-jangan bahan dari kulit babi tersebut masuk juga ke Indonesia.
Lantas bagaimana sebetulnya hukum Islam memandang hal ini? Bagaimana pendapat para ulama tentang menjadikan kulit-kulit binatang yang haram (seperti anjing dan babi) untuk dijadikan bahan pakaian?
Sebelum membahas ini lebih lanjut, perlu diketahui bahwa dalam proses pembuatan suatu barang dari kulit babi, tentu kulit babi tersebut tidak bisa langsung dipakai, melainkan setelah proses pembersihan kulit itu sendiri sebelumnya. Sebab tidak mungkin kulit yang masih kasar dan kotor itu didesaign sedemikian rupa menjadi sepatu.
Proses pembersihan kulit itu disebut dengan istilah samak dalam bahasa Indonesia, dan disebut dengan istilah [دباغة] “dibaghah” dalam bahasa Arab. Secara linguistik, penyamakan dapat diartikan sebagai proses pembersihan kulit hewan dengan menggerusnya dan menghilangkan kotorannya, lemak serta bau busuk. Entah itu dengan proses manual atau juga dengan mesin.
Dengan begitu, sejatinya hukum memakai sepatu yang terbuat dari kulit babi itu kembali kepada permasalahan utama tentang penyamakan kulit.
Ada beberapa pertanyaan penting terkait hal ini: Apakah menyamak kulit hewan dapat menjadikan kulit tersebut menjadi suci dan boleh dimanfaatkan? Kalau boleh, apakah kulit babi juga termasuk kulit yang menjadi suci dengan penyamakan atau tidak?
Penyamakan kulit hewan
Ada perbedaan pendapat para ulama dalam hal penyamakan kulit hewan: apakah penyamakan itu membuatnya suci atau tidak? Ada 4 pendapat secara umum dalam hal ini:
[1] Samak mensucikan semua kulit hewan kecuali kulit babi,
[2] Samak tidak mensucikan kulit secara mutlak,
[3] Samak hanya mensucikan kulit hewan yang halal dagingnya,
[4] Samak mensucikan semua kulit hewan secara mutlak.
[1] Samak Mensucikan Kulit Hewan, Kecuali Kulit Babi
Menurut madzhab Syafi’iyyah dengan madzhab Hanafiyah, menyamak kulit dapat mensucikan semua kulit hewan, kecuali kulit babi. Dengan demikian, samak itu mensucikan semua kulit hewan, baik yang dagingnya halal dimakan atau tidak, kecuali kulit babi. Artinya, kulit babi, bagaimana pun disamak tetap tidak suci.
Dalil yang mereka gunakan ialah beberapa hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya dari sahabat Ibnu Abbas:
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Jika kulit itu telah disamak, maka ia telah suci”
Hadits ini menegaskan bahwa kulit hewan apapun akan suci apabila telah disamak, tapi mereka kemudian bersepakat mengecualikan kulit babi, karena mereka berpandangan bahwa babi itu najis bukan karena kotoran atau sejenisnya, tapi babi itu najis karena dia babi (ain-nya). Dan ulama syafi'iyyah menyamakan pula kulit anjing dengan kulit babi.
Hal ini berdasarkan firman Allah Swt dalam surat Al-An’am ayat 145:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ......
Jadi memang babi itu ‘Ain-nya sendiri najis. Status kenajisannya paten, bukan karena sesuatu yang menempel pada tubuhnya, melainkan karena memang ia najis. Karena memang itu najis baik hidup atau mati, maka apapun bentuk pensuciannya tidak akan membuat hukumnya berubah, Karena ia najis dzatnya.[1]
Satu hal yang membedakan antara dua madzhab ini bahwa madzhab Syafi’iyyah mengecualikan satu binatang lagi selain babi yang penyamakan kulitnya tidak mensucikan, yaitu anjing.
Sama seperti pengecualian babi, menurut madzhab Syafi’iyyah, anjing itu kedudukannya sama seperti babi yang najis itu ialah najis besar dan ia najis dzatnya. Jadi status kenajisannya bukan karena apa-apa, melainkan karena ia anjing.
Sebagaimana diketahui masyhurnya bahwa dalam madzhab ini, anjing dan babi adalah binatang yang kenajisannya disebut najis besar (Mughalladzoh). [2]
Dalam kitabnya al-Muhadzdzab, Imam Al-Syairozi mengatakan bahwa:
وَأَمَّا الْكَلْبُ وَالْخِنْزِيرُ وَمَا تَوَلَّدَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا فَلا يَطْهُرُ جِلْدُهُمَا بِالدِّبَاغِ لأَنَّ الدِّبَاغَ كَالْحَيَاةِ ثُمَّ الْحَيَاةُ لا تَدْفَعُ النَّجَاسَةَ عَنْ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ فَكَذَلِكَ الدِّبَاغُ
[2] Penyamakan Tidak Mensucikan Kulit Hewan
Ini adalah salah satu pendapatnya madzhab Malikiyah yang masyhur (Imam Malik punya 2 riwayat pendapat), dan juga salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad bin Hanbal [4], bahwa samak itu tidak bisa mensucikan kulit hewan secara mutlak. Apapun hewannya, samak sama sekali tidak bisa membuatnya suci.
Madzhab ini berdalil dengan ayat Quran surat Al-Maidah ayat 3 yang menyatakan secara umum bahwa bangkai itu diharamkan. Dan kulit hewan yang mati itu hukumnya hukum bangkai, ia tidak suci. Karena tidak suci maka tidak bisa digunakan.
Selain ayat, mereka juga berdalil dengan hadits Ibnu ‘Ukaim yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Abu daud dalam Sunan keduanya. Sahabat ‘Ukaim berkata bahwa Rasul saw mengirim surat sekitar sebulan atau dua bulan yang berisi larangan untuk memanfaatkan kulit walaupun sudah disamak:
أَتَانَا كِتَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَنْتَفِعُوا مِنْ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ
Maksud haditsnya jelas bahwa walaupun telah ada informasi yang menunjukkan kulit hewan itu suci setelah disamak, akan tetapi hadits ini datang belakangan dan menghapus hadits-hadits sebelumnya, dengan bukti bahwa ini dikatakan sebelum wafat beliau sekitar sebulan atau 2 bulan.
Adapun hadits-hadits yang membolehkan itu, madzhab ini mengatakan bahwa yang dimaksud suci dalam hadits-hadits itu hanya suci dalam arti bahasa yang bermakna bersih (bukan suci bermakna hukum). Karena itu boleh memanfaatkannya dengan alasan rukhshoh. [6]
Tapi kembali lagi seperti madzhab yang lain bahwa rukhshoh itu juga tidak termasuk kulit babi. Maksudnya, madzhab ini membolehkan kita untuk memanfaatkan kulit hewan yang disamak dengan alasan rukhshoh tapi tidak untuk kulit babi.
Babi tetap pada keharamannya. Karena memang madzhab ini berpendapat bahwa hewan yang haram dagingnya dan tidak bisa disembelih untuk jadi halal, kulitnya juga tidak suci walaupun dengan samak. Dan babi secara Ijma’ bahwa hewan ini tidak halal dimakan dan tidak suci walau disembelih.[7]
[3] Samak Hanya Mensucikan Kulit Hewan Yang Dagingnya Halal Dimakan
Ini adalah salah satu dari 3 pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal yang diriwayatkan oleh para ulama madzhab tersebut. Pendapat pertama telah lewat bahwa sama tidak mensucikan kulit hewan sama sekali. Pendapat kedua ini, yaitu samak hanya mensucikan hewan yang dagingnya halal dimakan.
Dalil madzhab ini ialah hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari sahabat Salamah bin Al-Muhabbiq, mengatakan bahwa:
ذَكَاةُ الأَدِيمِ دِبَاغُهُ
Dalam hadits ini, Nabi saw menyamakan penyamakan dengan penyembelihan, karena hewan menjadi halal dimakan kalau sudah disembelih. Ini mengisyaratkan bahwa penyamakan itu hanya berlaku pada hewan yang boleh disembelih. Dan hewan yang hanya boleh disembelih ialah hewan yang halal dagingnya. Maka sama pun demikian, hanya berlaku pada hewan yang halal dagingnya.
Pendapat ketiga Imam Ahmad ialah: Samak mensucikan kulit hewan yang sewaktu hidupnya ialah hewan yang suci walaupun haram dimakan, seperti keledai.
Dalilnya sama seperti yang digunakan oleh madzhab Syafi’iiyah dan hanafiyah selumnya. Dan kenapa hewan yang najis ketika hidupnya dikecualikan? Beliau beralasan bahwa samak itu hanya mengangkat najis yang terjadi karena sebab matinya hewan tersebut. Adapun yang telah najis sejak hidupnya, maka penyamakan tidak bisa mengangkat status najisnya. [8]
[4] Samak Mensucikan Semua Kulit Hewan Tanpa Kecuali
Ini adalah pendapatnya madzhab Al-Dzohiriyah dan beberapa ulama dari kalangan Malikiyah seperti Syahnun dan juga Abu Yusuf dari kalangan hanafiyah, bahwa samak mensucikan semua kulit hewan termasuk kulit babi.
Dalil yang dipakai oleh madzhab ini sejatinya sama dengan yang digunakan oleh madzhab Syafiiyyah dan Hanafiyah, hanya saja madzb Zohiriyah ini tidak mengecualikan hewan apapun. Karena menurutnya hadits yang ada itu datang dengan redaksi yang umum. Lalu kenapa ada yang dikecualikan?
Termasuk juga berdalil dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dalam shahih-nya dari sahabat Ibnu Abbas, terkait domba yang mati dan menjadi bangkai. Kemudian Rasul saw mengatakan kepada Ibnu Abbas:
هَلا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ ؟ فَقَالُوا : إِنَّهَا مَيْتَةٌ ، فَقَالَ : إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا
Dalam hadits jelas bahwa Nabi membedakan hukum daging dan hukum kulit hewan tersebut. Domba itu memang haram dimakan karena ia bangkai, akan tetapi kulitnya punya hukum berbeda yang bisa menjadi suci jika disamak.
Begitu juga babi, menurut madzhab ini. yang diharamkan dari babi ialah makan dagingnya, sedangkan kulitnya bisa disamak. Terlebih lagi bahwa memang madzhab ini tidak memandang babi sebagai hewan yang najis dzatnya. [9]
Terkait dengan hadits Ibnu ‘Ukaim yang menjadi dalil madzhab Malikiyah, dikatakan bahwa hadits ini tidak layak untuk dijadikan dalil, karena memang sanadnya tidak kuat. Artinya hadits ini ada cacatnya.
Karena dalam riwayat lain dikatakan bahwa hadits ini muncul sebelum wafatnya Nabi setahun, ada yang bilang juga 3 hari sebelum. Initinya tidak ada kesepakatan redaksi dalam hadits ini, itu bukti bahwa hadits ini tidak kuat, karena banyak riwayat yang berbeda.
Dan juga disebutkan oleh beberapa ahli hadits bahwa hadits ini diragukan sampai ke Nabi saw, karena Ibnu ‘Ukaim pun diragukan apakah dia sahabat atau bukan. Terlebih lagi bahwa dalam hadits ini pun Ibnu ‘ukaim tidak langsung mendengar dari Nabi saw, akan tetapi ia hanya diceritakan atau mendapat cerita (hikayah). Ini yang dinamakan dengan hadits mursal.
Dan pendapat ini juga yang banyak diikuti oleh beberapa ulama kontemporer belakangan ini, salah satunya ialah DR. Abdullah Al-Faqih, sebagaimana yang termaktub dalam fatwanya di bank fatwa website islamweb[.]net.
Sepatu dan pakaian lain dari kulit babi
Melihat apa yang sudah dipaparkan diatas, kulit babi yang disamak itu suci menurut satu pendapat dan pendapat lain mengatakan samak tidak bisa mensucikannya:
· Kulit babi Najis: Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali
· Kulit babi Tidak Najis: Madzhab Al-Zohiriyah
Kesimpulannya bahwa mayoritas ulama madzhab fiqih berpendapat bahwa kulit babi tetap najis meskipun telah disamak, kecuali madzhab Al-Zhahiriyah yang berpendapat berbeda. Dalam bukunya Soal-jawab, A. Hassan juga berpendapat serupa dengan mazhab al-zhahiriyyah.
Maka jika mengikuti pendapat jumhur, sepatu atau pakaian kulit babi tidak boleh dipakai karena itu najis. Karena najis itu haram dimakan, maka ia haram juga dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat.
Akan tetapi jika menganut madzhab al-zhahiriyah, maka sah-sah saja memakai sepatu atau jaket yang terbuat dari kulit babi. Wallahu A’lam
Referensi:
[1] Hasyiyah Ibnu Abdin 1/136, Al-Majmu’ 1/214
[2] Al-Majmu’ 1/214
[3] Al-Muhadzdzab 1/27
[4] Bidayah Al-Mujtahid 73, Al-Mughni 1/66
[5] Hadits ini dihasankan oleh Imam Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya. Sheikh Shofiyurrahman Al-Mubarokafury dalam kitabnya Tuhfatul-Ahwadzi yang memang menjadi syarah atas kitab Sunan Al-Tirmidzi, menjelaskan bahwa hadits ini tidak dipakai sebagai dalil oleh jumhur ulama karena memang hadits ini derajatnya Mursal. Diketahui bahwa Ibnu ‘Ukaim tidak pernah mendengar langsung dari Nabi saw, akan tetapi ia hanya diceritakan saja, yang dalam istilah ilmu hadits disebut dengan Hikayah. Bahkan ada beberapa ahli hadits yang meragukan status Ibnu ‘Ukaim sebagai sahabat. (Tuhfatul-Ahwadzi 5/328)
[6] Al-Fawakih Al-Dawani 2/286
[7] Hasyiyah Al-Dusuqi 1/54
[8] Al-Mughi 1/66, Kasysyaful-Qina’ 1/54
[9] Al-Muhalla 7/525
loading...
Kak bagaimana hukumnya dengan kulit tikus?
ReplyDeletekalau sudah disamak dengan baik dan benar, tentu boleh dimanfaatkan
Delete