peta kekuasaan dinasti Abbasiyah |
“Dia fasik, suka meminum khamar, menikahi Ummu Walad ayahnya, dan menodai syariat Allah. Pernah Al-Walid ibn Yazid berangkat haji hanya untuk satu tujuan; meminum khamar di atas Ka’bah.” (Tarikh Al-Khulafaa`: 220-221)
Al-Mawardi dalam Adaabud Dunyaa wad Diin menyatakan, “Suatu hari, dia membuka mushaf secara acak untuk meramal nasib baiknya.” Atas izin Allah, yang terbaca adalah, Dan binasalah semua orang yang berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala. (Q.s. Ibrahim [14]: 15)
Al-Walid merobek-robek mushaf itu dan berteriak, “Apakah Engkau mengancam semua yang sewenang-wenang dan keras kepala, hah?! Inilah aku, aku orangnya! Di hari penghimpunan nanti katakan kepada Rabbmu, ‘Wahai Ilahi, Al-Walid telah merobek-robekku!'”
Beberapa hari kemudian, sepupunya, Yazid ibn Al-Walid ibn Abdul Malik memberontak pada Al-Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik. Kepala Al-Walid dipenggal, dipanggang di atas tombak, lalu disalibkan di pagar istananya. (As-Suyuthi, Tarikh Al Khulafaa`, 222)
Bersamaan dengan kekacauan itu, Abul Abbas As-Saffah telah memulai Gerakan Abbasiyah secara terang-terangan dari kota Kufah di Irak. Yazid ibn Al-Walid berkuasa 6 bulan, digantikan Ibrahim ibn Al-Walid 70 hari. Lalu Bani Umayyah dipimpin Marwan ibn Muhammad. Perang pecah di Zab-Zab, Mosul. Marwan kalah. Dia lari ke Mesir dan dibunuh di Abi Shair oleh Shalih ibn Ali dari Gerakan Abbasiyah. Nah, Abbasiyah akan jadi awal bincangan, meski inti pembicaraan nanti justru tentang Gerakan Intelektual Abu Hanifah dan murid-muridnya.
Di bulan Rabi’uts Tsani 132 H, Abul Abbas As-Saffah berkhuthbah di Kufah setelah deklarasi gerakan dan pembaiatan dirinya. Setelah menyebut berbagai kezaliman Bani Umayyah, dia mengatakan, “Dan sungguh aku berharap kalian tidak akan didatangi kezaliman pada saat kebaikan telah datang kepada kalian, tidak juga oleh kehancuran jika perbaikan telah mengunjungi kalian.”
Lalu berdirilah Dawud ibn Ali, pamannya, yang menyatakan bahwa gerakannya tidak bertujuan menumpuk harta dan kekuasaan, melainkan untuk menumpas kezaliman, membela keluarga sepupu mereka—keluarga Ali ibn Abi Thalib—dan seluruh rakyat yang teraniaya. “Maka dengan ini kami berjanji,” katanya, “demi kesetiaan kami kepada Allah dan Rasul-Nya, demi kehormatan Abbas, untuk memerintah sesuai Kitabullah dan berjalan sesuai teladan Rasulullah.” Riwayat kampanye Bani Abbas ini diabadikan oleh Ath-Thabari dalam Tarikh-nya (6/82-83), Ibnu Al-Atsir dalam Al-Kamil fit Tarikh (4/325), dan Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (10/41).
Karena kedudukannya sebagai ahli bait Nabi, kampanye Abbasiyah begitu cepat dan luas memengaruhi masyarakat. Apalagi disokong kemuakan ummat atas kekuasaan Bani Umayyah yang kian hari makin zalim; Baitul Maal yang tak berfungsi, peradilan yang kacau, dan situasi ekonomi yang timpang. Sungguhpun demikian, tak lama menunggu semua janji itu terbukti hanya kampanye dusta dan penipuan terhadap ummat. Abul A’la Al-Maududi mengulas ini dalam Al Khilafah wal Mulk (227).
Lebih dari 50.000 kaum Muslimin di kota Damaskus terbantai ketika pasukan Abul Abbas menaklukkannya. Masjid Jami’ Umayyah mereka jadikan kandang kuda. Mereka gali kuburan para penguasa Bani Umayyah, mencambuki jasad dan tulang belulang itu di hadapan khalayak, lalu membakarnya dan menaburkan abunya. Mereka juga membunuhi semua anak-anak Bani Umayyah, menggelar permadani di atas jasad-jasad bergeletaran itu, lalu duduk dan makan di atasnya. Di kota Basrah, Makkah, dan Madinah, jasad-jasad keluarga Umayyah digantung pada lidahnya, dan tubuhnya dipereteli untuk makanan anjing di jalanan. Deskripsi ini bisa kita rujuk dalam karya Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah(10/345), Ibnu Al-Atsir dalam Al-Kamil (4/333-334), dan Ibnu Khaldun, At-Tarikh (3/132-133).
Dan, tak sebagaimana janji awal mereka, bahkan terhadap sepupu-sepupu merekapun—keturunan Ali ibn Abi Thalib—penindasan yang mereka lakukan tak berbeda dari Bani Umayyah. Sebagai gambaran, penguasa kedua Abbasiyah, Abu Ja’far Al-Manshur memerintahkan penangkapan Ibrahim ibn Abdullah ibn Hasan ibn Hasan ibn Ali; memenjarakannya, memperjalankannya dengan rantai dari Madinah ke Baghdad, dan menanamnya hidup-hidup di tembok kota. Mertua yang telah menyembunyikannya ditelanjangi, dicambuk 250 kali, dan dipenggal lalu kepalanya dikelilingkan di Khurasan. Kita bisa saksamai lengkap dan panjangnya kisah ini sebagaimana ditulis Ath-Thabari dalam At-Tarikh(6/161, 171-180), Ibn Al-Atsir dalam Al-Kamil (4/370-415), dan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah (10/80-82).
Adapun sepupu Ibrahim, Muhammad ibn Abdillah ibn Hasan ibn Hasan ibn Ali dikenal sebagai An-Nafsuz Zakiyah. Beliau dibunuh di Madinah, dipenggal kepalanya dan dikelilingkan di berbagai kota, jasadnya digantung di jalanan, lalu dilempar ke pekuburan Yahudi di gunung Sila’. Ibnu Katsir mengisahkannya dalam Al-Bidayah (10/90).
Dengan tak ingin memperpanjang kesedihan kita menyaksamai perjalanan sejarah ummat sendiri, izinkan saya sudahi data-data menyesakkan hati ini.
Ya Allah, kami berlindung dari para penjanji yang jauh panggang dari api. Seorang Fakih dari Khurasan, Ibrahim ibn Maimun begitu percaya sehingga mendukung habis-habisan gerakan Abbasiyah ini. Dia menjadi juru kampanye utama bagi panglima besar gerakan, Abu Muslim Al-Khurasani. Ketika gerakan berhasil dan dia menuntut ditegakkannya syariat Allah dan melarang mereka dari tindakan yang melanggar Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, pemerintah Abbasiyah pun membunuhnya. Ibnu Katsir mengabarkan ini pada kita dalam Al-Bidayah (10/68).
Perubahan politik dari Umayyah ke Abbasiyah tidaklah mengubah kecuali nama dinastinya. Ulasan menarik dibawakan oleh Abul A’la Al-Maududi dalam Al-Khilafah wal Mulk (230). Sesungguhnya, kata beliau, perpindahan kekuasaan dari Umayyah ke Abbasiyah hanyalah perpindahan sistem pemerintahan kerajaan dari gaya Romawi-Bizantium ke gaya Imperium Persia.
Kerajaan Umayyah yang beribu kota Damaskus berdiri di bekas wilayah terpenting Romawi dan begitu dekat dengan Konstantinopel. Sedang Abbasiyah memulai kekuasaannya dari Khurasan dan mendirikan ibu kota di Baghdad, di mana ribuan tahun kebudayaan dan peradaban Persia berurat berakar. Nilai-nilai lokal tak pelak telah menshibghah mereka dalam sistem kenegaraan, gaya pemerintahan, dan bahkan gaya hidup mewah dan kezaliman para penguasanya.
Tirani tanpa Hukum
Kerajaan Bani Abbasiyah berdiri semata-mata di atas gerakan politik yang berhasil menebarkan pemikiran dan pengaruh di tengah masyarakat, lalu berdaya merebut kekuasaan. Maka begitu berkuasa; sebuah kekosongan menyeruak; kekosongan hukum dan ketatanegaraan. Mengapa?Dalam praksisnya, sejak awal, gerakan Abbasiyah menegakkan kekuasaannya dengan rasa takut. Jika Bani Umayyah punya Al-Hajjaj ibn Yusuf, Abbasiyah punya Abu Muslim Al-Khurasani. Ketakutan yang timbul atasnya bahkan tak hanya dirasakan rakyat, tapi juga oleh Abu Ja’far Al-Manshur, penguasa kedua, pengganti As-Saffah. Mulanya, Al-Manshur berdekat-dekat dengan Abu Muslim untuk menggunakan kekuatannya menstabilkan kekuasaan baginya. Tak lama, begitu merasa kuat, Al-Manshur mengeksekusi Abu Muslim. Ath-Thabari mencatat hubungan unik mereka dalam At-Tarikh (7/471-472).
Pribadi penguasa Abbasiyah pun, terutama Al-Manshur, disorot karena kengerian manusia terhadapnya. Adz-Dzahabi saat menjelaskan biografi Al-Manshur menyebutnya “Orang yang tak tertahankan kezalimannya jika marah”. Sering keluar ungkapan dari para ulama; “Maka aku melipat bajuku agar tidak terciprat darahnya” saat membersamai rekannya yang berani mengungkapkan kebenaran di hadapan Al-Manshur.
Kata-kata ini misalnya dibatinkan Imam Malik ketika membersamai Ibnu Thawus, sebagaimana dicatat oleh Ibnu Abdi Rabbih Al-Andalusi dalamAl-‘Aqdul Farid (1/54-55). Juga oleh Abu Hanifah ketika membersamai Ibnu Abi Dzi’b, sebagaimana diriwayatkan Al-Kurduri dalam Manaqib Imam Al A’zham (2/15-16).
Karena kejahatannya, maka orang-orang shalih, para ulama yang memahami Sunnah dan keadilan sejak hari pertama sudah menghindarkan diri dari Bani Abbasiyah. Mereka menolak terlibat dalam segala tata kenegaraannya karena mereka tahu bahwa jika mereka bergabung, mereka tak bisa sedikit pun membawa perbaikan di bawah ancaman pedang. Kita bisa melihat itu dalam karya Al-Khathib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad(13/320), juga Al-Makki dalam Al Manaqib (2/170).
Sebagai akibatnya, Imam Abu Hanifah dicambuki hingga berlumuran darah, dipenjarakan, diganggu nafkahnya, diasingkan ke rumah khusus hingga meninggalnya. Beliau wafat wajar menurut suatu riwayat, dan diracun menurut riwayat lain. Lengkapnya bisa kita rujuk Al-Makki dalamAl-Manaqib (2/173-174, 182), Ibnu Khallikan dalam Wafayatul A’yan (5/46), dan Al-Yafi’i dalam Miratul Jinan (310).
Adapun Imam Malik, beliau didera dan ditarik lengannya sedemikian rupa hingga patah. Ath-Thabari mengisahkan ini dalam At-Tarikh (6/190), Ibnu Khallikan dalam Al-Wafayaat (3/285), Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah (10/84), dan Ibnu Khaldun dalam At-Tarikh (3/191). Jika kita kini melihat para pengikut madzhab Maliki tidak bersedekap saat shalat, wallaahu a’alm. Mungkin karena sesudah pematahan tangan itu Imam Malik tak mampu lagi bersedekap dalam shalat, lalu para muridnya mengikuti beliau.
Di tahun 158 H, Al-Manshur memerintahkan Wali Makkah memenjarakan Sufyan Ats-Tsauri dan Ubbad ibn Katsir. Lalu dia pun berangkat berhaji. Orang-orang khawatir bahwa mereka berdua akan dibunuh ketika Al-Manshur hadir di Makkah. Sebab, seringkali Al-Manshur meminta dihadirkan seseorang untuk dibunuh di hadapannya sebagaimana diriwayatkan dari Mubarak ibn Fadhalah. Tetapi atas kehendak Allah, Al-Manshur wafat pada tahun haji itu sehingga kedua ulama besar itu selamat. As-Suyuthi mencatat peristiwa ini dalam At-Tarikh (229-232).Keadaan memprihatinkan ini adalah cermin ketiadaan kedaulatan hukum. Dalam taraf lebih rendah, sebagaimana dicatat Al-Khathib dalamTarikh Baghdad (10/309), juga Thasy Kubra Zadeh dalam Miftah As-Sa’adah (2/119), seorang hakim di masa ini hampir pasti kehilangan jabatan jika tak berpihak pada kepentingan istana.
Hal lain adalah tampilnya orang-orang Persia, Majusi, dan zindik yang mengisi posisi-posisi penting dalam kerajaan Abbasiyah. Seiring dengan menyingkirnya para ulama dari kekuasaan, mereka mengisi kerajaan ‘machstaat’ Abbasiyah dengan ketatanegaraan Persia yang jahiliyah. Mereka banyak menebarkan paham zindik dan gaya hidup Persia yang rusak, melakukan penindasan dengan fitnah-fitnah terhadap para ulama, menyuap para penguasa itu dengan syair pujian, dan menyelewengkan keuangan negara.
Di masa Al-Manshur, orang-orang Persia ini diangkat menjadi mayoritas para panglima dan wali negeri. Imam Al-Mas’udi mencatatnya dalamMurujudz Dzahab (2/515), sementara Al-Maqrizi mencatatnya dalam As-Suluk (1/15). Imam Al-Jahizh bakahkan mencatat dalam Risalah-nya(3/42) bahwa kelompok terbesar dalam pejabat sekretariat negara terdiri atas para zindik 'ajam yang beberapa kali menyusun lembaran negara untuk membangun keraguan tentang tartib dan penulisan Al-Qur`an.
Salah satu keluarga paling menonjol dari mereka adalah keluarga Al-Baramikah, yang beberapa kali sempat memegang posisi Wazir seperti Yahya ibn Khalid Al-Barmaki, Ja’far ibn Yahya Al-Barmaki dan anak-anaknya. Mereka terus merajalela sampai kelak Harun Ar-Rasyid menumpasnya.
Al Qadhi Abu Yusuf, Sang Lentera
Di tengah kegelapan kerajaan ‘machstaat’ Abbasiyah itu adakah orang yang tak mengutuk gelap, namun menyalakan lentera?
Alhamdulillah, namanya Abu Yusuf. Kelak dialah yang akan mengubah kerajaan itu menjadi ‘rechstaat’. Para pengkritik rawi yakni Yahya ibn Ma’in, Ahmad ibn Hanbal, dan Ali ibn Al-Madini menilainya sebagai ‘amat tepercaya’. Ini diebutkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’ (172) dan Ibnu Khallikan dalam Wafayaat (5/422).
Dia adalah murid utama Abu Hanifah. “Dia,” kata Abu Hanifah, “adalah salah satu muridku yang paling banyak menghafal dan memahami ilmu.” Kata-kata ini diabadikan Al-Kurduri dalam Al-Manaqib (2/126). “Sekiranya murid Abu Hanifah hanyalah Abu Yusuf seorang, cukuplah itu menjadi kebanggaannya atas seluruh manusia.” Al-Makki mencatat kekata Imam Dawud ibn Rasyid ini dalam karyanya, Al-Manaqib 2/232.
Madrasah Abu Hanifah
Semua dimulai ketika Abu Hanifah melihat dia harus bertindak untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar dalam kondisi itu. Untuk kita ketahui, Abu Hanifah termasuk ulama yang menganggap tidak sahnya kepemimpinan zalim. Dia pernah menyokong pemberontakan Zaid ibn Ali ibn Husain dan An-Nafsuz Zakiyah, sebagaimana sikap beberapa ulama lain di masa itu.
Namun beliau sadar, ada yang lebih penting dari kekuasaan politik. Yaitu menyiapkan perangkat lunak berupa sistem hukum dan sumber daya manusia yang kelak akan digunakan untuk mengatur urusan kaum Muslimin. Kelak jika saatnya tiba, dalam kepemimpinan imam yang adil. Maka berdirilah madrasah Abu Hanifah yang di saat wafat beliau telah mengkodifikasikan 83.000 persoalan fikih yang disusun menurut judul dan sub judul tertentu menjadi Al-Fiqhul Akbar. Al-Makki menjelaskan hiruk pikuk madrasah ini dalam Al-Manaqib (1/96; 2/132-136).
Ijtihad awal madrasah ini adalah terus istiqamah mencetak kader-kader yang mumpuni dalam fikih, hukum, dan ketatanegaraan sambil tetap mempertahankan independensi dan menjauh dari kekuasaan. Di bidang ekonomi, Abu Hanifah menekankan gerakannya untuk mandiri, dan dia sendiri memiliki jaringan toko sutera dan wol yang beroperasi dari Mesir hingga Hijjaz. Pabrik sutranya di Kufah begitu besar. Al-Yafi’i mencatat ini dalam Miratul Jinan (1/310). Bahkan, begitu kokohnya institusi ekonomi madrasah ini sehingga ketika Abu Hanifah wafat, brankasnya menyimpan amanat modal sebanyak 50 juta dirham sebagaimana dicatat Al-Makki dalam Al Manaqib (1/220).
Gerakan ini terus menyusun manhaj, menelaah, mematangkan diri, dan menyiapkan kader-kadernya dengan kemampuan dan kemandirian di berbagai bidang. Hingga satu saat, ketika Abu Hanifah telah wafat dan madrasah dipimpin Abu Yusuf, murid cemerlang ini melihat sebuah celah sejarah untuk menampilkan gerakannya dan mulai mengubah kondisi ummat dengan masuk ke dalam kekuasaan. Celah harapan itu ada pada perubahan politik yang terjadi kemudian, dan terutama pada sosok penguasa kelima kerajaan Abbasiyah; Harun Ar-Rasyid.
Kontrak Politik dengan Harun Ar-Rasyid
Salah satu perubahan politik terpenting yang dilakukan Ar-Rasyid adalah digusur dan dibinasakannya keluarga Al-Baramikah yang pernah kita sebut di awal. Jelas hal ini membuat para ulama, orang-orang shalih, dan masyarakat umum merasa lega dan terbit harapan besar di hati mereka. Sebaliknya, para zindik sedikit demi sedikit mulai menahan kelancangan terhadap syariat yang selama ini mereka pertontonkan dengan bangga ketika menggenggam pemerintahan. Hal lain yang makin menguatkan Abu Yusuf untuk berijtihad masuk ke dalam kekuasaan adalah pribadi Ar-Rasyid. Ia tumbuh dalam bimbingan seorang ulama, Mubarak ibn Fadhalah. Imam As-Suyuthi dalam At-Tarikh (249-250) menggambarkan karakter Ar-Rasyid, “Dia mencintai ilmu dan mengagungkan syiar Islam. Shalatnya sunnahnya 100 rakaat sehari, tak ditinggalkan kecuali saat sakit. Sedekah hariannya 1.000 dirham dari penghasilan pribadi. Dia senantiasa menangis saat bermuhasabah. Suka meminta nasihat ulama dan tertunduk tersedu jika dinasihati. Sangat menyukai pujian dan membalasnya dengan harta berlimpah. Dan suka bersyair.” Abul Faraj Al-Ishfahani dalam Al-Aghani (3/178) mensifatinya, “Ar-Rasyid adalah orang yang paling banyak menangis jika mendengar nasihat, namun juga yang paling bengis ketika memuncak amarahnya. Tentara yang berwatak keras, raja yang bermewah-mewah, sekaligus hamba Allah yang teguh dan takut kepada-Nya.”
Maka ijtihad Abu Yusuf berbeda dari gurunya disebabkan perbadaan kondisi. Dia menerima dan menduduki jabatan Qadhi Al-Qudhat, hakim agung di masa Harun Ar-Rasyid dengan mengajukan tiga syarat: adanya kemerdekaan penuh kekuasaan kehakiman yang tidak bisa diintervensi eksekutif; adanya wewenang penuh bagi dirinya sebagai hakim agung untuk mengangkat dan memberhentikan hakim di seluruh wilayah; kewenangan bagi dirinya untuk menyusun sebuah tata perundangan baru yang akan menjadi pijakan pelaksanaan syariat Allah dalam kerajaan ‘Abbasiyah.
Ketiga syarat dari jabatan yang belum pernah ada sebelumnya ini diterima oleh Harun Ar-Rasyid. Al-Makki menuliskannya dalam Al-Manaqib(2/311), juga Ibnu Khallikan dalam Wafayaat (5/421).
Syarat yang pertama (pemisahan kekuasaan eksekutif-yudikatif); didasarkan pada pandangannya atas berbagai riwayat yang sampai kepadanya tentang praksis di masa Khulafaur Rasyidin. Misalnya bahwa Umar sebagi Qadhi di masa Abu Bakr pernah membatalkan pemberian ta’lif berdasar keputusan Khalifah kepada Al-Aqra’ ibn Habis dan Uyainah ibn Hishn. Juga Ali ibn Abi Thalib pun pernah diadili dan kalah dari seorang Nasrani di hadapan Qadhi Syuraih. Ini bisa kita lihat dalam karya Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq (12/377).
Syarat yang kedua membuat Abu Yusuf bisa membawa serta 50 murid terbaik Abu Hanifah yang lain untuk mengisi jabatan kehakiman di berbagai wilayah. Dan syarat ketiga membuatnya bekerja keras menyusun kitab Al-Kharaaj. Alhamdulillah.
Al-Kharaaj, Dasar Hukum Kerajaan Abbasiyah
Kitab al-Kharaj karangan Abu Yusuf |
Konsep pemerintahan.
Di sini beliau menekankan tanggung jawab penguasa kepada Allah dengan berbagai dalil dan riwayat serta contoh-contoh dari para Khulafaaur Rasyidin.
Jiwa demokrasi. Bahwa seorang penguasa tak hanya bertanggung jawab kepada Allah, melainkan juga kepada segenap orang yang dipimpinnya. Beliau menyampaikan pentingnya kritik dari ummat kepada seorang penguasa dan bahwa kaum Muslimin berhak menuntut dan meminta tanggung jawab atas hak mereka yang ditetapkan oleh syariat.
Kewajiban-kewajiban penguasa.
Beliau menjelaskannya dengan detail dan terperinci, sedangkan sebelumnya tidak ada job descriptionsemacam ini.
Kewajiban-kewajiban warga Muslim.
Baitul Maal.
Beliau menegaskan bahwa Baitul Maal bukanlah milik penguasa; ia adalah amanah dari Allah sekaligus amanah dari masyarakat. Beliau menegaskan larangan penggunaan harta Baitul Maal untuk kepentingan pribadi. Padahal selama ini hal itu dilakukan oleh para penguasa, baik Umayyah maupun Abbasiyah.
Prinsip-prinsip penetapan pajak dan distribusi kemakmuran.
Hak-hak Ahlu Dzimmah.
Penjelasan lebih mendetail tentang tanah dan pajak.
Penghapusan kezaliman.
Independensi peradilan.
Perlindungan kebebasan pribadi dan peninjauan kembali berbagai kasus lampau.
Perbaikan kondisi berbagai penjara dan penegasan hak-hak bagi tertuduh dan terpidana.
Kesimpulan
Setelah belajar dari Raja’ ibn Haiwah untuk menghadirkan kepemimpinan yang adil di tengah kondisi yang sulit dan sistem kerajaan yang rusak, kita belajar pada Abu Yusuf untuk menghadirkan perubahan ketika kondisi memungkinkan. Alhamdulillah.
Perubahan yang dibawa Abu Yusuf mungkin belum sempurna. Ya, karena sistem kerajaan masih tetap dengan kekuasaan yang turun-temurun dan diperebutkan internal wangsa Abbasiyah. Tetapi kita lagi-lagi belajar, bahkan dalam sistem yang tak kita sukai, entah itu monarki ataupun demokrasi, tetap ada kebaikan yang bisa dihadirkan.
Di masa Orde Baru, para muassis dakwah ini mungkin berijtihad sama dengan Abu Hanifah; menjauhkan diri dari kekuasaan dan membanguntanzhim dakwahnya. Tetapi kini, reformasi telah mengubah banyak hal dalam kehidupan politik kita sebagaimana perubahan politik dan wajah kekuasaan yang dihadirkan Harun Ar-Rasyid. Perubahan itu telah menggerakkan Abu Yusuf untuk berijtihad—seolah—menyelisihi gurunya, namun sebenarnya tidak. Dia hanya menimbang hal paling bermanfaat yang bisa dilakukan. Dan dia telah membawa kader-kader Abu Hanifah untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan mengubah kerajaan ‘machstaat’ Abbasiyah, menjadi lebih berdasar hukum dan lebih dekat pada syariat Allah.
[Dari tulisan Salim A Fillah]
*Artikel ini diambil dari kumpulan twitter @salimafillah yang telah dibukukan dengan judul Menyimak Kicau Merajut Makna
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih