Dalam sebuah legenda Cina diceritakan, di sebuah kampung yang jauh, hiduplah seorang wanita dengan suami dan putranya yang sangat ia cintai. Mereka hidup bahagia dan hari-hari mereka jalani penuh kegembiraan.
Hingga pada suatu hari, sang anak jatuh sakit yang teramat parah, hingga akhirnya nyawanya tak tertolong. Sang anak akhirnya meninggal dunia di pangkuannya.
Sang ibu amat sedih, berhari-hari ia mengurung diri di rumah menangis meratapi kepergian puteranya tercinta. Sang suami tak kuasa lagi menasihatinya untuk melupakan segala kesedihan, tapi ia tak ia indahkan.
Karena tak kuasa menghilangkan duka dan kesedihan, ia pun berfikir bahwa anaknya itu pasti belum mati, pasti ia hanya tertidur sakit dan sebentar lagi akan sembuh.
Akhirnya ia pun pergi menemui seorang tabib yang bijaksana di kampung sebelah. Begitu sampai di rumah tabib tersebut, ia mengadukan halnya dan bercerita tentang anaknya.
Sang tabib memandang raut muka wanita tersebut, ia faham betapa sedihnya sang ibu ini sehingga nyaris kehilangan akal sehatnya. Tapi ia pun menyadari bahwa puteranya itu telah tiada dan tidak mungkin hidup kembali.
"Tuan tabib, putera saya pasti belum mati bukan...?". Tanya wanita itu.
"Hmmm... ". Ujar sang tabib mendesah dalam.
"Apa kira-kira obat yang bisa menyembuhkan putera saya...?". sambungnya.
"Begini saja, obatnya sangat mudah didapat... coba engkau cari sekantung biji sawi dari rumah yang tidak mengenal kesedihan... kalau sudah dapat, engkau bawa kesini untuk kuramu buat obat puteramu...". Ujar tabib tersebut.
Mendengar hal tersebut, sang wanita sangat gembira dan bersemangat. Ia pun meninggalkan kediaman tabib dengan hati penuh harapan.
Keesokan harinya, ia mulai mengitari rumah di perkampungan itu satu persatu untuk mencari biji sawi. Rumah pertama yang ia singgahi adalah rumah di dekat jembatan milik seorang wanita muda yang cantik. Ia berfikir, pasti di rumah ini tidak ada kesedihan. Ia pun mengetuk pintu rumah tersebut, lalu muncullah sang pemilik rumah dengan senyumnya yang menawan.
Setelah dipersilahkan masuk, sang wanita itu langsung bertanya.
"Apakah di rumahmu ini tidak pernah ada kesedihan?".
Wanita muda yang cantik itu menunduk, lalu satu persatu meneteslah air matanya, lalu ia berkata:
"Adakah rumah yang selalu dihinggapi kedukaan melebihi rumah kami ini? Suamiku telah pergi 3 tahun yang lalu dan meninggalkan 3 orang anak yang masih kecil, dan sampai sekarang ia belum pernah pulang, dan aku tidak tahu apakah ia masih hidup atau telah mati. Sejak kepergiannya, kami menyambung hidup dari menjual perabotan rumah tangga, setelah semua habis, sekarang aku bekerja membatu di rumah orang lain, sedangkan anak-anakku menjadi buruh di kebun orang... Aku tidak mau bercerita kepada siapa pun... hanya saja aku tak tega melihat mereka bekerja sampai demam....".
"Sudahlah...". Ujar wanita itu tak kuat mendengar cerita wanita muda.
Akhirnya, mereka berdua saling bercerita tentang kesedihan masing-masing hingga keduanya akrab. Sejak hari itu ia sering mengunjungi wanita malang itu dan membawakan makanan untuknya dan anak-anaknya.
Pada lain waktu, ia mencoba mencari rumah lain yang tidak ada kesedihan di dalamnya. Ia pun singgah ke sebuah rumah yang megah. Setelah bertamu, ternyata di rumah itu terdapat janda yang menangisi kepergian suaminya yang tenggelam di lautan bersama putra-putranya. Karena hatinya yang baik, ia pun membantu wanita tersebut.
Demikianlah hingga setiap rumah yang ada di kampung tersebut ia singgahi hari demi hari, dan ternyata tidak ada satu rumah pun yang tidak menyimpan kesedihan.
Hingga akhirnya ia berkawan baik dengan semua orang yang ada di kampung tersebut. Dan tanpa ia sadari, ia merasakan kebahagiaan tak terkira ketika bisa membantu mereka menghilangkan kesedihan. Ia pun lupa pada tujuannya semula, yaitu mencari sekantung biji sawi di rumah mereka.
Hingga akhirnya ia mengerti, bahwa kebahagiaan itu adalah ketika ia bisa memberikan kebahagiaan kepada orang lain.
Hingga pada suatu hari, sang anak jatuh sakit yang teramat parah, hingga akhirnya nyawanya tak tertolong. Sang anak akhirnya meninggal dunia di pangkuannya.
Sang ibu amat sedih, berhari-hari ia mengurung diri di rumah menangis meratapi kepergian puteranya tercinta. Sang suami tak kuasa lagi menasihatinya untuk melupakan segala kesedihan, tapi ia tak ia indahkan.
Karena tak kuasa menghilangkan duka dan kesedihan, ia pun berfikir bahwa anaknya itu pasti belum mati, pasti ia hanya tertidur sakit dan sebentar lagi akan sembuh.
Akhirnya ia pun pergi menemui seorang tabib yang bijaksana di kampung sebelah. Begitu sampai di rumah tabib tersebut, ia mengadukan halnya dan bercerita tentang anaknya.
Sang tabib memandang raut muka wanita tersebut, ia faham betapa sedihnya sang ibu ini sehingga nyaris kehilangan akal sehatnya. Tapi ia pun menyadari bahwa puteranya itu telah tiada dan tidak mungkin hidup kembali.
"Tuan tabib, putera saya pasti belum mati bukan...?". Tanya wanita itu.
"Hmmm... ". Ujar sang tabib mendesah dalam.
"Apa kira-kira obat yang bisa menyembuhkan putera saya...?". sambungnya.
"Begini saja, obatnya sangat mudah didapat... coba engkau cari sekantung biji sawi dari rumah yang tidak mengenal kesedihan... kalau sudah dapat, engkau bawa kesini untuk kuramu buat obat puteramu...". Ujar tabib tersebut.
Mendengar hal tersebut, sang wanita sangat gembira dan bersemangat. Ia pun meninggalkan kediaman tabib dengan hati penuh harapan.
Keesokan harinya, ia mulai mengitari rumah di perkampungan itu satu persatu untuk mencari biji sawi. Rumah pertama yang ia singgahi adalah rumah di dekat jembatan milik seorang wanita muda yang cantik. Ia berfikir, pasti di rumah ini tidak ada kesedihan. Ia pun mengetuk pintu rumah tersebut, lalu muncullah sang pemilik rumah dengan senyumnya yang menawan.
Setelah dipersilahkan masuk, sang wanita itu langsung bertanya.
"Apakah di rumahmu ini tidak pernah ada kesedihan?".
Wanita muda yang cantik itu menunduk, lalu satu persatu meneteslah air matanya, lalu ia berkata:
"Adakah rumah yang selalu dihinggapi kedukaan melebihi rumah kami ini? Suamiku telah pergi 3 tahun yang lalu dan meninggalkan 3 orang anak yang masih kecil, dan sampai sekarang ia belum pernah pulang, dan aku tidak tahu apakah ia masih hidup atau telah mati. Sejak kepergiannya, kami menyambung hidup dari menjual perabotan rumah tangga, setelah semua habis, sekarang aku bekerja membatu di rumah orang lain, sedangkan anak-anakku menjadi buruh di kebun orang... Aku tidak mau bercerita kepada siapa pun... hanya saja aku tak tega melihat mereka bekerja sampai demam....".
"Sudahlah...". Ujar wanita itu tak kuat mendengar cerita wanita muda.
Akhirnya, mereka berdua saling bercerita tentang kesedihan masing-masing hingga keduanya akrab. Sejak hari itu ia sering mengunjungi wanita malang itu dan membawakan makanan untuknya dan anak-anaknya.
Pada lain waktu, ia mencoba mencari rumah lain yang tidak ada kesedihan di dalamnya. Ia pun singgah ke sebuah rumah yang megah. Setelah bertamu, ternyata di rumah itu terdapat janda yang menangisi kepergian suaminya yang tenggelam di lautan bersama putra-putranya. Karena hatinya yang baik, ia pun membantu wanita tersebut.
Demikianlah hingga setiap rumah yang ada di kampung tersebut ia singgahi hari demi hari, dan ternyata tidak ada satu rumah pun yang tidak menyimpan kesedihan.
Hingga akhirnya ia berkawan baik dengan semua orang yang ada di kampung tersebut. Dan tanpa ia sadari, ia merasakan kebahagiaan tak terkira ketika bisa membantu mereka menghilangkan kesedihan. Ia pun lupa pada tujuannya semula, yaitu mencari sekantung biji sawi di rumah mereka.
Hingga akhirnya ia mengerti, bahwa kebahagiaan itu adalah ketika ia bisa memberikan kebahagiaan kepada orang lain.
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih