Sebagai sebuah sistem, demokrasi sangat mungkin ada kebaikan di dalamnya. Namun karena yang mengusung sistem ini konon adalah negara-negara Barat, dan para penggagasanya berawal para penyembah pagan zaman dulu, seperti Plato dan Socrates, maka sebagian umat Islam memusuhi demokrasi mati-matian dan habis-habisan.
Apalagi Amerika dan para Negara-negara Eropa kerap melakukan standar ganda demokrasi. Lengkap sudah Demokrasi yang memang sudah dibenci umat Islam kian dicaci maki, sehingga ketika ada sebagian umat Islam yang mencoba memainkan 'senjata' bikinan kaum kuffar yang terbenci itu harus mendapat getah pahit yakni gelar munafik bahkan kafir yang juga harus dimusuhi.
Dengan begitu, dapat difahami mengapa kebencian sebagian umat Islam pada umumnya pada sistem demokrasi menjadi gebyah uyah, seakan tak ada satu hikmah kebaikan padanya.
Namun untuk sekedar besikap obyektiff, kita harus menyadari bahwa sisi negatif dalam setiap fase sistem dan kekuasaan selalu ada. Bahkan dalam sejarah perjalanan tarikh Islam, kita disuguhkan fakta-fakta seperti di bawah ini:
1. Ketika Abu Bakar memimpin khilafah Islamiyah, justru saat itu bertebaran para penentangnya yang menolak pembayaran zakat dan memunculkan isyu Nabi baru
2. Ketika Umar sebagai khalifah justru ada pengkhianat yang membunuh beliau
3. Saat Utsman bin Affan sebagai khalifah, tuduhan korupsi, nepotisme dan ketidak tegasan melanda dalam struktur pemerintahannnya
4. Ketika Ali bin Abi Thalib memipin khilafah justru terjadi perang saudara yang cukup luas bahkan melibatkan 'aisyah ra dalam perang shiffin
5. Pun juga zaman Mu'awiyyah dan selanjutnya.
Kita tentu saja tidak sedang mengajak publik untuk menyejajarkan demokrasi dengan khilafah. Tapi kita ingin mengajak umat Islam kembali seperti tabiatnya semula yakni positif thinking dan obyektif. Sehingga dalam menilai sesuatu pun juga tidak gampang genaralisir, hingga bukti-bukti fundamental terpenuhi. Apakah dengan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh ‘berbagai oknum’ pengkhianat sejarah dalam Islam, lantas kita memusuhi sistem pemerintahan Islam secara total? Justru sebaliknya, kita tetap meyakini solusi bagi umat Islam adalah kekhalifahan.
Namun saat ini, umat Islam dihadapkan dengan pilihan pahit yakni demokrasi. Harusnya Umat Islam jujur menelisik kelemahan internalnya. Dimana yang membuat lemah umat ini sebenarnya bukan di demokrasinya, namun ukhuwah Islamiyyahnya. Sehingga konstruksi perjuangannya tidak terintegrasi satu sama lain. Bahwa demokrasi adalah fitnah, itu tak dapat dipungkiri. Namun mencaci maki dan meninggalkannya tanpa solusi pengendalian adalah konyol. Demokrasi adalah sebuah tantangan yang harus dijawab oleh umat Islam. Bukan malah sebaliknya lari dari gelanggang pertarungan. Umat Islam adalah umat yang sangat kreatif dalam menghadapi hambatan. Mereka memiliki kekuatan kesabaran sekaligus kemampuan menghadapi dan menyelesaikan hambatan itu dengan cara yang jitu dan solutif.
Tapi saat ini, rupanya umat Islam sedang dihinggapi penyakit kronis ‘FRUSTASI’. Dampaknya jelas, kemarahan hingga anarkisme, saling menyalahkan dan bermusuhan, serta putus asa merupakan beberapa indikasi gejala orang yang terkena penyakit frustasi. Harusnya momentum dihajarnya umat Islam dengan isyu terorisme, demokrasi, korupsi dsb itu membangunkan kesadaran akan pentingnya membangun kembali ukhuwah Islamiyah dan mengikis habis berbagai kecurigaan dan hasad sesama saudara. Namun, fakta berkehendak lain.
Saat ini, Umat Islam mirip sekali dengan manusia-manusia yang sedang Frustasi dan tidak tahu apa yang harus mereka perbuat untuk mengatasi keadaan. Jika ini berlanjut, maka cepat atau lambat, umat Islam akan menjadi umat yang sudah sengsara di dunia dan akhirat. Akankah umat Islam akan seperti itu?
Sumber: Catatan Adi W. di Facebook
Apalagi Amerika dan para Negara-negara Eropa kerap melakukan standar ganda demokrasi. Lengkap sudah Demokrasi yang memang sudah dibenci umat Islam kian dicaci maki, sehingga ketika ada sebagian umat Islam yang mencoba memainkan 'senjata' bikinan kaum kuffar yang terbenci itu harus mendapat getah pahit yakni gelar munafik bahkan kafir yang juga harus dimusuhi.
Dengan begitu, dapat difahami mengapa kebencian sebagian umat Islam pada umumnya pada sistem demokrasi menjadi gebyah uyah, seakan tak ada satu hikmah kebaikan padanya.
Namun untuk sekedar besikap obyektiff, kita harus menyadari bahwa sisi negatif dalam setiap fase sistem dan kekuasaan selalu ada. Bahkan dalam sejarah perjalanan tarikh Islam, kita disuguhkan fakta-fakta seperti di bawah ini:
1. Ketika Abu Bakar memimpin khilafah Islamiyah, justru saat itu bertebaran para penentangnya yang menolak pembayaran zakat dan memunculkan isyu Nabi baru
2. Ketika Umar sebagai khalifah justru ada pengkhianat yang membunuh beliau
3. Saat Utsman bin Affan sebagai khalifah, tuduhan korupsi, nepotisme dan ketidak tegasan melanda dalam struktur pemerintahannnya
4. Ketika Ali bin Abi Thalib memipin khilafah justru terjadi perang saudara yang cukup luas bahkan melibatkan 'aisyah ra dalam perang shiffin
5. Pun juga zaman Mu'awiyyah dan selanjutnya.
Kita tentu saja tidak sedang mengajak publik untuk menyejajarkan demokrasi dengan khilafah. Tapi kita ingin mengajak umat Islam kembali seperti tabiatnya semula yakni positif thinking dan obyektif. Sehingga dalam menilai sesuatu pun juga tidak gampang genaralisir, hingga bukti-bukti fundamental terpenuhi. Apakah dengan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh ‘berbagai oknum’ pengkhianat sejarah dalam Islam, lantas kita memusuhi sistem pemerintahan Islam secara total? Justru sebaliknya, kita tetap meyakini solusi bagi umat Islam adalah kekhalifahan.
Namun saat ini, umat Islam dihadapkan dengan pilihan pahit yakni demokrasi. Harusnya Umat Islam jujur menelisik kelemahan internalnya. Dimana yang membuat lemah umat ini sebenarnya bukan di demokrasinya, namun ukhuwah Islamiyyahnya. Sehingga konstruksi perjuangannya tidak terintegrasi satu sama lain. Bahwa demokrasi adalah fitnah, itu tak dapat dipungkiri. Namun mencaci maki dan meninggalkannya tanpa solusi pengendalian adalah konyol. Demokrasi adalah sebuah tantangan yang harus dijawab oleh umat Islam. Bukan malah sebaliknya lari dari gelanggang pertarungan. Umat Islam adalah umat yang sangat kreatif dalam menghadapi hambatan. Mereka memiliki kekuatan kesabaran sekaligus kemampuan menghadapi dan menyelesaikan hambatan itu dengan cara yang jitu dan solutif.
Tapi saat ini, rupanya umat Islam sedang dihinggapi penyakit kronis ‘FRUSTASI’. Dampaknya jelas, kemarahan hingga anarkisme, saling menyalahkan dan bermusuhan, serta putus asa merupakan beberapa indikasi gejala orang yang terkena penyakit frustasi. Harusnya momentum dihajarnya umat Islam dengan isyu terorisme, demokrasi, korupsi dsb itu membangunkan kesadaran akan pentingnya membangun kembali ukhuwah Islamiyah dan mengikis habis berbagai kecurigaan dan hasad sesama saudara. Namun, fakta berkehendak lain.
Saat ini, Umat Islam mirip sekali dengan manusia-manusia yang sedang Frustasi dan tidak tahu apa yang harus mereka perbuat untuk mengatasi keadaan. Jika ini berlanjut, maka cepat atau lambat, umat Islam akan menjadi umat yang sudah sengsara di dunia dan akhirat. Akankah umat Islam akan seperti itu?
Sumber: Catatan Adi W. di Facebook
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih