Sebelumnya, perlu diketahui, PK yang dimaksudkan di sini adalah PK dalam perkara pidana, jadi bukan PK dalam perkara perdata. Kebetulan, beberapa waktu terakhir masalah PK pidana ini memang sedang mengemuka di Belanda, setelah sebelumnya terdapat beberapa perkara pidana yang belakangan hari dibuka kembali, karena ditemukannya bukti atau kesaksian baru yang membuat putusan sebelumnya terbantahkan, seperti kasus pembunuhan Putten, Schiedam, atau Deventer.
Kasus yang pertama terkait dengan penjatuhan hukuman yang salah. Kedua terpidana yang mulai menjalani hukuman pada tahun 1995, akhirnya dibebaskan pada tahun 2002 dengan pemberian kompensasi hampir 2 juta euro. Pelaku sebenarnya akhirnya ditangkap pada tahun 2008 berdasarkan hasil penelitian DNA. Kasus kedua yang dimulai tahun 2000, berhubungan dengan pengakuan terpidana yang ternyata didapatkan melalui cara yang keliru, serta penelitian DNA yang menunjukkan bahwa pelakunya orang lain. Sebelum hukumannya ditangguhkan, terpidana telah menjalani hukuman tak kurang dari empat tahun. Pada tahun 2005, Pengadilan Tingkat Banding Den Haag menghukum pelaku sebenarnya. Sedang dalam kasus terakhir, juga berhubungan dengan masalah kebenaran pembuktian siapa pelakunya. Dalam kasus pembunuhan yang terjadi pada tahun 1999 ini, hasil penelitian DNA yang digunakan sebagai dasar penjatuhan hukuman, masih terus dipermasalahkan oleh advokat terpidana, meskipun perkara tersebut telah melalui beberapa persidangan di berbagai tingkatan, serta beberapa permohonan PK yang diajukan.
Berkembangnya teknologi, misalnya terkait penelitian DNA, memang membuat proses pembuktian dapat dilakukan lebih terperinci dan jauh lebih dapat diandalkan. Dengan demikian, dalam beberapa kasus, perubahan hasil temuan pemeriksaan dapat digunakan untuk membantah hasil penyidikan sebelumnya yang telah dijadikan dasar pembuktian untuk menghukum (atau membebaskan) terdakwa. Hal ini mendorong adanya perubahan dalam hukum acara pidana, yaitu bagaimana mengantisipasi berkembangnya teknik pembuktian yang membuka ruang menguji kembali kebenaran bangunan fakta yang tadinya telah digunakan untuk menghukum (atau membebaskan) terdakwa.
Selain mengubah pengaturan PK untuk kepentingan terpidana, saat ini sedang diajukan pula suatu rancangan ketentuan lain yang juga ditujukan untuk mengubah pengaturan PK pidana, yaitu PK yang ditujukan untuk memeriksa kembali terdakwa yang tadinya telah dibebaskan. Masalah PK untuk menghukum ini mengundang kontroversi yang cukup sengit, terutama dari kalangan pengacara yang mendasari keberatannya dengan asas “lites finiri oportet”, yaitu bahwa setiap perkara hukum itu harus ada akhirnya. Di samping itu, terdapat juga tuntutan bahwa diberikannya kepercayaan dan kewenangan kepada penyidik dalam prosese pidana, mengandung konsekuensi bahwa penyidik seharusnya sedari awal memastikan suatu dakwaan dilandasi dengan dasar-dasar pembuktian yang kuat. Kegagalan pembuktian, menurut pihak yang keberatan dengan ketentuan baru tersebut, tidak sepatutnya ditimpakan kepada terdakwa yang akan terus terganggu kehidupan pribadinya. Sementara di sisi lain, terdapat juga dorongan mengatur PK untuk menghukum. Alasannya, karena selain berkembangnya teknik pembuktian (misalnya pemeriksaan DNA) yang belakangan hari ternyata dapat membuktikan kesalahan pelaku, juga tidak tertutup kemungkinan adanya kondisi di mana terdakwa merusak proses penemuan kebenaran itu sendiri, misalnya dengan mengancam saksi-saksi di bawah sumpah, dan sebagainya.
Kemungkinan besar, ketentuan PK untuk menghukum ini nantinya tetap akan diundangkan di Belanda, dengan disertai beberapa persyaratan untuk pengajuannya. Prasyarat-prasyarat tersebut, selain tentu adanya “novum” (fakta/bukti baru) atau “falsa” (kesalahan yang nyata dalam pembuktian yang kalau kesalahan itu sebelumnya diketahui, hakim kemungkinan besar akan mengubah isi putusannya), pada prinsipnya PK juga hanya boleh diajukan terhadap tindak-tindak pidana berat yang tuntutannya tidak kedaluwarsa. Bagaimanapun, saat ini sedang terjadi proses pembahasan akhir ketentuan tersebut pada parlemen tinggi dan mungkin baru pada tanggal 9 april nanti akan ditetapkan.
Kembali ke masalah PK untuk kepentingan terpidana. Bagaimana pengaturannya dalam undang-undang yang baru ditetapkan pada tanggal 1 Oktober 2012 kemarin itu?
Pada prinsipnya terdapat dua pokok perubahan dalam undang-undang mengenai PK yang menguntungkan (untuk kepentingan terdakwa) yang berlaku mulai tanggal 1 oktober 2012 yang lalu.
Pertama, terkait dengan pengertian “novum” yang diperluas. Dalam undang-undang yang baru, “novum” bukan hanya berarti sebuah kondisi faktual baru, tetapi juga perspektif-perspektif baru yang didapatkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya hasil temuan baru yang didapatkan dengan penggunaan teknik forensik terbaru. Dengan demikian, pengertian fakta baru bukan lagi harus dipahami sebagai adanya sebuah fakta (baru) lain, tetapi bisa juga cara baru untuk memeriksa fakta tersebut. Misalnya, ditemukannya bercak darah bisa saja sudah terjadi sebelumnya, tetapi melalui pemeriksaan DNA yang baru dikenal, ternyata ditemukan hasil pemeriksaan yang baru.
Kedua, terkait dengan kebutuhan pemeriksaan, sebelum PK diajukan. Untuk delik-delik pidana yang sangat berat, saat ini terbuka kemungkinan mengajukan permohonan kepada “Procureur-Generaal” (PG) untuk mengadakan pemeriksaan lebih lanjut terhadap fakta-fakta tertentu, sebagai pendahuluan permohonan PK, jadi hanya dalam rangka menemukan bukti-buktinya saja. Hal ini dimungkinkan, karena pada prinsipnya beban pengajuan pembuktian ada pada terpidana. Padahal, untuk pemeriksaan laboratorium lebih lanjut, dapat saja dibutuhkan pemeriksaan yang otoritatif, misalnya penelitian DNA – yang dulu belum diatur secara merinci. Terkait hal ini, dalam peraturan yang baru dibuka kemungkinan untuk mengajukan permohonan pemeriksaan/pengumpulan bukti kepada PG pada Hoge Raad, sebelum permohonan PK diajukan (Pasal 461).
Untuk dilakukannya pemeriksaan seperti tersebut di atas, permohonan diharuskan menyangkut pidana penjara 12 tahun atau lebih yang (kalau tidak dibuka kembali) mengancam ketertiban hukum. Selain itu, juga harus terdapat cukup petunjuk yang meyakinkan bahwa dasar pengajuan PK dan pemeriksaan (pendahuluan) yang dimohonkan itu benar-benar diperlukan. Dalam memutuskan permohonan terkait, PG dapat meminta pendapat sebuah tim penasehat (Pasal 462) yang terdiri dua peneliti, seorang ahli kepolisian, seorang advokat, dan seorang jaksa. Jika permohonan dikabulkan, akan ditunjuk tim pemeriksa di bawah koordinasi PG (Pasal 463) yang terdiri dari personil polisi dan kejaksaan (dengan syarat mereka sebelumnya tidak terlibat dengan penanganan kasus itu), serta ahli-ahli dari pihak luar jika memang dibutuhkan.
Lalu apa yang dapat mendasari diajukannya PK?
Menurut undang-undang, permohonan PK demi kepentingan terpidana dapat diajukan oleh PG atau terpidana atas dasar:
(1) adanya putusan-putusan (Berkekuatan Hukum Tetap) yang isinya saling bertentangan,
(2) adanya putusan Mahkamah HAM Eropa yang menetapkan adanya pelanggaran prosedur dan PK dibutuhkan untuk pemulihan hukum, atau
(3) jika terdapat “novum” (Pasal 457).
Yang dimaksud dengan “novum” adalah suatu fakta yang dalam proses persidangan sebelumnya tidak diketahui, atau dari bukti-bukti yang telah diajukan namun ternyata belum diketahui, sehingga terdapat dugaan kuat bahwa apabila sebelumnya fakta itu telah diketahui dan diperiksa oleh hakim dalam perkaranya, maka dapat berakibat bebasnya terdakwa, atau terlepasnya terdakwa dari segala tuntutan hukum, tidak dapat diterimanya dakwaan jaksa, atau penjatuhan hukuman yang lebih ringan. Jika terdakwa telah meninggal, permohonan PK dapat diajukan oleh PG, pasangannya, anggota keluarga sedarah, serta anggota keluarga sampai derajat kedua (Pasal 458).
Itu tadi gambaran mengenai pengaturan PK untuk kepentingan terpidana di Belanda, meliputi syarat-syarat yang diperlukan, serta prosedur pengajuannya. Untuk pertanyaan apakah PK hanya diperbolehkan sekali atau berulangkali, tentu akan dikembalikan kepada syarat PK di atas, yaitu adanya putusan-putusan BKHT yang saling bertentangan, adanya putusan Mahkamah HAM Eropa yang membuat PK itu perlu dilakukan, atau ditemukannya “novum”. Dalam prakteknya, permohonan PK dapat diajukan berulangkali, seperti dalam kasus pembunuhan Deventer yang masih terus berjalan. Sedang apakah majelis hakim akan mengabulkan permohonan tersebut, tentu berdasar pada penilaian mereka atas penerapan kriteria yang telah diatur dalam undang-undang.
***
Kasus yang pertama terkait dengan penjatuhan hukuman yang salah. Kedua terpidana yang mulai menjalani hukuman pada tahun 1995, akhirnya dibebaskan pada tahun 2002 dengan pemberian kompensasi hampir 2 juta euro. Pelaku sebenarnya akhirnya ditangkap pada tahun 2008 berdasarkan hasil penelitian DNA. Kasus kedua yang dimulai tahun 2000, berhubungan dengan pengakuan terpidana yang ternyata didapatkan melalui cara yang keliru, serta penelitian DNA yang menunjukkan bahwa pelakunya orang lain. Sebelum hukumannya ditangguhkan, terpidana telah menjalani hukuman tak kurang dari empat tahun. Pada tahun 2005, Pengadilan Tingkat Banding Den Haag menghukum pelaku sebenarnya. Sedang dalam kasus terakhir, juga berhubungan dengan masalah kebenaran pembuktian siapa pelakunya. Dalam kasus pembunuhan yang terjadi pada tahun 1999 ini, hasil penelitian DNA yang digunakan sebagai dasar penjatuhan hukuman, masih terus dipermasalahkan oleh advokat terpidana, meskipun perkara tersebut telah melalui beberapa persidangan di berbagai tingkatan, serta beberapa permohonan PK yang diajukan.
Berkembangnya teknologi, misalnya terkait penelitian DNA, memang membuat proses pembuktian dapat dilakukan lebih terperinci dan jauh lebih dapat diandalkan. Dengan demikian, dalam beberapa kasus, perubahan hasil temuan pemeriksaan dapat digunakan untuk membantah hasil penyidikan sebelumnya yang telah dijadikan dasar pembuktian untuk menghukum (atau membebaskan) terdakwa. Hal ini mendorong adanya perubahan dalam hukum acara pidana, yaitu bagaimana mengantisipasi berkembangnya teknik pembuktian yang membuka ruang menguji kembali kebenaran bangunan fakta yang tadinya telah digunakan untuk menghukum (atau membebaskan) terdakwa.
Selain mengubah pengaturan PK untuk kepentingan terpidana, saat ini sedang diajukan pula suatu rancangan ketentuan lain yang juga ditujukan untuk mengubah pengaturan PK pidana, yaitu PK yang ditujukan untuk memeriksa kembali terdakwa yang tadinya telah dibebaskan. Masalah PK untuk menghukum ini mengundang kontroversi yang cukup sengit, terutama dari kalangan pengacara yang mendasari keberatannya dengan asas “lites finiri oportet”, yaitu bahwa setiap perkara hukum itu harus ada akhirnya. Di samping itu, terdapat juga tuntutan bahwa diberikannya kepercayaan dan kewenangan kepada penyidik dalam prosese pidana, mengandung konsekuensi bahwa penyidik seharusnya sedari awal memastikan suatu dakwaan dilandasi dengan dasar-dasar pembuktian yang kuat. Kegagalan pembuktian, menurut pihak yang keberatan dengan ketentuan baru tersebut, tidak sepatutnya ditimpakan kepada terdakwa yang akan terus terganggu kehidupan pribadinya. Sementara di sisi lain, terdapat juga dorongan mengatur PK untuk menghukum. Alasannya, karena selain berkembangnya teknik pembuktian (misalnya pemeriksaan DNA) yang belakangan hari ternyata dapat membuktikan kesalahan pelaku, juga tidak tertutup kemungkinan adanya kondisi di mana terdakwa merusak proses penemuan kebenaran itu sendiri, misalnya dengan mengancam saksi-saksi di bawah sumpah, dan sebagainya.
Kemungkinan besar, ketentuan PK untuk menghukum ini nantinya tetap akan diundangkan di Belanda, dengan disertai beberapa persyaratan untuk pengajuannya. Prasyarat-prasyarat tersebut, selain tentu adanya “novum” (fakta/bukti baru) atau “falsa” (kesalahan yang nyata dalam pembuktian yang kalau kesalahan itu sebelumnya diketahui, hakim kemungkinan besar akan mengubah isi putusannya), pada prinsipnya PK juga hanya boleh diajukan terhadap tindak-tindak pidana berat yang tuntutannya tidak kedaluwarsa. Bagaimanapun, saat ini sedang terjadi proses pembahasan akhir ketentuan tersebut pada parlemen tinggi dan mungkin baru pada tanggal 9 april nanti akan ditetapkan.
Kembali ke masalah PK untuk kepentingan terpidana. Bagaimana pengaturannya dalam undang-undang yang baru ditetapkan pada tanggal 1 Oktober 2012 kemarin itu?
Pada prinsipnya terdapat dua pokok perubahan dalam undang-undang mengenai PK yang menguntungkan (untuk kepentingan terdakwa) yang berlaku mulai tanggal 1 oktober 2012 yang lalu.
Pertama, terkait dengan pengertian “novum” yang diperluas. Dalam undang-undang yang baru, “novum” bukan hanya berarti sebuah kondisi faktual baru, tetapi juga perspektif-perspektif baru yang didapatkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya hasil temuan baru yang didapatkan dengan penggunaan teknik forensik terbaru. Dengan demikian, pengertian fakta baru bukan lagi harus dipahami sebagai adanya sebuah fakta (baru) lain, tetapi bisa juga cara baru untuk memeriksa fakta tersebut. Misalnya, ditemukannya bercak darah bisa saja sudah terjadi sebelumnya, tetapi melalui pemeriksaan DNA yang baru dikenal, ternyata ditemukan hasil pemeriksaan yang baru.
Kedua, terkait dengan kebutuhan pemeriksaan, sebelum PK diajukan. Untuk delik-delik pidana yang sangat berat, saat ini terbuka kemungkinan mengajukan permohonan kepada “Procureur-Generaal” (PG) untuk mengadakan pemeriksaan lebih lanjut terhadap fakta-fakta tertentu, sebagai pendahuluan permohonan PK, jadi hanya dalam rangka menemukan bukti-buktinya saja. Hal ini dimungkinkan, karena pada prinsipnya beban pengajuan pembuktian ada pada terpidana. Padahal, untuk pemeriksaan laboratorium lebih lanjut, dapat saja dibutuhkan pemeriksaan yang otoritatif, misalnya penelitian DNA – yang dulu belum diatur secara merinci. Terkait hal ini, dalam peraturan yang baru dibuka kemungkinan untuk mengajukan permohonan pemeriksaan/pengumpulan bukti kepada PG pada Hoge Raad, sebelum permohonan PK diajukan (Pasal 461).
Untuk dilakukannya pemeriksaan seperti tersebut di atas, permohonan diharuskan menyangkut pidana penjara 12 tahun atau lebih yang (kalau tidak dibuka kembali) mengancam ketertiban hukum. Selain itu, juga harus terdapat cukup petunjuk yang meyakinkan bahwa dasar pengajuan PK dan pemeriksaan (pendahuluan) yang dimohonkan itu benar-benar diperlukan. Dalam memutuskan permohonan terkait, PG dapat meminta pendapat sebuah tim penasehat (Pasal 462) yang terdiri dua peneliti, seorang ahli kepolisian, seorang advokat, dan seorang jaksa. Jika permohonan dikabulkan, akan ditunjuk tim pemeriksa di bawah koordinasi PG (Pasal 463) yang terdiri dari personil polisi dan kejaksaan (dengan syarat mereka sebelumnya tidak terlibat dengan penanganan kasus itu), serta ahli-ahli dari pihak luar jika memang dibutuhkan.
Lalu apa yang dapat mendasari diajukannya PK?
Menurut undang-undang, permohonan PK demi kepentingan terpidana dapat diajukan oleh PG atau terpidana atas dasar:
(1) adanya putusan-putusan (Berkekuatan Hukum Tetap) yang isinya saling bertentangan,
(2) adanya putusan Mahkamah HAM Eropa yang menetapkan adanya pelanggaran prosedur dan PK dibutuhkan untuk pemulihan hukum, atau
(3) jika terdapat “novum” (Pasal 457).
Yang dimaksud dengan “novum” adalah suatu fakta yang dalam proses persidangan sebelumnya tidak diketahui, atau dari bukti-bukti yang telah diajukan namun ternyata belum diketahui, sehingga terdapat dugaan kuat bahwa apabila sebelumnya fakta itu telah diketahui dan diperiksa oleh hakim dalam perkaranya, maka dapat berakibat bebasnya terdakwa, atau terlepasnya terdakwa dari segala tuntutan hukum, tidak dapat diterimanya dakwaan jaksa, atau penjatuhan hukuman yang lebih ringan. Jika terdakwa telah meninggal, permohonan PK dapat diajukan oleh PG, pasangannya, anggota keluarga sedarah, serta anggota keluarga sampai derajat kedua (Pasal 458).
Itu tadi gambaran mengenai pengaturan PK untuk kepentingan terpidana di Belanda, meliputi syarat-syarat yang diperlukan, serta prosedur pengajuannya. Untuk pertanyaan apakah PK hanya diperbolehkan sekali atau berulangkali, tentu akan dikembalikan kepada syarat PK di atas, yaitu adanya putusan-putusan BKHT yang saling bertentangan, adanya putusan Mahkamah HAM Eropa yang membuat PK itu perlu dilakukan, atau ditemukannya “novum”. Dalam prakteknya, permohonan PK dapat diajukan berulangkali, seperti dalam kasus pembunuhan Deventer yang masih terus berjalan. Sedang apakah majelis hakim akan mengabulkan permohonan tersebut, tentu berdasar pada penilaian mereka atas penerapan kriteria yang telah diatur dalam undang-undang.
***
Sumber Tulisan: Nasima
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih