Setiap bulan April, pembicaraan mengenai emansipasi wanita selalu menjadi topik yang tak ketinggalan. Khususnya di Indonesia, setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini yang dinobatkan sebagai tokoh emansipasi wanita, meski tetap saja menuai banyak kontroversi.
Tapi kali ini, penulis ingin mengajak kita semua berkelana ke luar, melihat bagaimana gelombang emansipasi wanita di seberang dunia sana, tepatnya di Timur Tengah, kawasan yang selalu mendapat label buruk oleh masyarakat Barat di bidang emansipasi wanita.
Pasca revolusi melati yang sukses di Mesir, Libya, dan Tunisia (dan sekarang Suriah yang masih bergolak), susana subversif berubah total, dan iklim yang lebih demokratis semakin dirasakan masyarakat. Kaum Islamis (poitik Islam) yang dulunya terkekang sekarang mendapat tempat istimewa dan mulai meraih kekuasaan.
Namun seiring dengan itu, iklim demokratis ini juga membawa perubahan besar dalam berekspresi dan berpendapat, termasuk dalam kancah emansipasi wanita. Kalau dulu kita mengenal Huda Sya'rawi dan kawan-kawan sebagai tokoh emansipasi dunia Arab yang berjuang lewat tulisan-tulisan dan publikasi, namun sekarang, perjuangan emansipator Timur Tengah lebih ekstrim dan ekspresif.
Barangkali, salah satu penyebabnya adalah terbukanya akses dunia melalui kecanggihan teknologi informasi. Wanita-wanita Arab sekarang bisa bergabung dan berinteraksi langsung dengan gerakan emansipasi yang ada di dunia Barat, khususnya di Eropa yang memiliki kedekatan geograifis.
Sebagai contoh, dapat kita lihat dalam aksi yang dilakukan oleh gadis asal Mesir, Aliya Mahdi yang bergabung dengan gerakan FEMEN. Aliya melakukan demonstrasi dengan aksi telanjang menuntut pembatalan hasil Referendum yang dilakukan oleh pemerintahan Mohammad Mursi. Aliya dan kawan-kawannya menilai bahwa konstitusi baru yang 'Islami' akan mengekang kaum perempuan dan menjadikan kaum wanita sebagai budak.
Aliya Majidah Al-Mahdi (علياء ماجدة المهدي) melawan gagasan konstitusi baru dengan cara-cara yang tak lazim bagi masyarakat Arab pada umumnya. Aliya bertelanjang bulat sembari mengangkat bendera Mesir. Sementara di tubuhnya tertulis kalimat yang berbunyi “Sharia is not Constitution” (Syariah bukanlah konstitusi). Di tangan Aliya juga terdapat kertas bertuliskan “Coran” (Qur’an) yang sengaja diletakkannya sebagai penutup alat vitalnya dan sekaligus juga menutupi kalimat constitution, sehingga kalimat di tubuhnya juga bisa dibaca “Sharia is not a Coran“.
Aliya melakukan aksinya tersebut di depan kantor Kedutaan Mesir di Stockholm, Swedia. Dan ini bukan pertama kalinya Aliya melakukan aksi “ekstrim” serupa ini. Sebelumnya, ketika pemilihan presiden, Aliya juga bugil dan menyatakan dukungannya terhadap Ahmad Shafiq. Adapun aksinya kali ini, Aliya tidak sendiri. Ia ditemani 2 orang gadis lainnya dari kelompok aktivis perempuan lokal “FEMEN”, keduanya juga bertelanjang bulat dan ditubuh mereka terdapat tulisan “Apocalypese By Mursi” (Wahyu dari Mursi) dan juga “No Islam, Yes Secularism“. Kedua gadis tersebut juga memegang kertas bertuliskan “No Religion“, “Religion is Slavery“, dan juga kertas karton bertuliskan “Torat“, “Bilble” yang diletakkan menutup alat vital mereka. Demikian seperti dirilis dalam situ Now! Edisi Bahasa Arab.
Dalam rilis resmi FEMEN, Aliya dan kawan-kawan menyatakan menolak keras dan mengajak seluruh rakyat Mesir untuk menolak perbudakan atas nama agama yang dibawa oleh seorang pria bernama Mursi. Menurut mereka, Mesir harus diberi kesempatan untuk menegakkan demokrasi yang benar.
Tak sampai di situ, aksi ini kemudian disebarkan di dunia maya lewat akun jejaring sosial miliknya. Hal ini sontak menjadi buah bibir dan perbincangan di Timur Tengah. Banyak kecaman datang dari berbagai pihak, ada yang meminta agar kewarganegaraan Mesir Aliya dicopot.
Aliya sendiri sudah menjadi aktivis sekular sejak lama, terutama kuliah di American University di Kairo. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu media Arab, Aliya mengatakan tidak malu dengan aksinya tersebut. Berbeda dengan aksi sebelumnya, Aliya mengaku bahwa aksinya kali ini didukung oleh kedua orangtuanya yang beragama Islam. Saat ini ia sedang belajar jurnalistik. Ia tertarik jurnalistik karena hendak membongkar praktek hipokrasi di masyarakat.
Dan ketika ditanya tentang seks, ia mengatakan bahwa seks merupakan sebuah aktivitas manusiawi untuk meluahkan rasa cinta dan menggapai kebahagiaan. Ia sendiri mengaku sudah melepas keperawanannya sejak berusia 18 tahun bersama seorang pria yang usianya lebih tua 40 tahun darinya.
Aksi Aliya juga dilakukan oleh aktivis perempuan timur tengah lainnya, seperti yang dilakukan oleh gadis Tunisia yang memasang foto bugilnya di Facebook akhir Maret 2013 lalu, sementara di dadanya tertulis "جسدي ملكى وليس شرف أحد" (Tubuhku milikku sendiri, bukan kehormatan milik seseorang). Entah karena ingin kesohor, atau memang memperjuangkan suatu ideologi, yang pasti gelagat ekstrim dari gerakan feminisme semakin subur.
Bahkan di Arab Saudi sendiri, gelombang menuntut kaum wanita agar diperbolehkan mengendarai mobil kembali menggeliat. Tak tanggung-tanggung, seorang Pangeran -lewat kicauannya di twitter- di kerajaan itu dikabarkan mendukung pembolehan wanita untuk mengendarai mobil.
Akan kemanakah arah perjuangan kaum feminis di Timur Tengah ini? Kita tunggu saja episode-episode selanjutnya...
Tapi kali ini, penulis ingin mengajak kita semua berkelana ke luar, melihat bagaimana gelombang emansipasi wanita di seberang dunia sana, tepatnya di Timur Tengah, kawasan yang selalu mendapat label buruk oleh masyarakat Barat di bidang emansipasi wanita.
Pasca revolusi melati yang sukses di Mesir, Libya, dan Tunisia (dan sekarang Suriah yang masih bergolak), susana subversif berubah total, dan iklim yang lebih demokratis semakin dirasakan masyarakat. Kaum Islamis (poitik Islam) yang dulunya terkekang sekarang mendapat tempat istimewa dan mulai meraih kekuasaan.
Namun seiring dengan itu, iklim demokratis ini juga membawa perubahan besar dalam berekspresi dan berpendapat, termasuk dalam kancah emansipasi wanita. Kalau dulu kita mengenal Huda Sya'rawi dan kawan-kawan sebagai tokoh emansipasi dunia Arab yang berjuang lewat tulisan-tulisan dan publikasi, namun sekarang, perjuangan emansipator Timur Tengah lebih ekstrim dan ekspresif.
Barangkali, salah satu penyebabnya adalah terbukanya akses dunia melalui kecanggihan teknologi informasi. Wanita-wanita Arab sekarang bisa bergabung dan berinteraksi langsung dengan gerakan emansipasi yang ada di dunia Barat, khususnya di Eropa yang memiliki kedekatan geograifis.
Sebagai contoh, dapat kita lihat dalam aksi yang dilakukan oleh gadis asal Mesir, Aliya Mahdi yang bergabung dengan gerakan FEMEN. Aliya melakukan demonstrasi dengan aksi telanjang menuntut pembatalan hasil Referendum yang dilakukan oleh pemerintahan Mohammad Mursi. Aliya dan kawan-kawannya menilai bahwa konstitusi baru yang 'Islami' akan mengekang kaum perempuan dan menjadikan kaum wanita sebagai budak.
Aliya Majidah Al-Mahdi (علياء ماجدة المهدي) melawan gagasan konstitusi baru dengan cara-cara yang tak lazim bagi masyarakat Arab pada umumnya. Aliya bertelanjang bulat sembari mengangkat bendera Mesir. Sementara di tubuhnya tertulis kalimat yang berbunyi “Sharia is not Constitution” (Syariah bukanlah konstitusi). Di tangan Aliya juga terdapat kertas bertuliskan “Coran” (Qur’an) yang sengaja diletakkannya sebagai penutup alat vitalnya dan sekaligus juga menutupi kalimat constitution, sehingga kalimat di tubuhnya juga bisa dibaca “Sharia is not a Coran“.
Aliya Mahdi (tengah) saat berdemonstrasi menentang pemerintahan Mursi |
Aliya melakukan aksinya tersebut di depan kantor Kedutaan Mesir di Stockholm, Swedia. Dan ini bukan pertama kalinya Aliya melakukan aksi “ekstrim” serupa ini. Sebelumnya, ketika pemilihan presiden, Aliya juga bugil dan menyatakan dukungannya terhadap Ahmad Shafiq. Adapun aksinya kali ini, Aliya tidak sendiri. Ia ditemani 2 orang gadis lainnya dari kelompok aktivis perempuan lokal “FEMEN”, keduanya juga bertelanjang bulat dan ditubuh mereka terdapat tulisan “Apocalypese By Mursi” (Wahyu dari Mursi) dan juga “No Islam, Yes Secularism“. Kedua gadis tersebut juga memegang kertas bertuliskan “No Religion“, “Religion is Slavery“, dan juga kertas karton bertuliskan “Torat“, “Bilble” yang diletakkan menutup alat vital mereka. Demikian seperti dirilis dalam situ Now! Edisi Bahasa Arab.
Dalam rilis resmi FEMEN, Aliya dan kawan-kawan menyatakan menolak keras dan mengajak seluruh rakyat Mesir untuk menolak perbudakan atas nama agama yang dibawa oleh seorang pria bernama Mursi. Menurut mereka, Mesir harus diberi kesempatan untuk menegakkan demokrasi yang benar.
Tak sampai di situ, aksi ini kemudian disebarkan di dunia maya lewat akun jejaring sosial miliknya. Hal ini sontak menjadi buah bibir dan perbincangan di Timur Tengah. Banyak kecaman datang dari berbagai pihak, ada yang meminta agar kewarganegaraan Mesir Aliya dicopot.
Aliya sendiri sudah menjadi aktivis sekular sejak lama, terutama kuliah di American University di Kairo. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu media Arab, Aliya mengatakan tidak malu dengan aksinya tersebut. Berbeda dengan aksi sebelumnya, Aliya mengaku bahwa aksinya kali ini didukung oleh kedua orangtuanya yang beragama Islam. Saat ini ia sedang belajar jurnalistik. Ia tertarik jurnalistik karena hendak membongkar praktek hipokrasi di masyarakat.
Dan ketika ditanya tentang seks, ia mengatakan bahwa seks merupakan sebuah aktivitas manusiawi untuk meluahkan rasa cinta dan menggapai kebahagiaan. Ia sendiri mengaku sudah melepas keperawanannya sejak berusia 18 tahun bersama seorang pria yang usianya lebih tua 40 tahun darinya.
Aksi Aliya juga dilakukan oleh aktivis perempuan timur tengah lainnya, seperti yang dilakukan oleh gadis Tunisia yang memasang foto bugilnya di Facebook akhir Maret 2013 lalu, sementara di dadanya tertulis "جسدي ملكى وليس شرف أحد" (Tubuhku milikku sendiri, bukan kehormatan milik seseorang). Entah karena ingin kesohor, atau memang memperjuangkan suatu ideologi, yang pasti gelagat ekstrim dari gerakan feminisme semakin subur.
Bahkan di Arab Saudi sendiri, gelombang menuntut kaum wanita agar diperbolehkan mengendarai mobil kembali menggeliat. Tak tanggung-tanggung, seorang Pangeran -lewat kicauannya di twitter- di kerajaan itu dikabarkan mendukung pembolehan wanita untuk mengendarai mobil.
Akan kemanakah arah perjuangan kaum feminis di Timur Tengah ini? Kita tunggu saja episode-episode selanjutnya...
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih