Suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab memergoki putra tercintanya. Abdullah, yang kala itu masih kanak-kanak, menggenggam sekeping uang perunggu. Umar heran, ia tak merasa pernah memberi uang kepada putranya tersebut. Dari mana gerangan ia mendapatkannya?
“Abdullah… aku ayahmu tak pernah mempunyai sisa belanja sebesar itu. Berarti engkau tidak mengambilnya dari rumah. Lantas dari mana engkau memperoleh uang itu?”. Tanya Umar.
Dengan wajah khawatir, Abdullah menjawab: “Abu Musa Al-Asy’ari, dia yang memberiku uang ini”.
Umar terkejut dan curiga. Ia tahu bahwa Abu Musa adalah seorang yang berharta dan juga dermawan. Tentu saja memberikan uang perunggu sekeping itu tak terasa berat. Tapi Umar segera teringat, bahwa Abu Musa sekarang ini tengah menjabat sebagai bendaharawan negara (baitul mal). Lalu timbullah khawatir dalam dirinya, jangan-jangan uang yang ada di tangan anaknya tersebut adalah uang negara.
Dengan segera, Umar meminta kepingan uang perunggu itu dari putranya, lalu ia bergegas ke rumah Abu Musa.
“Abu Musa, betulkah engkau telah memberi uang pada Anakku?” Tanya Umar.
“Betul, wahai Amirul Mu’minin”. Jawab Abu Musa.
“Uangmu sendiri, atau…?”. Tanya Umar menyelidik.
“Oh bukan, itu uang Baitul Mal… saya ikhlas memberikannya”. Abu Musa berharap jawabannya itu tak membuat Umar berang.
“Apa? Uang Baitul Mal kau berikan pada anakku? Uang rakyat kau gunakan semaumu dan engkau mengaku melakukannya dengan ikhlas? Itukah sifat amanahmu sebagai seoarang pejabat?”. Suara Umar meninggi kepada Abu Musa.
Melihat wajah Umar merah padam, Abu Musa gemetaran. Ia buru-buru menerangkan:
“Masalah begini wahai Khalifah… Sewaktu saya membuka Baitul Mal, ternyata isinya uang emas dan perak semua. Hanya satu keping itu saja yang perunggu. Jadi seluruhnya saya catat rapi dalam daftar perbendaharaan negara, kecuali yang sekeping itu. Nah, daripada susah menyimpannya, jadi saya berikan saja kepada Abdullah untuk sekedar menyenangkan hatinya”.
Mendengar itu, Umar justru semakin marah. Dengan suara yang makin keras, ia berkata kepada Abu Musa:
“Wahai Abu Musa, tidakkah engkau perhatikan bahwa anak-anak yang lain lebih membutuhkan uang itu daripada anakku sendiri yang engkau beri sekedar untuk menyenangkan hatinya? Tega sekali engkau mengotori rumah tangga kepala negara dengan uang haram! Apakah itu pertanda kesetiaanmu kepada Amirul Mukminin?”.
Abu Musa tertunduk mendengar kata-kata Umar. Ia menyadari kekeliruannya. Kemudian Umar melempar kepingan uang perunggu yang ada di tangannya ke depan kaki Abu Musa seraya berkata:
“Sesungguhnya, anak seorang prajurit yang tengah berjuang di medan perang jauh lebih berhak menerima keistimewaan dibanding anak panglima yang sedang beristirahat di rumahnya”.
“Abdullah… aku ayahmu tak pernah mempunyai sisa belanja sebesar itu. Berarti engkau tidak mengambilnya dari rumah. Lantas dari mana engkau memperoleh uang itu?”. Tanya Umar.
Dengan wajah khawatir, Abdullah menjawab: “Abu Musa Al-Asy’ari, dia yang memberiku uang ini”.
Umar terkejut dan curiga. Ia tahu bahwa Abu Musa adalah seorang yang berharta dan juga dermawan. Tentu saja memberikan uang perunggu sekeping itu tak terasa berat. Tapi Umar segera teringat, bahwa Abu Musa sekarang ini tengah menjabat sebagai bendaharawan negara (baitul mal). Lalu timbullah khawatir dalam dirinya, jangan-jangan uang yang ada di tangan anaknya tersebut adalah uang negara.
Dengan segera, Umar meminta kepingan uang perunggu itu dari putranya, lalu ia bergegas ke rumah Abu Musa.
“Abu Musa, betulkah engkau telah memberi uang pada Anakku?” Tanya Umar.
“Betul, wahai Amirul Mu’minin”. Jawab Abu Musa.
“Uangmu sendiri, atau…?”. Tanya Umar menyelidik.
“Oh bukan, itu uang Baitul Mal… saya ikhlas memberikannya”. Abu Musa berharap jawabannya itu tak membuat Umar berang.
“Apa? Uang Baitul Mal kau berikan pada anakku? Uang rakyat kau gunakan semaumu dan engkau mengaku melakukannya dengan ikhlas? Itukah sifat amanahmu sebagai seoarang pejabat?”. Suara Umar meninggi kepada Abu Musa.
Melihat wajah Umar merah padam, Abu Musa gemetaran. Ia buru-buru menerangkan:
“Masalah begini wahai Khalifah… Sewaktu saya membuka Baitul Mal, ternyata isinya uang emas dan perak semua. Hanya satu keping itu saja yang perunggu. Jadi seluruhnya saya catat rapi dalam daftar perbendaharaan negara, kecuali yang sekeping itu. Nah, daripada susah menyimpannya, jadi saya berikan saja kepada Abdullah untuk sekedar menyenangkan hatinya”.
Mendengar itu, Umar justru semakin marah. Dengan suara yang makin keras, ia berkata kepada Abu Musa:
“Wahai Abu Musa, tidakkah engkau perhatikan bahwa anak-anak yang lain lebih membutuhkan uang itu daripada anakku sendiri yang engkau beri sekedar untuk menyenangkan hatinya? Tega sekali engkau mengotori rumah tangga kepala negara dengan uang haram! Apakah itu pertanda kesetiaanmu kepada Amirul Mukminin?”.
Abu Musa tertunduk mendengar kata-kata Umar. Ia menyadari kekeliruannya. Kemudian Umar melempar kepingan uang perunggu yang ada di tangannya ke depan kaki Abu Musa seraya berkata:
“Sesungguhnya, anak seorang prajurit yang tengah berjuang di medan perang jauh lebih berhak menerima keistimewaan dibanding anak panglima yang sedang beristirahat di rumahnya”.
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih